Konservasi Lahan Basah, Surabaya Raih Penghargaan Internasional
Kota Surabaya merupakan daerah pertama penerima penghargaan Wetland City Accreditation, karena paling banyak memanfaatkan lahan basah dan melakukan konservasi.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kota Surabaya menjadi salah satu daerah pertama di Indonesia yang mendapatkan penghargaan Wetland City Accreditation. Penghargaan akreditasi internasional ini diberikan karena Surabaya paling banyak memanfaatkan lahan basah dan konservasi.
Penghargaan Wetland City Accreditation ini diberikan oleh Konvensi Ramsar, sesuai surat dari Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDA dan Ekosistem) Nomor S.830/KSDAE/BPPE/KSA.4/8/2022 tanggal 4 Agustus 2022. Ada dua daerah di Indonesia yang mendapatkan akreditasi tersebut, yakni pertama Kota Surabaya, Jawa Timur, dan kedua Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya Agus Hebi Djuniantoro di Surabaya, Minggu (18/12/2022), mengatakan, ada tiga nomine yang diikutkan dalam Wetland City Accreditation. Ketiga lokasi itu meliputi pantai timur Surabaya seluas 2.500 hektar yang mewakili lahan basah tipe F (muara), waduk/bozem seluas 192,08 hektar yang mewakili jenis lahan basah tipe Tp (danau dan kolam), serta Kalimas seluas 62,16 hektar yang mewakili lahan basah tipe M (sungai).
Penghargaan ini didapatkan Kota Surabaya karena dinilai sudah melakukan konservasi dan pemanfaatan lahan basah. ”Jadi Surabaya tidak hanya pemenfaatan lahan basah, tetapi juga penataan kawasan dinilai baik,” ujar Hebi.
Melibatkan warga
Dalam penataan lahan basah di Kota Surabaya, Pemkot tidak bergerak sendiri. Menurut Hebi, warga sekitar dilibatkan dalam penataan, pemanfaatan, dan pengelolaannya. Bahkan ke depan kawasan lahan basah di kota dengan penduduk 3,1 juta jiwa ini akan ditambah.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dalam beberapa kesempatan menyebutkan, pemanfaatan lahan basah yang dilakukan selama ini sangat banyak memberikan dampak yang positif bagi kota seluas 326 kilometer persegi ini.
Semakin banyak lahan basah yang dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, secara tidak langsung ruang terbuka hijau (RTH) bertambah. ”Kehadiran lahan basah juga untuk konservasi dan pengendalian banjir,” ujarnya.
Untuk itu, ke depan Pemkot Surabaya akan menerapkan kebijakan strategi untuk mengendalikan pemanfaatan lahan basah yang difungsikan sebagai RTH dan kawasan lindung (konservasi).
Jadi, Surabaya tidak hanya pemanfaatan lahan basah, tetapi juga penataan kawasan dinilai baik, (Agus Hebi)
Selain itu, menambah kawasan tampungan resapan air untuk mengendalikan banjir. Termasuk dengan Sungai Kalimas sepanjang 15 kilometer ini, yang saat ini juga sudah menjadi obyek wisata sungai.
”Revitalisasi di Kalimas terus dilakukan meski secara bertahap, agar kota ini semakin hijau dan asri,” Eri Cahyadi.
Penataan sepanjang Kalimas tidak hanya dibangun taman, tetapi juga area-area publik.
Hebi menambahkan, pemkot juga terus menggiatkan penanaman pohon mangrove dan cemara udang di sepanjang pesisir timur dan utara. Kawasan pesisir bukan hanya dimanfaatkan sebagai hutan mangrove saja, melainkan juga dijadikan kawasan edukasi dan pemberdayaan masyarakat. Langkah ini bagian dari upaya Surabaya melestarikan hutan mangrove.
Selain Surabaya dan Tanjung Jabung Timur, daerah lain di luar Indonesia yang menerima penghargaan serupa antara lain Bandar Khamir dan Varzaneh, Republik Islam Iran, Al Chibayish (Irak), Izumi dan Niigata (Jepang), Ifran (Maroko), Gochang, Seocheon, dan Seogwipo (Korea), Kigali (Afrika Selatan), Valencia (Spanyol), Distrik Sri Songkhram (Thailand), dan Sackville (Kanada).