Elegi Penghayat Kaharingan di Kalimantan
Pengahayat Kaharingan di Kalteng menghadapi banyak cobaan, mulai dari belum diakui hingga ancaman punah. Mereka sulit mengakses pelayanan publik dan hutan sebagai tumpuan ritual kepercayaan mereka pun terus terkikis.
”Kalau hutan habis, saya mau pindah agama,” ucap Dedi Susanto (30) saat memandangi hutan di Lamandau, Kalimantan Tengah, yang berjarak lebih dari 100 kilometer dari kampungnya di Kotawaringin Timur.
Dedi adalah penghayat Kaharingan yang sampai saat ini masih kesulitan mendapat pengakuan negara. Kini, ancaman itu bertambah saat hutan-hutan yang jadi sumber ritual keagamaan mereka terancam habis.
Pada Kamis (8/12/2022), Dedi mengajak keluarganya berjalan keluar dari kampungnya menuju ke beberapa desa di Kecamatan Batang Kawa dan Kecamatan Delang di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Ia diundang mengikuti diskusi soal hutan adat di Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalteng.
Memorinya di dalam kepala terpanggil saat ia melihat hutan dengan kayu-kayu yang besar di beberapa desa itu. Dedi mengenang Kembali masanya saat masih bermain di hutan.
Tahun 2002 itu terakhir saya melihat hutan, setelah hutan kami habis sudah, tersisa sedikit. Itu juga jauh sekali dari rumah.
Saat itu umurnya baru 10 tahun, diajak orangtuanya ke hutan untuk berburu hingga mencari perlengkapan ritual adat. Tak jarang, ia pulang membawa sejumlah buah hutan dan hasil buruan untuk dinikmati bersama keluarganya di rumah. Namun, dalam waktu singkat, hutannya beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.
”Tahun 2002 itu terakhir saya melihat hutan, setelah hutan kami habis sudah, tersisa sedikit. Itu juga jauh sekali dari rumah,” kata Dedi.
Dalam hatinya, Dedi cemburu melihat hutan di Batang Kawa yang hanya berjarak 200 meter dari rumah-rumah penduduk sekitar. Di kampungnya, di Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur, hutan kian sulit dilihat. Ia harus berjalan puluhan kilometer ke hutan di kabupaten tetangga di Seruyan untuk mencari perlengkapan ritual kepercayaannya.
Salah satu yang kini paling sulit dicari adalah daun silar. Daun ini merupakan perangkat utama untuk melaksanakan ritual tiwah, ritual kematian suku Dayak yang paling puncak. Daun ini tumbuh liar di hutan dan tidak pernah berhasil dibudidayakan warga Penyang.
”Kata orang tua itu, jangan tawar-menawar sama adat. Daun silar tidak mungkin diganti daun kelakai atau daun lainnya,” ungkap Dedi.
Baca juga: Petani yang Dikriminalisasi Meninggal di Penjara Kalteng
Tak hanya soal ritual. Saat meninggal dunia, warga di Desa Penyang, yang masih menganut Kaharingan, harus dikubur menggunakan peti kayu yang bahannya diambil dari pohon berukuran sesuai tubuh almarhum. Mereka tak bisa begitu saja membeli peti jadi karena proses membuat petinya berbeda dengan peti biasa.
Dedi bercerita, dirinya pernah mencari kayu dengan ukuran tubuh kerabatnya yang meninggal. Karena hutan di sekitarnya sudah tidak ada lagi, ia pergi ke desa seberang. Sampai di sana, ia menemukan pohon yang ternyata telah disiapkan untuk peti mati bagi si pemilik pohon. Namun, karena pemilik pohon itu iba, pohonnya diberikan secara percuma ke Dedi dan keluarga.
”Tapi, saya sudah janji untuk cari penggantinya, ini masih dicari sampai sekarang,” ujarnya.
Alih fungsi
Kotawaringin Timur, tempat asal Dedi, merupakan salah satu wilayah dengan deforestasi dan atau alih fungsi lahan paling luas di Kalimantan Tengah. Total hutan yang kemudian menjadi perkebunan sawit merupakan yang terbesar di Kalteng, bahkan diklaim sebagai yang terluas di Indonesia.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalteng, total luas perkebunan sawit tahun 2018 mulai dari perkebunan sawit swasta, perkebunan besar negara, hingga perkebunan rakyat di Kalteng mencapai lebih kurang 1,5 juta hektar atau 2,5 kali Pulau Bali. Kotawaringin Timur menjadi yang paling luas dengan angka mencapai 411.102 hektar, diikuti Kabupaten Seruyan di peringkat kedua dengan luas mencapai 332.315,81 hektar.
Luas perkebunan kelapa sawit di Kotawaringin Timur itu sama dengan enam kali luas DKI Jakarta. Semua bermula dari hutan, lalu dialihfungsikan menjadi perkebunan. Jumlah itu belum termasuk izin pertambangan batubara, bauksit, tambang pasir, dan banyak jenis pertambangan lain, termasuk perusahaan kayu. Hutan pun kian sempit.
Baca juga: 10 Bulan Dipenjara James Watt yang Dikriminalisasi Akhirnya Bebas
Desa Penyang, kampung halaman Dedi, hanya salah satu dari sekian banyak desa yang tinggal dikelilingi perkebunan besar kelapa sawit di kabupatennya. Konflik pun mewarnai hidup mereka setiap saat.
Luhing (35) yang juga berasal dari Desa Penyang mengungkapkan, konflik terjadi karena perusahaan tidak memberikan kewajiban mereka kepada masyarakat, seperti kebun plasma 20 persen dari luas wilayah izin. Konflik lainnya adalah soal lahan yang diserobot begitu saja.
”Hampir tiap bulan ada saja yang masuk penjara dituduh mencuri sawit, padahal itu dulu tanah mereka yang menolak sawit masuk,” ungkapnya.
Tahun 2020, Kompas mengikuti kisah warga Penyang. Tiga orang saat itu dipenjara polisi lantaran dituduh sebagai dalang pencurian sawit di salah satu perusahaan. Padahal saat itu mereka sedang melakukan aksi protes kepada perusahaan karena dianggap tidak memenuhi kewajiban mereka dan menyerobot lahan warga.
Maka dari itu, kalau hutan hilang, pasti adat dan budaya juga hilang, termasuk apa yang saya percaya di Kaharingan.
James Watt (49), Dilik, dan Hermanus ditangkap dan dipenjara setelah aksi mereka memanen buah sawit milik perusahaan. Mereka menganggap tanah tempat sawit ditanam itu milik warga. Mereka dituduh mencuri 13 tandan buah sawit.
Hermanus meninggal di dalam penjara di usia 36 tahun, meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih sekolah. Aparat hukum menilai, ia meninggal lantaran sakit (Kompas, 26 April 2020).
Dedi punya cerita sendiri saat menjadi saksi untuk membela kerabatnya itu. Saat itu, ia bersaksi, tetapi ia dan hakim bingung lantaran saat disumpah datang pemuka agama Hindu. Dedi tak tahu cara bersumpah dengan agama Hindu.
Di KTP, Dedi memang ditulis beragama Hindu. Namun, tata cara doa jauh berbeda dengan kepercayaan yang Dedi hayati. ”Semua orang di sidang bingung. Sebagian besar orang Kaharingan memang ditulis Hindu saja di KTP, ada yang sebut Hindu-Kaharingan, tapi doanya saya enggak tahu,” katanya.
Sidang pun dilanjutkan dengan sumpah Dedi yang hanya menunjukkan dua jari telunjuk dan jari tangan tanda bersumpah.
Penghayat Kaharingan kian tersingkir di rumahnya sendiri di Kalteng. Bukan hanya karena negara yang belum mengakui mereka sebagai kelompok beragama, tetapi juga hutan yang terus terkikis.
Berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama di Provinsi Kalteng, penganut Kaharingan mencapai 158.181 orang dari total 2,9 juta penduduk di provinsi tersebut. Jumlah itu digabung antara penghayat Kaharingan dan penganut Hindu-Kaharingan. Dua kepercayaan itu kerap menjadi perdebatan panjang yang belum ditemukan ujungnya. Di satu sisi, ancaman akan hilangnya kepercayaan yang menyatu dengan budaya Dayak itu kian tinggi.
”Maka dari itu, kalau hutan hilang, pasti adat dan budaya juga hilang, termasuk apa yang saya percaya di Kaharingan,” kata Dedi.
Baca juga: Penghayat Kaharingan, Mereka yang Teguh dengan Warisan Leluhur