Pembalakan Liar Picu Konflik Gajah Liar di Aceh Tengah
Pembalakan liar diduga menjadi pemicu utama konflik satwa-manusia di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Petugas konservasi membersihkan gading gajah di Conservation Response Unit Trumon, Aceh Selatan, Aceh, pada Januari 2019.
TAKENGON, KOMPAS — Dalam beberapa bulan terakhir, konflik gajah liar dengan manusia di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, kian masif. Pembalakan liar diduga menjadi pemicu utama konflik satwa-manusia di sana.
Ketua Tim Pengaman Flora Fauna (TPFF) Karang Ampar-Bergang Muslim, saat dihubungi, Rabu (14/12/2022), mengatakan, selama tiga bulan kawanan gajah liar bertahan di perkebunan warga. Bahkan, sesekali mereka mulai memasuki kawasan permukiman. ”Kami mencoba menggiring, tetapi gajah tidak mau keluar dari kawasan perkebunan,” katanya.
Muslim mengatakan, biasanya konflik tidak berlangsung lama. Saat digiring atau dihalau, kawanan gajah liar akan bergerak ke hutan. Namun, kali ini kawanan gajah tersebut bergeming. ”Gajah di sini susah keluar karena di habitatnya banyak illegal logging. Suara chainsaw (mesin pembelah kayu) di hutan membuat mereka terganggu,” ucapnya.
Tim gabungan telah berusaha melakukan penggiringan, tetapi belum berhasil. Penggiringan menggunakan mercon hanya meredakan konflik sementara. ”Petugas mulai kelelahan, personel terbatas,” ujar Muslim.
Muslim berharap aktivitas pembalakan liar di hutan lindung ditindak oleh aparat penegak hukum. ”Kami minta pihak kehutanan dan kepolisian menindak pelaku illegal logging,” katanya.
Desa Karang Ampar dan Bergang berbatasan dengan hutan lindung. Kawasan itu merupakan habitat gajah koridor Peusangan, menghubungkan Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Bireuen. Belakangan, konflik gajah di koridor Peusangan sangat masif. Dampak konflik tidak hanya kematian pada gajah, tetapi juga manusia.
Kawanan gajah liar mulai berkeliaran hingga ke kawasan permukiman. Pada Januari 2020, kawanan gajah liar masuk ke pekarangan sekolah dan melintasi jalan nasional. Muslim mengatakan, petani rugi besar.
Tanaman di kebun yang seharusnya dapat dipanen justru dimakan oleh satwa lindung itu. Pemerintah tidak menganggarkan ganti rugi kepada petani. Artinya, petani harus menanggung sepenuhnya dampak dari konflik tersebut.
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Gajah memasuki area Conservation Response Unit Trumon, Aceh Selatan, Aceh, Kamis (23/1/2019).
Pada awal Desember 2022, ratusan warga dari dua desa itu melakukan aksi protes ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah. Warga mendesak Pemkab Aceh Tengah dan DPRK ikut memikirkan persoalan yang dihadapi warga.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Kamaruzzaman mengatakan, pihaknya telah berusaha maksimal meredam konflik gajah liar di Karang Ampar dan Bergang. Tim penggiringan selalu turun saat ada laporan warga. Akan tetapi, kerusakan habitat membuat konflik sulit diselesaikan.
Kamaruzzaman mengatakan, pemulihan habitat menjadi solusi paling baik untuk meredam konflik satwa liar. Selama ini penanganan bersifat jangka pendek, seperti penggiringan, pembangunan barrier (penghalang), dan pemasangan power fencing (kawat kejut).
Sebelumnya, Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud mengatakan, pemerintah menganggap konflik satwa liar sebagai persoalan serius.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Kotoran gajah di lokasi penembakan gajah liar di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Selasa (11/2/2020).
Pemerintah telah membentuk satuan tugas mitigasi konflik satwa liar. Tim ini terdiri dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan perorangan yang ahli di bidang konservasi. Satgas telah menyusun dokumen strategi rencana aksi pengelolaan satwa liar (SRAP SL). Dokumen tersebut nantinya disahkan dalam peraturan gubernur.
Di dalam SRAP SL Aceh itu terdapat sembilan poin penting yang dijadikan rencana aksi. Ini meliputi persoalan habitat dan populasi, perlindungan dan pemulihan habitat, pengendalian konflik satwa-manusia, mitigasi, penegakan hukum, serta penguatan kelembagaan, riset dan inovasi. Selanjutnya, peran serta warga, penggalangan dukungan para pihak, dan pendanaan berkelanjutan.