Konversi Kebun Teh Simalungun Harus Perhatikan Aspek Lingkungan dan Sejarah
PT Perkebunan Nusantara IV mengonversi lagi 257 hektar kebun teh menjadi sawit di Simalungun. Konversi ditolak masyarakat karena dinilai tak memperhatikan aspek lingkungan dan nilai sejarah kebun peninggalan Belanda itu.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/LASTI KURNIA
Pemetik teh di lahan perkebunan PTPN IV, Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, pada Juli 2019.
MEDAN, KOMPAS — PT Perkebunan Nusantara IV mengonversi lagi 257 hektar kebun tehnya menjadi kelapa sawit di Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Masyarakat meminta agar konversi memperhatikan aspek lingkungan hidup dan nilai sejarah perkebunan yang dibangun pada masa Hindia Belanda itu.
Perusahaan menyebut, mereka hanya mengonversi 257 hektar dari total 6.373,29 hektar kebun teh milik PTPN IV. Mereka memastikan akan mempertahankan kebun teh yang tersisa sebagai warisan bernilai sejarah. Kebun teh menghadapi masalah keuangan karena harga teh yang menurun sehingga kerap merugi.
Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara Khairul Bukhari di Medan, Rabu (14/12/2022), mengatakan, perkebunan teh yang ada di Simalungun dikenal warga sebagai kebun teh Sidamanik dan merupakan warisan bernilai sejarah. Kebun teh itu juga merupakan salah satu ikon pariwisata Sumut.
Namun, PTPN IV mengonversi lagi tanaman teh menjadi sawit di sebagian Kebun Bah Butong. ”Masyarakat kini semakin sering menghadapi bencana alam seperti banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau,” kata Bukhari.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Proses produksi teh hitam di Pabrik Teh PTPN IV Unit Bah Butong, Pematang Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara, pada Juli 2019.
Bukhari menyebut, PTPN IV harus punya kajian yang detail dan izin lingkungan sebelum mengonversi tanaman. Hal itu penting karena dampak lingkungan dari dua tanaman tersebut sangat berbeda. ”Kebun Bah Butong dari dulu hanya ditanami teh,” ujarnya.
Koordinator Aliansi Gerakan Masyarakat Sidamanik S Sidabutar mengatakan, konversi kebun teh sebelumnya sudah dilakukan PTPN IV di Kebun Sidamanik pada 2005 dan 2011. ”Kami sangat khawatir karena setiap dilakukan konversi kebun teh, banjir dan longsor semakin sering terjadi,” katanya.
Kepala Bagian Sekretariat Perusahaan PTPN IV Riza Fahlevi Naim mengatakan, pihaknya hanya mengonversi kebun teh yang selama ini tidak produktif lagi dan sudah lama tidak dimanfaatkan. ”Area seluas 257 hektar itu berbatasan langsung dengan Kebun Bah Birong Ulu yang merupakan kebun sawit dengan produktivitas tinggi,” katanya.
Riza menyebut, pihaknya masih akan tetap mempertahankan kebun teh PTPN IV karena merupakan warisan bernilai sejarah di Sumut. Sebelum konversi terakhir ini, PTPN IV memiliki perkebunan teh seluas 6.373,29 hektar di Simalungun. ”Kami juga masih mengoperasikan dua pabrik teh, yakni Pabrik Bah Butong dan Pabrik Tobasari. Namun, Pabrik Sidamanik memang tidak beroperasi lagi dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.
Persoalan terbesar yang dihadapi kebun teh adalah harga jual teh yang saat ini sangat rendah dan tidak cukup menutupi biaya operasional. Operasional pun ditutupi dari hasil kebun sawit. PTPN IV juga melakukan sejumlah upaya mendongkrak pendapatan dari kebun teh. ”Sejak 2021 kami meluncurkan dua produk teh siap saji, yakni Teh Butong dan Tobasari. Penjualan di pasar ritel di dalam negeri itu meningkatkan nilai tambah yang kami peroleh,” kata Riza.
Selain itu, sejumlah efisiensi pun dilakukan. Tiga kebun yang dikelola tiga manajer berbeda, yakni Kebun Bah Butong, Tobasari, dan Sidamanik, kini disatukan. Perusahaan kini hanya mengoperasikan dua dari tiga pabrik teh.
Riza mengatakan, pihaknya juga sedang menggarap kerja sama dengan sejumlah perusahaan untuk menjadikan kawasan kebuh teh sebagai destinasi agrowisata. PTPN IV dalam beberapa tahun ini juga mengganti tanaman teh dengan jenis klon seri gambung untuk mendapat produktivitas yang lebih tinggi.