Siswi SMA di Nagekeo Dua Kali Diculik, Pelaku Belum Ditangkap
Seorang siswi sma di Nagekeo, NTT, diculik sebanyak dua kali, namun pelakunya belum ditangkap polisi. Polisi malah mengalihkan menjadi pasal penganiayaan.
MBAY, KOMPAS — AGFG (16), siswi SMAN1 Aesesa Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, dua kali diculik dalam tenggat waktu yang berbeda, yakni April 2022 dan Agustus 2022. Penculikan itu pun dilaporkan ke Polres Nagekeo tetapi pelaku belum ditangkap.
Kasus ini seakan berjalan di tempat. Kasus penculikan tetapi polisi mengenakan pasal penganiayaan. Penculikan itu diduga ada kaitan dengan perjuangan masyarakat adat menuntut hak terkait Bendungan Lambo di Nagekeo.
Kakak korban, Gregorius R Daeng di Mbay, ibu kota kabupaten, Senin (12/12/2022), mengatakan, kasus penculikan pertama terjadi pada 25 April 2022. Hari itu, pukul 06.15 Wita korban AGFG dijemput temannya, AT (16), menuju SMAN 1 Aesesa, Nagekeo. Keduanya berjalan kaki sejauh 1 km.
Sekitar pukul 14.17 Wita, AT pulang sekolah, tanpa AGFG seperti biasanya. Saat itu ibu AGFG menanyakan keberadaan anaknya. Namun AT mengatakan, setelah kami sampai di sekolah, AGFG pulang ke rumah untuk mengambil buku yang lupa dibawa. Sejak saat itu pula AT tidak mengetahui keberadaan temannya itu.
Ternyata AGFG diculik orang tak dikenal dan disekap di salah satu ruangan di bekas Gedung DPRD Nagekeo yang mangkrak pembangunannya.
Lokasi penculikan awal dilakukan di salah satu titik ruas jalan antara rumah kediaman korban dan jarak sekolah saat korban balik ke rumah mengambil buku. Korban secara mendadak dibekap dari arah belakang. Saat itu pula korban tak sadarkan diri, dan entah dibawa ke mana, korban sendiri tak tahu.
Baca juga: Uang Sekolah Siswa Belum Lunas, Anak dipulangkan, Orangtua Tikam Kepala Sekolah di Nagekeo
Korban AGFG baru sadar sekitar pukul 14.00 Wita. Saat sadar, korban melihat sekeliling, sedang berada di dalam sebuah gedung reyot. Ternyata, itu gedung DPRD Nagekeo yang sedang mangkrak.
Ketika dia sadar melihatbagian tangan, lutut, dan kaki terikat dengan tali pramuka. Korban menggunakan gigi memutuskan tali yang membelit di bagian kedua tangan, kemudian berturut-turut dengan tangan melepaskan tali di bagian kaki dan lutut.
Dalam keadaan setengah sadar, korban meloncat keluar dari ruangan gelap dan pengap itu melalui jendela. Daun pintu jendela sudah rusak.
Dalam keadaan pusing, trauma, dan depresi berat, AGFGberjalan kakiperlahan sejauh 2 km menuju kediaman melalui semak-semak agar tidak terpantau orang lain. Ia takut diculik lagi.
”Pasca-kejadian itu, adik saya trauma, merasa takut saat sendirian, paranoid, dan meminta agar tidak lagi sekolah di tempat itu. Atas kebijakan sekolah, korban diperbolehkanbelajar dari rumah secara daring,” kata Gregorius.
Menurut Gregorius, sebelum penculikan, salah satu kakak kelas korban di sekolah itu berinisial EC (17) mengancam akan menculik dan menganiaya AGFG tanpa alasan jelas.
EC adalah anak dari salah satu pejabat Nagekeo, pengambil kebijakan terkait pembangunan bendungan di Lambo, Nagekeo.
Baca juga: Masyarakat Adat Minta Lokasi Pembangunan Bendungan Lambo direlokasi
Korban AGFG adalah adik kandung dari Gregrorius Daeng, salah satu relawan pendamping masyarakat adat
Rendu
yang tanah dan rumah mereka digusur untuk pembangunan Bendungan Lambo.
Gregorius dan sejumlah LSM peduli masyarakat adat begitu getol memperjuangkan hak-hak masyarakat Rendu terkait pembangunan bendungan itu.
Kasus penculikan itu pun dilaporkan ke Polres Nagekeo, April 2022, pasca-penculikan. Laporan diterima polisi. Namun, penanganan kasus penculikan pertama ini seperti berjalan di tempat.
Penanganan kasus selama April-Desember 2022 itu pun masih sebatas penyelidikan. Pelaku tidakditangkap.
Dua kali ibu korban mendatangani Polres Nagekeo, yakni Mei dan Juni 2022, menanyakan kasus penanganan penculikan AGFG. Namun, polisi selalu menjawab masih dalam penyelidikan. Ibu korban pun meminta surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP), tetapi tidak diberikan.
Menanggapi keluhan keluarga korban penculikan, Kepala Bidang Humas Polda NTT Kombes Arya Sandi mengatakan, proses hukum atas kasus ini sedang berlangsung. ”Masyarakat tunggu. Penyidik masih bekerja di lapangan,” katanya.
Konsultasi hukum
Tidak ada perkembangan yang berarti terkait kasus penculikan tersebut, pada pertengahan Juni 2022, Gregorius bersama rekan-rekan advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Indonesia Police Watch(IPW) yang diwakili Sugeng Teguh Santoso menggelar klinik konsultasi hukum di rumah orangtua Gregrius atau rumah korban di Aesesa.
Dua lembaga ini selama itu membela masyarakat adat “Rendu” yang tergusur proyek Lambo.
Baca juga: ”Saya ditangkap dan ditanya Siapa dibalik Warga yang Menolak Bendungan Lambo"
Proyek ini dibangun tanpa sosialisasi transparan dan menyeluruh kepada warga. Menurut dia, proyek tersebut bisa mengancam eksistensi keberadaan suku asli dengan budaya yang ada, seperti kuburan leluhur dan rumah adat.
”Karena itu, klinik hukum kami gelar untuk memberikan pemahaman kepada warga masyarakat kurang mampu, dan terancam tergusur untuk memahami hak-hak mereka,” kata Gregorius.
Rencana kegiatan itu jauh hari sebelumnya telah disampaikan kepada Ketua RT setempat. Namun, sehari sebelum kegiatan, lurah setempat mendatangi rumah orangtua Gregorius meminta agar kegiatan itu dibatalkan.
Alasannya belum ada pemberitahuan kepada lurah dan kegiatan itu menghadirkan masyarakat adat dari Lambo, yang saat itu sedang bersengketa dengan pemda terkait Bendungan Lambo.
Pada saat yang sama datang pula belasan preman. Mereka memberi ancaman kekerasan dan mendesak kegiatan itu segera dibubarkan. Kegaduhan pun terjadi. Dalam situasi itu anggota Polres Negekeo pun datang, dan membubarkan massa, termasuk menghentikan acara itu.
Lurah setempat lalu melaporkan kegaduhan itu kepada Polres Nagekeo. Gregorius pun dipanggil ke kantor polisi untuk menjelaskan persoalan keributan itu, lalu pulang.
Penculikan kedua, Senin, 29 Agustus 2022, pascasosialisasi klinik hukum itu. Malam hari, seorang tak dikenal masuk rumah kediaman korban melalui jendela dan bersembunyi di dalam salah satu ruangan di rumah itu.
Baca juga : Sosialisasi Pembangunan Bendungan Lambo di Nagekeo
Sekitar pukul 05.00 Wita, siswi AGFG bangun menuju kamar mandi untuk mandi karena mau ke sekolah. Saat itu muncul orang yang sudah ada di dalam rumah itu dari arah belakang dan menutup mulut korban AGFG.
Pelaku diduga membius korban saat itu dengan obat yang sudah disiapkan. Korban tak bisa bersuara sama sekali.
Karena itu, klinik hukum kami gelar untuk memberikan pemahaman kepada warga masyarakat kurang mampu, dan terancam tergusur untuk memahami hak-hak mereka. (Gregorius)
”Meski tidak bisa bicara, adik saya sempat berontak. Ia juga melihat sesosok pria tinggi kekar dengan bau rokok tercium dari mulutnya. Saat itu listrik rumah pun sengaja dimatikan di bagian meteran. Listrik tetangga pada menyala. Adik diculik lagi,” kata Gregorius.
Pukul 07.30 ibu korban bersama tetangga melapor ke Polres Negekeo atas kehilangan anak bungsu perempuan itu. Enam anggota polisi, anggota keluarga, dan tetangga mencari korban. Pukul 10.00 Wita korban ditemukan di atas bukit, di belakang kantor bupati Nagekeo oleh seorang anggota polisi. Padahal, tempat itu beberapa kali dilewati anggota keluarga yang mencari.
Saat ditemukan korban dalam keadaan pingsan dan tidak sadarkan diri. Bagian kepala korban terdapat beberapa luka lecet. Korban kemudian divisum di RSUD Aeramo Nagekeo, hasil visum sudah di Polres Nagekeo.
Korban trauma berat sehingga sulit diajak bicara. Pihak rumah sakit pun menahan korban untuk opname selama tiga hari.
Baca juga: Cukup Banyak Siswa SMA di NTT Tak Lancar Membaca
Kasus penculikan kedua ini pun dilaporkan ke Polres Nagekeo, 16 September 2022. Tetapi sampai hari ini kasus itu masih dalam status penyelidikan. Tidak ada perkembangan penyelidikan. Pelaku diduga orang yang berbeda.
Gregorius menilai ada sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus ini. Polisi mengenakan kasus ini dengan pasal pengeroyokan bukan penculikan anak di bawah umur. Jika masuk pasal pengeroyokan harus ada pelaku yang ditangkap, tetapi itu tidak ada. ”Sampai sekarang pelaku tetap bebas. Bahkan polisi cenderung menyalahkan korban,” ujarnya.
Kejanggalan lain, anak perempuan mestinya ia didampingi petugas perlindungan perempuan dan anak, tetapi tidak demikian. Pemeriksaan berlangsung pada jam sekolah sehingga mengganggu kegiatan belajar korban.
”Korban sudah masuk sekolah tetapi antar-jemput oleh anggota keluarga,” katanya.
Baca juga : Tolak Penggusuran Masyarakat Adat Pubabu, Ratusan Orang Demo di Kantor Gubernur NTT