Di Atas Pundak Bapak, Apa Saja Manfaat Menggendong Anak?
Para bapak, sudahkah Anda menggendong buah hati hari ini?
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Presiden Joko Widodo baru saja menikahkan putra bungsunya, Kaesang Pangarep, dengan Erina Gudono. Dalam rangkaian acara adat Jawa, khususnya saat siraman, terdapat momen ketika Presiden berusaha menggendong Kaesang di pundaknya. Foto momen itu viral lantaran diunggah oleh Kaesang lewat akun Twitter-nya @kaesangp dengan caption, ”Maaf ya bapak”.
Masih dalam rangkaian hajatan itu, terutama saat pesta rakyat dan kirab, saat ribuan warga berjubel menonton pasangan berbahagia itu di Solo, tampak pula sejumlah bapak yang menggendong anaknya di pundak agar sang anak dapat menyembul lebih tinggi dan menonton dengan pandangan lebih luas. Lalu apa manfaat bapak menggendong anak secara psikologis?
”Dalam psikologi ada istilah bonding attachment. Itu adalah hubungan emosional antara anak dan orangtuanya,” kata pengajar Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ugung Dwi Ario Wibowo, Senin (12/12/2022).
Ugung menyebutkan, bonding tersebut biasanya terbangun antara bapak dan anak laki-lakinya atau juga ibu dan anak perempuannya. Dalam ikatan emosional itu terdapat unsur membersamai agar anak bisa merasakan kehadiran orangtuanya.
”Dia itu dihargai, diakui, menjadi sebuah kebanggaan. Jika ada orangtua menggendong anaknya, terutama di masa anak-anak, usia TK atau golden age, artinya anak diberi kasih sayang seperti pangerannya. Ditunjukkan pada orang lain dan dipuji-puji. Kalau digendong di atas pundak itu, kan, seakan-akan diberi kesempatan untuk melihat secara luas sekaligus untuk ditunjukan kepada lingkungan sekitar bahwa inilah anakku,” paparnya.
Pada konteks tertentu, misalnya di tengah keramaian atau kerumunan orang, menurut Ugung, menggendong anak memang dilakukan orangtuanya sebagai upaya untuk melindungi anak agar tidak terjepit.
Dalam bonding attachment, lanjut Ugung,orangtua bukan hanya memberikan kasih sayang, melainkan juga memberi motivasi kepada buah hatinya. ”Dalam bonding attachment, orangtua memberi kasih sayang, motivasi, dan menyediakan dirinya menjadi model bagi anaknya,” ujarnya.
Bagi anak laki-laki, bonding juga membentuk mindset maskulinitas, mendidik anak laki-laki untuk mengambil keputusan, memberi contoh bagaimana berkeluarga ataupun menjadi sosok kepala keluarga. ”Namun, di psikologi juga ada istilah fatherless atau ketiadaan peran atau figur ayah dalam kehidupan seorang anak. Nah, bonding itu menghindari kekosongan figur atau fatherless. Jadi, ada ketakutan dari si ayah agar jangan sampai anaknya itu tidak mendapatkan figur laki-laki yang bisa dia contoh,” katanya.
Dalambonding attachment,orangtua memberi kasih sayang, motivasi, dan menyediakan dirinya menjadi model bagi anaknya.
Dalam kehidupan terdapat pula kondisi ketika anak hidup tanpa ayah, baik karena meninggal dunia maupun orangtua berpisah. Berdasarkan Data Profil Anak Indonesia 2021, sebanyak 4,76 persen anak Indonesia tinggal bersama keluarga lain dan sebagian berada di panti asuhan (Kompas, 31/10/2022). Bahkan, pandemi Covid-19 juga memaksa anak kehilangan orangtua dan menjadi yatim, piatu, bahkan yatim piatu.
Di lingkup global, merujuk temuan salah satu riset yang dipublikasikan lembaga The Lancet, diperkirakan 1.562.000 anak kehilangan setidaknya satu orangtua yang meninggal karena Covid-19 sejak 1 Maret 2020 hingga 30 April 2021 (Kompas, 23/8/2021).
Bagi keluarga yang tanpa ayah, dengan ibu menjadi orangtua tunggal, Ugung menyarankan supaya sang ibu perlu menyadari bahwa seorang anak membutuhkan sosok maskulinitas. ”Kalau anak pertama, dia biasanya dituntut menjadi sosok laki-laki untuk adik-adiknya. Kalau kita ingin menghindari fatherless pada anak pertama, si ibu harus mengajak si anak berdiskusi tentang tanggung jawab, tentang pengambilan keputusan, jadi sisi maskulinitas tetap terbentuk. Karena sisi laki-laki itu sebenarnya lebih banyak bagaimana dia menjadi seorang pemimpin, maskulin, mengambil keputusan, dan memiliki keberanian,” kata Ugung.
Kemudian hal kedua yang bisa dilakukan, lanjutnya, adalah sang ibu bisa menyediakan laki-laki yang lebih tua dalam hidupnya, seperti pakde atau paman, untuk dijadikan model dalam kehidupan si anak laki-laki supaya sang anak tidak kehilangan model maskulinitas.
Jika melirik kembali foto yang diunggah putra bungsu Presiden, gendongan orangtua kepada anaknya di saat siraman menjelang pernikahan sang anak memiliki makna mendalam. Sejumlah tulisan, misalnya ”Bentuk, Makna, dan Fungsi Upacara Ritual Daur Hidup Manusia pada Masyarakat Sunda” (Diah Nur Hadiati, skripsi, 2016) dan ”Etnografi Komunikasi Tradisi Siraman pada Prosesi Pernikahan Adat Sunda” (Zikri Fachrul Nurhadi, Jurnal Penelitian Komunikasi, 2018), menyebutkan bahwa itu adalah gendongan terakhir sang orangtua lantaran anaknya hendak memulai hidup sebagai keluarga baru. Gendongan yang bermakna tanggung jawab secara simbolik telah dilepaskan dan sang anak sendirilah yang kini bertanggung jawab dalam hidup bersama keluarga barunya.
Di tengah lautan manusia yang antusias menyaksikan kirab Kaesang-Erina di Solo, tampak beberapa orangtua, baik bapak maupun ibu, yang menggendong anaknya masing-masing. Meski panas dan kesulitan bergerak, mereka tetap melindungi sang anak. Beberapa bapak juga tampak menggendong anaknya di pundak sehingga sang anak tampak menyembul di tengah lautan manusia.
Senyum dan tawa anak tampak terpancar dari sinar matanya yang terkagum-kagum melihat banyak hal di depannya secara luas. Sementara sang ayah tampak berkeringat dan mencoba berkomunikasi dengan sang anak untuk menceritakan apa yang dilihatnya. Meski lelah dan berkeringat, mereka para orangtua tetap berusaha membahagiakan buah hatinya sekaligus menunjukkan pada dunia bahwa ”inilah anak kebanggaanku”.
Bagi para orangtua, khususnya bapak-bapak, sudahkah Anda menggendong buah hati hari ini?