Pemerintah perlu menertibkan tumpang tindih kepemilikan tanah di NTT melalui reforma agraria. Jangan lagi ada sertifikat ganda atau bahkan lebih.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KORNELIS KEWA AMA
Peserta Rapat Koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria di Kupang, Jumat (9/12/2022). Tanah-tanah bermasalah segera ditertibkan sehingga kepemilikan tanah tidak lagi menumpuk di satu orang, tetapi dibagi dan dikelola secara adil, jujur, dan bertanggung jawab.
KUPANG, KOMPAS — Kasus saling jual dan beli tanah di atas lahan yang sama segera ditertibkan sehingga status hukum tanah itu menjadi jelas. Tanah-tanah di wilayah terpinggir, termasuk pulau-pulau kecil, segera mendapatkan legalitas negara sehingga bisa dimanfaatkan demi kesejahteraan masyarakat pemilik. Tanah tidak bertambah, masyarakat terus bertambah.
Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Setda Nusa Tenggara Timur (NTT) Bernadeta Meriana Usboko ketika membuka Rapat Koordinasi Akhir Gugus Tugas Reforma Agraria NTT di Kupang, Jumat (9/12/2022), mengatakan, masalah tanah di provinsi ini sangat krusial. Kasus tanah itu bergulir dari tahun ke tahun, dan saling bermunculan.
”Tertibkan tumpang tindih kepemilikan tanah di daerah ini. Kakak jual ke orang lain, adik datang jual lagi ke orang lain, dan saudara yang lain menjual lagi pada areal tanahnya tetap sama,” katanya sembari menambahkan hal ini terjadi karena gugus tugas reforma agraria ini bisa bertindak dini.
Ia mengatakan, NTT sebagai provinsi kepulauan dengan 1.192 pulau, yang telahmemiliki nama 432 pulau, dan berpenghuni 42 pulau.
Tertibkan tumpang tindih kepemilikan tanah di daerah ini. Kakak jual ke orang lain, adik datang jual lagi ke orang lain, dan saudara yang lain menjual lagi pada areal tanahnya tetap sama. (Bernadetta)
Jumlah1.150 pulau lain belum bernama, tidak dihuni, dan sebagian berupa pulau-pulau sangat kecil, diapit laut luas seperti Laut Sawu. Pulau kecil ini sangat indah dan menawan. Agar pulau-pulau ini tidak disalahgunakan, maka segera dilegalikan.
Irjen Kementerian ATR/BPN Sunraizal (ketiga dari kanan), Asisten Setda NTT Bernadeta Usboko (ketiga dari kiri), dan Kepala Kantor Wilayah BPN NTT Yaconias Walalayo (kedua dari kiri) saat Rakor Reforma Agraria di Kupang, Jumat (9/12/2022).
Proses redistribusi
Sampai saat ini proses redistribusi tanah di NTT oleh pihak agraria dan tata ruang atau BPN NTT 98 persen. Sisa 2 persen belum diredistribusi. Meski demikian, tanah-tanah yang sudah diredistribusi itu perlu ditertibkan.
Selama ini menjadi persoalan dalam pembangunan selalu terkait tanah adat atau tanah ulayat. Tanah-tanah seperti ini perlu mendapat perhatian pihak berwewenang sehingga tidak menimbulkan masalah di lapangan. Tugas BPN memperjelas status tanah-tanah itu sehingga tidak selalu menimbulkan masalah yang berkelanjutan.
Kepastian hukum hak atas tanah harus dimiliki masyarakat. Tanah itu bisa membawa manfaat bukan dibiarkan terlantar, atau diperebutkan beberapa pihak sehingga sulit dikelola. Mereka yang selama ini berprofesi sebagai petani, tetapi berstatus sebagai penggerak, segera mungkin diupayakan agar mereka memiliki lahan tetap.
Jika kelompok ini sepanjang hidup tetap berstatus sebagai petani penggarap, kehidupan ekonomi mereka tetap di bawah standar. ”Bagi petani penggarap yang ingin mengubah hidup, terpaksa menjadi pekerja migran di luar negeri, seperti terjadi selama ini,” kata Bernadeta.
Peserta Rakor Gugus Tugas Reforma Agraria dari 22 kabupaten/kota di NTT, juga mengikuti secara daring, Jumat (9/12/2022).
Dengan redistribusi tanah melalui reforma agraria, diharapkan tanah-tanah yang selama ini dikuasai oleh negara dapat dibagikan secara adilkepada masyarakat sehingga bisa dikelola atau dimanfaatkan untuk kesejahteraan mereka.
Pembagian tanah itu melalui pemberian sertifikat tanah secara adil dan merata kepada setiap warga yang berhak agar bisa dikelola demi kesejahteraan mereka.
Dengan demikian, masyarakat secara leluasa mengelola lahan. Mereka menanam, memanfaatkansumber daya air, hutan, pohon, dan semua yang ada atas lahan itu.
”Untuk wilayah NTT sampai saat iniprogram redistribusi reforma agraria itu sudah mencapai 98 persen, sisa 2 persen yang belum. Ini, sesuai laporan Kepala Badan Pertanahan NTT,” ujarnya.
Saatnya pemerintah berpihak pada ketahanan dan kedaulatan pangan. Legalitas lahan itu sangat penting karena status tanah yang tidak jelas sering mengganggu proses pengolahan lahan oleh masyarakat, terutama petani.
Ia mengatakan, bupati/wali kota paham mengenai status tanah di daerah masing-masing. Tanah adat, tanah warisan, tanah pemerintah, dan tanah perorangan perlu mendapat legalitas negara.
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, di dalamnya, antara lain, mendorong pembentukan badan bank tanah. Artinya, tanah itu juga duit, tetapi tidak bergerak. Duit yang tidak bergerak ini nilainya jauh lebih tinggi dibanding duit yang bergerak, bisa dipindahtangankan dan mudah hilang. Sebaliknya, duit yang tidak bergerak ini harus bisa dimanfaatkan atau diolah untuk kesejahteraan masyarakat.
Irjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Sunraizal saat tampil sebagai pembicara utama dalam rapat koordinasi gugus tugas reforma agraria di Kupang, Jumat (9/12/20220.
Irjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Sunraizal yang hadir pada kesempatan itu mengatakan, reforma agraria bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penataan aset berupa penataan kepemilikan lahan, sementara penataan akses, yakni masyarakat bisa akses dengan muda untuk memiliki lahan. Ini sangat penting.
Pendampingan pun penting agar tanah dimanfaatkan secara optimal. Setelah masyarakat memiliki legalitas hukum atas lahan itu, segera mungkin diberdayakan, dengan cara apa pun, yang penting bisa meningkatkan kesejahteraan, dan tidak menimbulkan persoalan di masa datang.
”Reforma agraria ini kebijakan sangat mulia. Pemprov dan Kanwil BPN NTT harus segera selesaikan tugas ini. Kegiatan ini bukan tugas yang mudah. Saat ini hanya segelintir orang menguasai lahan yang sangat luas bahkan hampir semuanya, sebaliknya banyak orang tidak memiliki lahan sama sekali,” katanya.
Ia mengatakan, tanah tidak bertambah, tetapi masyarakat terus bertambah sehingga sering melahirkan masalah atau konflik terkait tanah. Menyelesaikan konflik itu perlu pendekatan melalui reforma agraria.
Remaja putri dari masyarakat adat Desa Pubabu, Timor Tengah Selatan, melakukan aksi di Pubabu, mendesak Pemprov NTT mengganti rugi rumah mereka yang digusur Pemprov pada awal Agustus 2020. Kini, mereka tinggal bergabung dengan anggota keluarga secara terpencar di beberapa tempat di Timor Tengah Selatan.
Ada orang yang menguasai tanah dalam jumlah besar, tetapi tidak memanfaatkan. Tanah dibiarkan terlantar karena ia sendirian tidak mampu mengelola. Melalui reforma agraria, masyarakat bisa akses ke sana, memanfaatkan tanah itu.
Secara terpisah, anggota DPRD NTT daerah pemilihan Manggarai Raya, Johanes Rumat, mengatakan, BPN NTT perlu melakukan koordinasi dengan BPN Manggarai Barat, pemda, dan pihak terkait di Manggarai Barat untuk menertibkan tanah-tanah bermasalah di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Reforma agraria ini tidak hanya dibicarakan atau dideklarasikan, tetapi juga diimplementasikan secara adil dan jujur.
Di Labuan Bajo, misalnya, ada satu bidang tanah, tetapi memiliki 3-5 sertifikat dengan kepemilikan yang berbeda-beda. Bahkan, rumah biarawati yang sudah berpuluh-puluh tahun hadir di sana, tiba-tiba ada yang mengklaim dengan menunjukkan sertifikat baru sebagai pemilik.
”Siapa yang menerbitkan sertifikatbaru di atas sertifikat lama itu. Mengapa mereka bisa lakukan itu,” katanya.