Kasus Puskesmas Bungku Terkesan Dipaksakan Naik
Kasus pembangunan Puskesmas Bungku di Kabupaten Batanghari dinilai terkesan dipaksakan naik ke ranah pidana. Padahal, sesuai dengan aturan, penanganan mestinya dilakukan secara administratif.
JAMBI, KOMPAS
—
Kuasa hukum menilai jaksa penuntut umum tidak cermat dalam mendakwa tujuh terdakwa kasus dugaan korupsi pembangunan Puskesmas Bungku di Kabupaten Batanghari, Jambi. Kasus itu terkesan dipaksakan naik ke ranah pidana meski sesuai dengan aturan, penanganan dilakukan secara administratif.
”Dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa mengandung tertib acara yang improper atau ilegal,”kata M Syahlan Samosir, kuasa hukum ketujuh terdakwa dalam sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jambi, Kamis (8/12/2022).
Sidang itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Yandri Roni serta hakim anggota, Yofistian dan Bernard Pandjaitan.
Ketujuh terdakwa itu adalah para pelaksana proyek dan konsultan pembangunan Puskesmas Bungku, serta salah satu di antaranya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari EY.
Hukum perdata
Perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa, menurut dia, masih berada di ranah hukum administrasi dan hukum perdata sehingga perlu dikembalikan kepada substansi penegakan hukum yang semestinya.
Hal itu diatur dalam Pasal 96 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang isinya, setiap penyedia jasa dan pengguna jasa yang tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dikenai saksi administratif berupa peringatan tertulis ataupun denda.
Baca juga: Puskesmas Bungku, Perbedaan Audit Dua Lembaga
Kuasa hukum lainnya, Fifian Elsa, menambahkan, jaksa tidak cermat dalam membuat dakwaan. Ia pun menyebut ada kesan kasus itu dipaksakan tetap naik. Sejumlah kejanggalan ditemui, antara lain penetapan totalloss.
Ia menilai, penetapan itu tak sesuai dengan fakta di lapangan. ”Dari mana perhitungan total loss itu, sementara gedungnya sudah dipakai. Sudah beroperasional hampir dua tahun dan kondisinya masih sangat baik. Gagal bangunnya di mana?” ujarnya.
Ia pun menyebut telah ada audit dari Badan Pemeriksa Keuangan. Hasil audit tidak menyebut adanya gagal bangun dan tidak ada kerugian negara.
Hakim ketua, Yandri Roni, mengatakan, sidang eksepsi akan dilanjutkan kembali pada Senin (12/12/2022). Sebab, pada sidang eksepsi kali ini, salah seorang terdakwa, EY, tidak hadir karena sakit. EY tengah dirawat di tahanan Lembaga Permasyarakatan Perempuan dan Anak Batanghari.
Gagal bangunnya di mana.
Puskesmas Bungku di Kabupaten Batanghari digadang-gadang menjadi layanan medis 24 jam. Layanan ini strategis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitar pedalaman Jambi tersebut. Di sana tersebar cukup banyak warga komunitas pedalaman Orang Rimba dan suku Batin Sembilan
Lewat Dana Alokasi Khusus Tahun 2020, gedung puskesmas dibangun dengan anggaran sebesar Rp 7,2 miliar. Proyeknya ditargetkan memakan waktu 150 hari kerja. Berakhir pada 14 Desember 2020.
Puskesmas itu resmi beroperasi 13 Juli 2021. Gedungnya sempat digunakan sebagai tempat perawatan pasien Covid-19, program vaksinasi massal Covid-19, serta pelayanan medis umum lainnya. Setelah beroeprasi hampir dua tahun, hingga kini, gedung puskesmas juga masih beroperasi.
Namun, penyidik Kepolisian Daerah Jambi menyebut ada gagal bangun pada proyek tersebut. Ada dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp 6,3 miliar.
Angka itu didapat dari analisis ahli konstruksi dari ITB serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) turun ke lapangan. Ahli konstruksi berkesimpulan terjadi kerugian negara atas kondisi gagal bangun proyek tersebut.
Baca juga: Menuju Kepastian Hukum
Dalam sidang pembacaan dakwaan Senin lalu, JPU Pahmi turut membacakan hasil pemeriksaan, kualitas beton terpasang pada bangunan puskesmas turun 30 persen. Apabila bangunan tersebut digunakan akan membahayakan pengguna.
Fisik kualitas bangunan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Gedung puskesmas disebut gagal bangun karena fungsinya tidak sesuai rencana serta tidak memenuhi kaidah keandalan bangunan, yaitu keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.
Kerugian negara
Dalam sidang, Syahlan menyebut lembaga yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara adalah BPK, bukan BPKP. Kewenangan itu telah diatur Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016.
Perihal hal itu juga sempat disinggung pakar hukum pidana dari Universitas Jambi, Usman. Ia melihat ada kejanggalan di balik kasus tersebut. Katanya, dua audit lembaga negara memaparkan hasil berbeda, tetapi mengapa hanya audit BPKP yang dipakai untuk menyatakan adanya kerugian negara?
Baca juga: Vonis Tiga Orang Rimba dan Harapan atas Ruang Hidup
Padahal, berdasarkan hukum, tugas BPKP adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara atau daerah dan pembangunan nasional. BPKP tidak berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara.
Ditambah lagi, hasil audit pembangunan Puskesmas Bungku oleh BPK tidak ada menyebutkan adanya kerugian negara, tetapi adalah kelebihan bayar senilai Rp 260 juta. ”Namun, kelebihan bayar bukanlah tindak pidana,” ujarnya.
Penekanan itu disampaikan Usman untuk mengingatkan aparat penegak hukum agar jangan salah menerapkan hukum.