Atasi Kerusakan Mangrove, Pemprov Sumsel Bentuk Kelompok Kerja
Pemprov Sumsel membentuk kelompok kerja mangrove daerah untuk mengoptimalkan rehabilitasi lahan mangrove yang rusak. Sekitar 42.000 hektar mangrove di Sumsel dalam kondisi kritis.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Sebuah perahu cepat berlayar di tengah hutan mangrove yang terletak di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Keberadaan hutan mangrove di sana terancam pembukaan tambak tradisional. Pengelolaan tambang berkonsep ramah lingkungan mulai dicanangkan untuk mengembalikan fungsi hutan bakau di sana.
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan membentuk kelompok kerja mangrove daerah untuk mengoptimalkan rehabilitasi lahan mangrove yang rusak. Selama ini, upaya rehabilitasi mangrove masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti kurangnya kesadaran tentang pentingnya mangrove dan keberadaan kartel yang diyakini berada di balik alih fungsi lahan mangrove.
Pembentukan kelompok kerja itu dilakukan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Sumsel Nomor 588/KPTS/Dishut/2022 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Sumatera Selatan. Penyerahan SK itu dilakukan pada Kamis (8/12/2022) di Palembang.
Menurut SK yang ditandatangani pada 11 Agustus 2022 itu, KKMD memiliki sejumlah tugas krusial, misalnya mengidentifikasi masalah yang terjadi pada kawasan mangrove, melakukan pembaruan peta mangrove daerah, dan melakukan sinkronisasi road map (peta jalan) pada instansi terkait.
Kepala KKMD Sumsel Pandji Tjahjanto menyatakan, luas kawasan mangrove di Sumsel saat ini sekitar 159.000 hektar. Dari jumlah itu, sekitar 42.000 hektar atau 26,6 persen di antaranya kritis. Hal ini terjadi karena berbagai aktivitas, terutama alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak.
Melihat kondisi tersebut, Pandji yang juga menjabat Kepala Dinas Kehutanan Sumsel menuturkan, pembentukan KKMD sangat dibutuhkan agar terjadi sinkronisasi visi antar-instansi, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat untuk turut berperan dalam pemulihan gambut.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Sejumlah pengunjung melintasi kawasan hutan bakau (mangrove) di kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (3/8/2020). Sekitar 20 persen dari 158.000 hektar lahan mangrove di Sumsel dalam keadaan kritis.
Di tahap awal, ujar Pandji, pihaknya akan menyusun perencanaan kerja untuk memastikan area yang akan diintervensi tepat sasaran. Untuk itu, sinkronisasi data dan peta wilayah sangat dibutuhkan.
Setelah proses perencanaan tuntas, tahapan selanjutnya adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kawasan mangrove. Agar sosialisasi bisa lebih optimal, KKMD akan membuat demplot, di mana rehabilitasi mangrove dapat berjalan seiring dengan aktivitas tambak.
”Dengan menanam mangrove di sekitar tambak diharapkan akan tersedia pakan alami sehingga ongkos produksi dapat berkurang,” ucap Pandji.
Sekretaris Daerah Sumatera Selatan SA Supriono menyebut, kawasan mangrove sangatlah terbuka dan tidak mungkin tim bisa mengawasinya secara detail. Namun, harus ada aturan yang jelas mengenai kawasan mana saja yang bisa dikelola oleh masyarakat dan mana yang tidak.
Oleh karena itu, sosialisasi tentang mangrove tidak bisa hanya dilakukan di sebatas jajaran pimpinan, tetapi harus menyentuh hingga akar rumput. ”Sosialisasi tidak hanya untuk regulator, tetapi juga harus sampai pada penerima regulasi,” ujarnya.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Petugas mengecek bibit mangrove di dalam tempat penyemaian Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Badung, Bali, Kamis (8/12/2022). Kawasan hutan mangrove itu menjadi salah satu lokasi yang dikunjungi para pemimpin G20 pada Rabu (16/11) lalu. Setelah G20, pemerintah menargetkan penyemaian 6 juta bibit.
Kurangnya pemahaman
Supriono memaparkan, kurangnya pemahaman akan membuat kawasan mangrove terus dirambah hanya untuk kepentingan sejumlah pihak. Dia meyakini, banyaknya alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak terjadi karena ada peluang ekonomi, misalnya ada industri yang membutuhkan pasokan ikan atau udang.
Karena tidak ada lahan, warga kemudian didorong untuk melakukan alih fungsi mangrove menjadi tambak. Proses alih fungsi itu bahkan terjadi di kawasan hutan. ”Sudah ada permainan kartel dalam pembukaan tambak,” ujar Supriono.
Oleh karena itu, dia berharap sosialisasi kepada masyarakat harus terus dilakukan. Upaya merehabilitasi mangrove juga mesti terus dilakukan agar bencana, seperti abrasi, terkikisnya keanekaragaman hayati, serta berkurangnya pasokan makanan, tidak terjadi.
”Mangrove tidak hanya sekadar tanaman, tetapi juga pelindung kita dari sejumlah bencana. Ingat di bumi ini tidak hanya milik kita semata, tetapi milik generasi selanjutnya,” ucap Supriono.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Sejumlah pejabat dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menanam tanaman bakau di kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (3/8/2020). Sekitar 20 persen dari 158.000 hektar lahan mangrove di Sumsel dalam keadaan kritis.
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Musi Sulthani Aziz tidak menampik kemungkinan adanya kepentingan kartel di tengah maraknya pembukaan tambak. Menurut dia, kawasan hutan pesisir timur di Sumsel merupakan yang terluas di Sumatera.
Luas kawasan hutan pesisir di Sumsel mencapai 427.149 hektar. Dari jumlah tersebut, sekitar 36.905 hektar sudah menjadi tambak. Adapun luasan tambak di luar kawasan mencapai 18.765 hektar. ”Jika tidak segera ditanggulangi, dikhawatirkan jumlah mangrove yang rusak akibat tambak kian melebar,” ucapnya.
Sudah ada permainan kartel dalam pembukaan tambak.
Menurut Sulthani, hasil tambak di pesisir Sumsel biasa dikirim ke sejumlah wilayah lain Sumatera, misalnya Riau, Lampung, dan Bangka Belitung. Sebagian hasil tambak itu juga dikirim ke Jawa. ”Bahkan, hasil bandeng dan udang di Muara Angke, Jakarta, ada yang berasal dari hasil tambak di Sumsel,” ujarnya.
Yusri, salah satu petambak di Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, Sumsel, menyatakan, banyak kapal yang datang untuk mengambil hasil tambak dari desanya. ”Mereka datang dari Lampung, Bangka Belitung, dan Jakarta,” ucapnya.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Tambak tradisional yang ada di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Tambak udang windu dan bandeng ini dibuka dengan cara membabat hutan mangrove. Pengelolaan tambang berkonsep ramah lingkungan mulai dicanangkan untuk mengembalikan fungsi hutan bakau di sana.
Kebanyakan hasil tambak itu dikirim ke sana karena potensi pasarnya lebih besar dibandingkan di Sumsel. Hanya saja, dalam lima tahun terakhir, produksi tambak menurun tajam akibat perubahan cuaca.
Melihat penurunan ini, Yusri tertarik untuk mencoba metode rehabilitasi mangrove. Sebab, dengan rehabilitasi, tambak dengan luasan tidak begitu besar bisa menghasilkan ikan atau udang dengan kuantitas yang sama dengan hasil produksi dari tambak dengan luasan lebih besar. ”Namun, memang kami harus melihat contoh terlebih dahulu,” ucap Yusri.
Direktur Program Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara Muhammad Imran Amin menyebut, pada dasarnya kemauan masyarakat untuk mulai merestorasi mangrove sudah tumbuh. Hal ini terlihat dari beberapa tambak yang mulai ditanami sejumlah tanaman mangrove.
Di sisi lain, masyarakat juga harus diedukasi mengenai potensi ekonomi lain di balik kelestarian mangrove. Dari hasil penelitian, Imran menyebut, nilai ekosistem mangrove mencapai Rp 30,6 triliun per tahun. ”Jika ini dapat dikelola dengan baik, akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat,” ujarnya.