Meski Sudah Hujan, Sebagian Petani di NTT Belum Menanam
Sekitar 300.000 hektar lahan pertanian di NTT mengandalkan hujan. Petani khawatir, perubahan iklim rentan membuat gagal tanam.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Hujan dengan intensitas ringan hingga lebat semakin sering mengguyur sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memastikan, daerah itu sudah memasuki musim hujan. Meski begitu, sebagian petani yang mengolah lahan tadah hujan belum mulai menanam karena khawatir hujan belum rutin.
Di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang, awan hitam menggantung sepanjang Rabu (7/12/2022). Dalam sehari, terjadi hujan deras beberapa kali di sejumlah desa dan kelurahan. Kondisi semacam itu sudah berlangsung selama lebih dari satu pekan terakhir.
Alex Tuan (50), petani dari Nekamese, Kabupaten Kupang, mengatakan, ia sudah menyiapkan lahan seluas setengah hektar untuk menanam padi dan jagung. Namun, saat ini ia belum berani menanam dengan alasan khawatir mengalami gagal tanam seperti tahun lalu.
”Tahun lalu setelah tanam pada awal Desember, hujan tidak turun lagi sehingga tanaman mati semua. Akhir Desember baru tanam lagi. Sekarang musim tidak menentu, jadi kami tunggu informasi cuaca dari pemerintah,” kata Alex.
Pada November 2022, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan petani di NTT agar tidak buru-buru menanam. Saat itu terjadi hujan dengan intensitas tinggi selama sepekan, tetapi belum dikategorikan sebagai musim hujan.
Hujan pada November masuk kategori musim transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Suatu wilayah dikatakan berada pada musim hujan jika curah hujan dalam 10 hari mencapai 50 milimeter kemudian diikuti 20 hari kemudian. Dengan kata lain, dalam satu bulan, curah hujan mencapai 150 milimeter.
Secara terpisah, Kepala BMKG Stasiun Meteorologi El Tari Kupang Agung Sudiono Abadi memastikan saat ini wilayah NTT sudah memasuki musim hujan. Ke depan, hujan dengan intensitas tinggi akan terus terjadi. Para petani yang mengandalkan tadah hujan sudah boleh menanam.
Ia juga mengingatkan suhu air laut cenderung hangat didukung kelembaban cukup basah di setiap lapisan atmosfer. Hal ini menyebabkan tingginya potensi hujan disertai petir dan angin kencang. Kondisi itu juga berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi sehingga perlu diwaspadai.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT Lecky F Koli mengatakan, sebagian besar petani di NTT mengandalkan hujan sebagai sumber pengairan. Total sekitar 300.000 hektar lahan merupakan tadah hujan. Adapun lahan basah hanya 127.000 hektar yang tersebar di 43 daerah irigasi.
Ia memahami, petani sangat berhati-hati memulai penanaman mengingat kondisi iklim yang tidak menentu. Salah tanam akan sangat merugikan petani. Mereka harus membeli benih ulang dan mengeluarkan biaya tenaga kerja untuk buruh tani.
Setiap daerah punya pangan lokal yang berbeda-beda.
Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah menanam tanaman pangan yang tahan terhadap cuaca panas, seperti sorgum. Program itu berjalan baik di Kabupaten Flores Timur yang masuk kategori daerah minim curah hujan. Pengelolaan sorgum di daerah itu menjadi contoh di NTT.
Dina Soro, Koordinator Program Suara untuk Aksi Perubahan Iklim Berkeadilan untuk wilayah Kota Kupang dan Kabupaten Kupang mengatakan, petani menjadi pihak yang paling mengalami dampak perubahan iklim. Kondisi itu sangat mengganggu pasokan pangan. Ia melihat belum ada upaya komprehensif dan masif untuk mengatasi masalah tersebut.
Menurut dia, persoalan pangan dapat diatasi dengan pendekatan kearifan lokal. Tidak bisa semua daerah diminta menanam sorgum atau pangan lokal tertentu.
”Setiap daerah punya pangan lokal yang berbeda-beda. Mereka tahu bagaimana mengelolanya. Di sini, pemerintah perlu hadir untuk memberi penguatan,” kata Dina.