Terima Doktor ”Honoris Causa” dari ISI Surakarta, Garin Nugroho Serukan Saatnya Seni Jadi Hak Asasi
Garin Nugroho menerima gelar doktor ”honoris causa” dari ISI Surakarta di bidang penciptaan film. Karyanya dinilai sebagai film seni yang memperkuat kultur Nusantara dan menggugah kemanusiaan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·6 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Sutradara Garin Nugroho Riyanto dianugerahi gelar doktor honoris causa dari Institut Seni Indonesia Surakarta di bidang penciptaan film pada Selasa (6/12/2022). Karya-karya Garin, baik film maupun tulisan-tulisan berupa kritik film. dinilai memperkuat kultur lokal Nusantara sekaligus menggugah kemanusiaan. Garin dalam pidato ilmiahnya pun menyerukan bahwa kini saatnya seni menjadi hak asasi bagi warga negara Indonesia.
”Kebudayaan hanya dimanifestasikan sebagai bentuk seni dalam pengertian mikro, bahkan sering diartikan sebagai hiasan. Namun, langka meletakkan bentuk seni tersebut sebagai kebudayaan dalam arti luas sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari hak sipil atau hak asasi manusia. Saatnya kita semua mengatakan, seluruh seni menjadi bagian hak asasi warga negara Indonesia,” kata Garin Nugroho dalam pidato ilmiah.
Pidato itu disiarkan melalui kanal Youtube ISI Surakarta Official dari Pendopo Agung GPH Joyokusumo, ISI Surakarta, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa.
Garin menyampaikan pidato ilmiah berjudul ”Strategi Budaya sebagai Oase Masyarakat Sipil yang Demokratis”. Baginya, oase adalah ekosistem dan kita tidak bisa mengambil salah satu unsurnya saja. Seluruh unsur harus hidup untuk menumbuhkan sebuah kesuburan, sebuah mata air bagi semua kehidupan.
Dia memberi contoh bahwa dirinya telah berkolaborasi dengan seniman-seniman dari ISI Surakarta sejak 2004, mulai dari generasi Rahayu Supanggah dan kawan-kawan, Eko Supriyanto dan kawan-kawan, dan bahkan kini di film Melodrama bekerja dengan teman-teman semester III dan IV ISI Surakarta.
”Jika seseorang tumbuh di antara bakat-bakat, dan jika seseorang tumbuh di antara ruang-ruang pendidikan dan penciptaan, maka itu adalah sebuah ekosistem, sebuah oase seperti judul karya saya ini. Ruang subur bagi kita untuk tumbuh. Terima kasih ISI Surakarta,” kata Garin.
Menurut Garin, persoalan yang dihadapi dewasa ini adalah seni tidak dihubungkan atau diletakkan dalam peranannya memajukan masyarakat sipil yang demokratis, produktif, dan kritis. ”Sering kali seni hanya dianggap sebuah hiasan oleh kita semua sehingga sahabat-sahabat seni, institut seni, sering tidak mendapatkan hak ekonomi, hak politik, dan hak berbangsa, seperti juga hak-hak dari bidang yang lain,” paparnya.
Garin memberi contoh lewat fenomena drama Korea. Dunia, bahkan ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak muda di Indonesia, mencintai bahasa Korea, gaya hidup, dan tempat-tempat Korea. Garin melanjutkan, Orde Lama dan Orde Baru selalu menyebut ekonomi dan politik sebagai panglima atau prioritas.
”Pertanyaan saya, kapan kebudayaan sebagai panglima, sebagai pemajuan bangsa kita ini? Kebudayaan sesungguhnya adalah sebuah oase, sebuah ekosistem. Di dalamnya politik, ekonomi, humaniora, dan sebagainya ada di dalam kebudayaan itu,” katanya.
Lebih lanjut, Garin menyebutkan, kebudayaan adalah cara berpikir, bertindak, dan bereaksi sebuah bangsa menghadapi dinamika dunia. ”Karya-karya Korea, misalkan itu adalah cara berpikir, bertindak, bereaksi sebagai suatu ekosistem, maka dibangunlah seluruh strategi budaya dari bank, institusi film, kebijakan pemerintah sebagai suatu ekosistem semuanya, tidak bisa dipecah-pecah,” katanya.
Kebudayaan sesungguhnya adalah sebuah oase, sebuah ekosistem. Di dalamnya politik, ekonomi, humaniora, dan sebagainya ada di dalam kebudayaan itu.
Garin juga mengisahkan perjalanannya saat ke Amerika dan melihat bahwa seni yang hadir di ruang publik adalah bagian dari hak asasi manusia untuk bisa tumbuh jadi warga negara yang baik.
”Mereka bilang bahwa mereka yang menonton film, mereka yang menonton lukisan bukan untuk menjadi seniman semata. Tapi ketika merasakan sebuah garis, merasakan sebuah peristiwa yang mengharukan, merasakan sebuah nada, maka kemanusiaan yang subtil dalam dirinya tumbuh. Mengerti ruang, mengerti nada, maka (mereka) akan membangun kota-kota yang beradab,” katanya.
Menurut Garin, seni punya dua peranan besar, yaitu memenuhi kebutuhan fisik hingga ekonomi dan politik berkat bentuk konsep dan aktivitasnya. Namun, seni juga membawa aspek yang paling penting bagi demokratisasi, yaitu pembongkaran, perenungan, hingga emosi estetis yang tidak bisa diterjemahkan supaya masyarakat sipil merasakan emosi terkecil kemanusiaan lewat garis, peristiwa, nada, tapi ada aspek terakhir yang tidak dipunyai disiplin lain, yaitu interpretasi.
Interpretasi itu, lanjutnya, kembali kepada setiap individu dan itu menjadi sesuatu yang relatif. Dalam relativitas itulah demokratisasi diuji. ”Peran seni di dalam demokratisasi salah satu yang terpenting adalah interpretasi. Demokrasi bukan sekadar prosedur, pemilu, bukan. Esensi demokrasi adalah memenuhi hak asasi manusia. Salah satu hak asasi manusia adalah kebebasan berpendapat dan interpretasi. Dan itu bisa dikembangkan pada seni-seni kita,” katanya.
Profesor Pande Made Sukerta sebagai promotor dalam penganugerahan gelar ini kepada Garin menyampaikan, Garin Nugroho yang lahir di Yogyakarta, 6 Juni 1961, dikenal di kalangan luas sebagai sineas, terutama karena karya-karya filmnya yang bisa dikategorikan sebagai film art.
”Selain menyutradarai banyak film, Garin juga banyak menulis buku, review, kritik film, dan juga esai kebudayaan yang dimuat di surat kabar nasional, terutama harian Kompas, yang penting secara akademis, berbicara di banyak forum nasional maupun internasional, serta menggagas banyak forum festival di berbagai daerah. Karya-karya Garin, baik film, kritik film, dan juga aktivisme, memiliki pengaruh besar baik di kalangan seniman, aktivis, maupun dunia akademik,” kata Pande.
Menurut Pande, dari banyak film yang telah disutradarai Garin Nugroho, ada benang merah yang bisa ditarik. Pertama, film-film karya Garin mengetengahkan tema yang sebenarnya sederhana, tetapi mendalam dari sisi refleksi kemanusiaan ataupun kultural.
Kedua, karya-karya film Garin hampir semuanya bertumpu pada visi mengenai kultur Indonesia atau Nusantara. Ketiga, karya-karyanya merupakan ekspresi kreativitas yang dihasilkan dari hasil penjelajahan serta riset panjang dan mendalam. Keempat, hampir semua karyanya cenderung berwatak puitik.
”Ciri-ciri seperti itu yang membuat karya-karya film Garin lebih merupakan karya seni yang penting, bukan hanya sebagai tontonan, tapi juga bagi dunia akademis. Karya-karya film Garin banyak diputar untuk festival yang memang mengemban misi, terutama untuk meningkatkan harkat kemanusiaan dan peradaban ketimbang sebagai produk industri tontonan untuk kelayakan umum guna mendapatkan keuntungan kapital,” tutur Pande.
Rektor ISI Surakarta I Nyoman Sukerna menyampaikan, ISI Surakarta bangga dan bersyukur karena kampus yang berusia 58 tahun ini baru pertama kali menganugerahkan gelar doktor honoris causa. ”Gelar doktor honoris causa diberikan kepada seseorang yang telah berjasa atau berkarya luar biasa pada bidang seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi serta sumbangsihnya pada kebudayaan dalam arti yang lebih luas, termasuk dalam bidang kemanusiaan,” katanya.
Menurut I Nyoman Sukerna, Garin Nugroho adalah satu di antara sedikit manusia yang berkarya, mencipta, mengabdi, dan berkomitmen secara konsisten dalam dunia kesenian yang sangat luas. ”Meskipun berbasis pada penciptaan seni film, bagi kami, Garin secara luas, adaptif, kreatif, dan inovatif hadir dalam banyak ruang kesenian yang lain,” ujarnya.
Happy Salma dalam video pembuka acara penganugerahan tersebut menyampaikan ucapan selamat sekaligus menyebut Garin sebagai seorang guru. ”Mas Garin Nugroho bagi saya adalah seorang guru. Dia sering memberikan arahan, pandangan terhadap kekaryaan yang membuat saya juga semakin percaya diri,” kata Happy.