Surat Izin Cerai Ditolak, Pegawai Korban KDRT Gugat Sekda Kendal
ASN yang menjadi korban KDRT menggugat Sekretaris Daerah Kendal yang menolak permohonan izin cerai untuknya. Sebelum menggugat di PTUN, ASN itu pernah mengajukan banding atas penolakan itu.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — IP (33), seorang aparatur sipil negara di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, menggugat Sekretaris Daerah Kendal karena menolak surat izin perceraian yang diajukannya. Pemerintah daerah pun diminta melindungi perempuan korban kekerasan.
IP mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) setidaknya sejak dua tahun terakhir. Kekerasan yang didapatkan oleh ASN Dinas Kesehatan Kendal itu dari suaminya berupa kekerasan seksual, kekerasan verbal, kekerasan fisik, hingga ancaman pembunuhan. Kondisi itu membuat IP mantap mengajukan gugatan cerai.
Dalam Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 disebutkan, ASN yang akan melakukan perceraian harus memperoleh surat izin dari Pejabat Pembina Kepegawaian melalui surat hierarkis atasan ASN yang bersangkutan. ASN yang bercerai tanpa izin akan mendapatkan sanksi berat.
Sejak 2021, IP telah berupaya mendapatkan surat izin untuk melakukan perceraian dari sekretaris daerah (sekda) setempat. Sugiono, Sekretaris Daerah Kendal yang menjabat sejak Maret 2022, menolak surat izin tersebut. Penolakan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Sekda Kabupaten Kendal bernomor 474.2/1067/2022 tertanggal 31 Agustus 2022.
”Sekda (Sugiono) menganggap pertengkaran dan kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang biasa dalam rumah tangga. Sehingga, permohonan izin cerai yang diajukan klien kami ditolak dengan alasan bertentangan dengan akal sehat,” kata Nasrul Dongoran, kuasa hukum IP, saat ditemui di Semarang, Selasa (6/12/2022).
KOMPAS/KRISTI D UTAMI
Nasrul Dongoran, kuasa hukum IP, saat ditemui di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, Selasa (6/12/2022), seusai sidang.
Menurut Nasrul, IP telah menguraikan alasan dirinya mengajukan perceraian tersebut. Hasil pemeriksaan dari psikolog yang menyebut IP mengalami gangguan psikologi akibat kekerasan yang menimpanya juga telah dilampirkan. Namun, alasan itu tidak membuat Sugiono mengubah keputusannya.
IP bersama kuasa hukumnya lantas mengajukan keberatan dan banding administrasi kepada Bupati Kendal untuk membatalkan surat penolakan Sekda. Hingga Selasa, pengajuan keberatan dan banding itu belum direspons oleh Bupati Kendal.
Untuk itu, IP menempuh jalan lain, yakni mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang. ”Ini adalah bentuk perempuan melawan kekerasan. Klien kami ingin merdeka atas dirinya, atas tubuhnya, tidak mau menerima kekerasan. Ini juga sekaligus untuk mengingatkan pemerintah daerah untuk melindungi perempuan korban kekerasan,” imbuh Nasrul.
Sidang perdana atas kasus itu digelar di ruang sidang Candra di PTUN Semarang pada Selasa siang. Agenda sidang itu adalah pemeriksaan persiapan. Dalam sidang tersebut, Sugiono tidak hadir. Ia melimpahkan kuasanya kepada Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan Kendal Wahyu Hidayat.
Ditemui seusai sidang, Wahyu enggan memberikan pernyataan. Ia dan rombongan langsung meninggalkan PTUN Semarang dengan alasan harus segera menghadiri agenda lain.
Sepanjang 2022, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang meningkat hingga dua kali lipat dibanding tahun 2021. Hingga November 2022, ada sekitar 40 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani LBH Semarang. Sementara itu, pada 2021, LBH menangani sebanyak 22 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus itu dari berbagai daerah di Jateng.
Menurut catatan LBH Semarang, jenis kekerasan yang paling banyak diadukan pada 2022 adalah kekerasan siber berbasis gender. Jenis kekerasan terhadap perempuan paling banyak kedua, yakni KDRT.
”Jumlah kasus yang ditangani LBH Semarang meningkat sejak Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan. Disahkannya undang-undang ini membawa angin segar bagi masyarakat untuk mengadukan dan melawan tindak kekerasan,” ujar Igantius Rhadite, anggota staf Bidang Sipil Politik LBH Semarang.