Penguatan literasi media diperlukan dalam upaya percepatan diseminasi informasi publik yang akurat dan tepercaya demi memerangi hoaks di era digital dan banjir informasi.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Istilah ”baperan” mencuat dalam kegiatan literasi media yang dilaksanakan Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalimantan Selatan baru-baru ini. Baperan dalam konteks ini bukan berarti bawa perasaan, melainkan ”beritain pemerintahan” dalam upaya percepatan diseminasi informasi publik yang akurat dan tepercaya demi memerangi hoaks.
Sebanyak 50 awak media di Kalimantan Selatan, baik cetak, elektronik, maupun daring (online), bergabung bersama tim humas pemerintah daerah mengikuti kegiatan literasi media di Banjarmasin, 29-30 November 2022. Kegiatan ini mengusung tema ”Resolusi 2023: Humas dan Media Kudu Baperan (Beritain Pemerintahan)”.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kalsel Muhamad Muslim mengatakan, literasi media sangat penting, tak terkecuali bagi para jurnalis ataupun humas pemda di era digital dan banjir informasi. Literasi media dalam ini adalah kemampuan mengakses, mencari, serta menganalisis informasi dan komunikasi dalam bentuk media apa pun.
”Literasi media itu penting karena tidak semua konten yang dibuat oleh humas bersifat positif dan, begitu pun sebaliknya, tidak semua konten yang dibuat jurnalis bersifat negatif,” katanya di Banjarmasin, Rabu (30/11/2022).
Menurut Muslim, masyarakat pada umumnya belum cukup kritis dalam menggunakan media sehingga rentan terpapar dampak negatif dari konten-konten media. Karena itu, tim humas ataupun jurnalis sebagai konten kreator harus mampu menyajikan informasi yang benar, menarik, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Pada kesempatan itu, Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel Roy Rizali Anwar juga menyampaikan, kegiatan literasi media bertujuan untuk membuka wawasan tentang bagaimana pemerintah dan media dapat bersinergi dalam rangka percepatan diseminasi informasi publik kepada masyarakat. Apalagi, masyarakat saat ini lebih banyak melihat informasi melalui kanal-kanal media yang disediakan secara luas melalui internet.
”Sejalan dengan perkembangan berbagai platform informasi, banyak juga ditemukan berita bohong atau hoaks di internet. Informasi yang tidak lengkap sering kali dijadikan narasi untuk menggiring opini publik,” katanya.
Kondisi yang demikian, ujar Roy, menegaskan bahwa tingginya penggunaan media oleh masyarakat masih belum dibarengi dengan sikap kritis sehingga masyarakat sangat rentan terhadap dampak negatif. Untuk itu, masyarakat perlu dibekali dengan literasi media dalam upaya menanggulangi penyebaran hoaks di tengah masyarakat.
”Media memang kudu (harus) baperan, bukan bawa perasaan, melainkan beritain pemerintahan. Apalagi, tahun 2023 sudah mendekati tahun politik, kinerja dan kegiatan pemerintah pasti akan menjadi berita yang seksi, sensitif, dan mungkin dapat memberikan dampak positif ataupun negatif kepada masyarakat,” tuturnya.
Roy berharap terjalinnya sinergi antara pemerintah dan media menjadi sebuah upaya percepatan diseminasi informasi pembangunan daerah. Hubungan yang harmonis antara instansi pemerintah dan media serta pemerintah dengan publik tentunya akan membawa dampak signifikan dalam pembangunan daerah.
”Dukungan dari masyarakat dan pemangku kepentingan dapat mengakselerasi proses pengambilan keputusan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat, yang pada akhirnya berimplikasi pada akuntabilitas, kepercayaan publik terhadap pemerintah, serta kredibilitas pemerintah,” katanya.
Redaktur Pelaksana Portal Berita InfoPublik Kementerian Komunikasi dan Informatika Mohammad Taofiq Rauf mengemukakan, konten yang mengandung hoaks banyak ditemukan di media sosial dan media daring, terutama Facebook (71,9 persen), Whatsapp (31,5 persen), Youtube (14,9 persen), portal berita daring (10,7 persen), dan Instagram (8,1 persen).
”Hoaks, disinformasi, dan misinformasi menjadi salah satu alasan masyarakat menolak program pemerintah. Untuk itu, diperlukan edukasi literasi digital, pendampingan berkelanjutan oleh komunitas, dan penegakan hukum,” katanya.
Menurut Rauf, humas pemda dan media perlu ”baperan” dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu bawa perasaan atau bersifat sensitif terhadap isu-isu yang mengemuka di tengah masyarakat, terlebih isu-isu yang mengandung hoaks.
”Dengan ’baperan’, kita akhirnya akan membuat rilis ataupun berita untuk menjawab pertanyaan publik, memberikan pemahaman dan pembelajaran, serta meyakinkan publik dengan sumber informasi yang valid dan tepercaya,” katanya.
Membentuk persepsi
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Kalsel Zainal Helmie mengemukakan, media memiliki pengaruh besar dalam membangun dan membentuk persepsi publik. Peran media dalam membangun persepsi publik secara langsung berhubungan dengan terbentuknya opini publik. Implikasinya, diskursus atau wacana yang menjadi perbincangan publik ditentukan oleh media.
”Di media terdapat agendasetting (desain) yang dilakukan redaksi sebelum membuat konten. Karena itu, kerja para jurnalis media secara spesifik adalah mendesain apa yang menjadi perhatian publik,” katanya.
Di era digital sekarang ini, menurut Helmie, media daring menjadi sarana paling ampuh untuk menjadikan sebuah isu sebagai arus utama. Perhatian utama teori agendasetting adalah mengungkap aktor-aktor yang bermain dalam membangun agenda melalui tangan-tangan terampil para pekerja media.
”Pemerintah termasuk aktor yang tak jarang menggunakan media untuk memilih isu yang akan diekspos ke publik. Itu karena media adalah elemen penting bagi keberlangsungan demokrasi di sebuah negara,” ujarnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Taufik Arbain, mengatakan, sudah menjadi takdir pemerintah sebagai sektor publik untuk berorientasi kepada pelayanan publik, termasuk layanan informasi dan memproduksi informasi dengan karakteristik keterbukaan (publicness).
Namun, di sisi lain, media sebagai sektor privat adalah perusahaan (corporate) para jurnalis yang berorientasi memproduksi informasi untuk dijual kepada publik. Karena itu, media ataupun jurnalis memiliki karakteristik tersendiri dalam memainkan perannya.
”Pemerintah sebagai sektor publik tidak hanya sering selektif dalam mendistribusikan informasi, tetapi juga kalah cepat dengan sektor privat (media) sehingga kerap terjadi ketimpangan akses informasi di tengah masyarakat,” katanya.
Menurut Taufik, pergerakan informasi yang liar, terutama di media sosial, sangat rentan melumpuhkan informasi pembangunan dari pemerintah, yang berimplikasi pada sosiologis masyarakat atau akseptabilitas publik. Untuk itu, pemerintah (humas pemda) perlu bersinergi dengan media (jurnalis) dalam mendorong penguatan literasi media kepada publik.
Untuk mempertemukan atau menyinergikan kedua sektor tersebut, lanjutnya, sektor publik (pemerintah) harus menegaskan komitmen bahwa sinergisitas tidak mendorong pada usaha ”pembungkaman” atas informasi yang bernilai berita dari sektor privat (media).
Di sisi lain, sektor privat (media) harus menegaskan komitmen bahwa sinergisitas tidak mendorong pada ”keliaran dan kesengajaan” dalam membabak belur sektor publik, terlebih dalam konstruksi bingkai (framing) bernilai politis. ”Diperlukan kesamaan persepsi untuk bersama-sama mendorong penguatan literasi media dan mencerdaskan publik,” katanya.