Rantai Pasok Pangan untuk Kepastian Hidup Para Korban Bencana
Penyaluran bantuan logistik di saat bencana kerap tidak terencana. Saat gempa Cianjur, sebagian bantuan tidak bisa tersalurkan kepada yang membutuhkan.
Kelancaran pengiriman bantuan, terutama pangan, dalam kondisi bencana menjadi hal yang krusial. Jika distribusi rantai pasok pangan tidak diatur dengan jelas, persebaran tidak merata menjadi ancaman di depan mata. Kekhawatiran ini dirasakan para penyintas bencana Gempa Cianjur, Jawa Barat, di akhir November 2022 ini.
Kecemasan tidak mendapatkan kepastian asupan pangan saat menghuni tenda darurat ada di benak Yuyun Yuhana (59), Ketua RW 007 Kampung Pasir Sapi, Desa Sukamulya, Kecamatan Cugenang, Cianjur. Wilayahnya porak poranda akibat gempa berkekuatan M 5,6 yang bersumber tidak jauh dari rumahnya.
Berdasarkan informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pusat gempa berlokasi di koordinat 6,84 Lintang Selatan dan 107,05 Bujur Timur atau sekitar 5 kilometer dari Desa Sukamulya.
Hingga Kamis (8/12/2022), pemerintah mencatat sebanyak 344 orang meninggal. Bencana ini juga mengakibatkan 593 orang luka berat, 53.981 rumah rusak, dan ratusan fasilitas publik mulai dari sekolah hingga tempat ibadah runtuh.
Guncangan ini merusak hampir semua rumah di Desa Sukamulya. Perekonomian lumpuh, hampir seluruh warga di sana tinggal di pengungsian. Di RW 007 saja, lanjut Yuyun, tersebar 23 tenda yang berisi puluhan hingga ratusan jiwa. Mereka membutuhkan bahan pangan di dalam kondisi darurat ini.
”Bisa dikatakan 95 persen lebih rumah di sini rusak dan tidak bisa ditinggali lagi. Dari 303 keluarga atau 930-an warga, hampir semuanya mengungsi di tenda-tenda darurat,” ujarnya saat ditemui pada Sabtu (26/11).
Kondisi darurat ini tidak hanya dialami Yuyun dan warganya, tetapi juga ribuan warga yang berdiam di pengungsian. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari laman gis.bnpb.go.id yang diakses pada Jumat (2/12) pukul 18.00, lokasi pengungsian yang tersebar akibat Gempa Cianjur mencapai 494 titik dari 16 kecamatan yang terdampak.
Jumlah pengungsi yang tersebar mencapai 114.653 jiwa yang sebagian besar berada di lima kecamatan, yakni Kecamatan Cianjur, Cugenang, Gekbrong, Pacet, dan Warungkondang. Dari jumlah tersebut, sebagian besar merupakan kelompok rentan, yakni 33,26 persen anak-anak, 21,79 persen anak balita, dan 16,86 persen warga lanjut usia.
”Di lokasi kami saja, hampir separuhnya anak-anak dan 90 di antaranya usia bayi dan balita. Untuk obat-obatan di sini bisa sampai seminggu dan mungkin untuk makanan juga, tetapi kondisi ini bakal berlangsung lama. Karena itu, kami selalu mengharapkan bantuan pangan,” ujarnya.
Kegamangan yang dirasakan Yuyun beralasan. Desa ini berada cukup jauh dari akses jalan raya. Sejumlah ruas jalan menuju kawasannya tertutup longsor hingga reruntuhan bangunan.
Bahkan, jalur yang dilalui cukup sempit sehingga menyulitkan kendaraan untuk mencapai wilayah mereka karena harus menempuh jarak hingga 12 kilometer dari jalan raya yang bisa dilewati. Akibatnya, bantuan terkadang tidak sampai di tangan para pengungsi di RW 007 ini karena di sepanjang jalan ada banyak pengungsian yang serupa.
”Kami hanya bisa berharap ada bantuan yang sampai ke sini. Biasanya (bantuan) sudah diambil sama tenda pengungsi lainnya di bawah,” ujarnya.
Keresahan yang sama juga dirasakan Hamdani (33). Sukarelawan dari RW 002, Desa Gasol, Kecamatan Cugenang, Cianjur. Dia sempat mendapat kabar bahwa bantuan dari sanak saudara para pengungsi di sini terpaksa diserahkan di daerah lain karena dicegat oleh sekelompok warga.
Padahal, di RW 002 tersebar 27 tenda dengan ratusan pengungsi. Hamdani berujar, setiap tenda bisa berisi 20-30 orang, bahkan ada yang sampai 50 orang. Sebagian tenda berada jauh dari jalan, seperti dekat ladang atau di antara reruntuhan bangunan.
”Mereka kadang luput dari bantuan. Kami terpaksa mengambil bantuan makanan di tenda sukarelawan yang jaraknya sekitar 100 meter dari sini untuk tenda-tenda yang di daerah pelosok itu karena bantuan tidak sampai ke sana,” ujarnya saat ditemui di salah satu tenda pengungsi, Jumat (25/11).
Aksi ini diharapkan tidak terjadi berulang kali. Kepala Kepolisian Resor Cianjur Ajun Komisaris Besar Doni Hermawan mengimbau masyarakat mendistribusikan bantuan secara terpusat di tiga lokasi, yakni Pemerintah Daerah Cianjur, Polres Cianjur, dan Komando Distrik Militer 0608/Cianjur.
Doni pun berharap masyarakat bisa tenang dan tertib dalam menyalurkan bantuan. Sejumlah rekayasa lalu lintas pun diberlakukan, mulai dari buka-tutup arus lalu lintas hingga menyiapkan jalur alternatif.
”Penyaluran bantuan kami imbau agar dilakukan di tiga titik lokasi, yaitu Pemda Cianjur, Polres Cianjur, dan kodim. Sistem pendistribusian akan dilakukan secara berjenjang dan setiap perwakilan warga diminta menyampaikan kebutuhannya,” papar Doni.
Belum merata
Meskipun pemerintah telah meminta warga untuk lebih tertib, penyaluran bantuan tetap sulit dilaksanakan secara tertib dan teratur. Direktur Inovasi dan Korporasi Universitas Padjadjaran Tomy Perdana menyebut, kondisi ini menunjukkan distribusi bantuan yang merata masih belum dijamin pemerintah.
Menurut Tomy, distribusi yang tidak merata ini terjadi karena belum ada mekanisme penyaluran bantuan yang jelas dan transparan. Akibatnya, saat bencana terjadi, orang-orang yang ingin memberikan bantuan akan bergerak secara sporadis dan sulit untuk dikendalikan.
”Orang-orang ingin memastikan bantuannya sampai ke para korban. Padahal, kalau dihitung, ada banyak cost (biaya), bahkan risiko, yang harus ditanggung untuk mencapai lokasi bencana,” ujarnya.
Di sisi lain, masyarakat yang terdampak bencana membutuhkan kepastian suplai bahan pokok mereka, terutama pangan. Tommy berujar, ketidakpastian pasokan bahan makanan bisa berujung pada berbagai tindakan nekat warga demi memenuhi kebutuhan mereka.
Distribusi bantuan yang tidak merata ini, lanjut Tomy, juga berpotensi bisa menambah masalah food waste (sampah makanan). Tidak semua bahan pangan bisa bertahan lama sehingga penumpukan di satu titik bisa mengakibatkan makanan terbuang sia-sia.
”Sangat disayangkan jika di satu lokasi ada makanan yang terbuang, sedangkan di titik lainnya ada yang menanti datangnya bantuan makanan,” katanya.
Menurut Tommy, kondisi ini bisa diminimalisir dengan manajemen distribusi rantai pasok pangan (food supply chain). Unpad, lanjutnya, juga telah mengembangkan riset terkait rantai pasok di daerah bencana agar kebutuhan pangan warga di daerah rawan bisa terjamin.
Rawan bencana
Riset yang dilaksanakan Tommy sebagai dosen di Fakultas Pertanian Unpad ini telah dilakukan dalam kurun 2019-2021 bersama University of Southampton, Inggris Raya. Penelitian ini didanai Engineering and Physical Sciences Research Council (EPSRC) dari Inggris Raya dan Global Challenges Research Fund (GCRF).
Dalam riset ini, Tomy dan rekan-rekannya menunjukkan potensi kebencanaan yang terjadi di Jabar. Dalam kurun 2016-2020, sebanyak 7.214 bencana terjadi di provinsi ini dengan pengungsi mencapai 96.830 jiwa.
”Rata-rata setiap hari ada empat kejadian bencana selama lima tahun tersebut dan terbanyak adalah tanah longsor yang mencapai 37, 71 persen. Adapun potensi pengungsi yang terbanyak adalah korban banjir yang mencapai 86.000 atau 89,24 persen dari total korban,” ujarnya.
Karena itu, Tomy menilai manajemen dalam penanggulangan bencana menjadi penting bagi Jabar, terutama di sektor pangan sebagai kebutuhan pokok warga. Tim ini pun mendesain distribusi rantai pasok yang menjangkau hingga tingkat kecamatan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Jabar memiliki 627 kecamatan. Artinya, ratusan kecamatan ini terhubung dalam satu rantai pasok yang saling terkoneksi sehingga jalur distribusi menjadi jelas dan terarah.
”Alur rantai pasok pangan ini dibuat secara sistematis, mulai dari perencanaan hingga sistem informasi geospasialnya. Simpul-simpul yang ada juga seharusnya bisa diletakkan di daerah yang aman dan bisa dijangkau dari semua sisi,” ujar Tomy.
Simpul distribusi
Menurut Tomy, alur pasokan ini memiliki simpul distribusi yang tersebar di sejumlah titik. Gudang pasokan dari Bulog, badan penanggulangan bencana daerah, serta lembaga-lembaga sosial di setiap wilayah bisa menjadi penghubung ataupun titik pengumpulan bahan untuk disalurkan kepada wilayah terdampak.
”Gudang Bulog bisa menjadi titik pengumpulan untuk suplai pangan, seperti beras, sedangkan BPBD dan lembaga sosial bisa untuk suplai kebutuhan lainnya. Transparansi di sini menjadi penting untuk menjaga kepercayaan publik,” ujarnya.
Jika rantai pasok ini berjalan dengan baik, Tomy optimistis kebutuhan masyarakat di pengungsian bisa terpenuhi secara merata. Masyarakat pun tidak perlu khawatir kekurangan bahan pangan karena sudah ada kepastian alur distribusi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Apalagi, Jabar adalah salah satu provinsi rawan bencana sehingga alur ini menjadi langkah antisipasi dan reaksi cepat jika terjadi bencana. Para pengungsi pun tidak perlu menunggu lama karena petugas sudah memiliki jalur yang jelas sehingga bisa mengeksekusi sesuai kondisi di lapangan.
”Sejumlah pengungsi melakukan pencegatan karena khawatir tidak mendapatkan makanan di tengah ketidakpastian. Jadi, saat mereka mendapatkan suplai pangan secara teratur dan pasti, tentu bisa mengurangi potensi perampasan ataupun pencegatan bahan pangan dari para pengungsi,” ujarnya.
Lebih teratur
Mekanisme alur yang jelas juga akan mengurangi beban jalur dari mobilitas yang tidak perlu. Tomy berujar, adanya simpul pengumpulan bantuan yang jelas ini bisa meminimalisir kedatangan pihak-pihak yang tidak berkepentingan dan para penyumbang bantuan ke lokasi bencana.
Apalagi, tindakan tersebut bisa membahayakan warga yang berkunjung di lokasi karena bencana susulan bisa saja terjadi. Selain itu, ujar Tomy, pengiriman bantuan ini juga membutuhkan alat transportasi sehingga bisa berdampak pada jalur yang terhambat.
Menurut Tomy, tindakan tegas hingga sanksi kepada orang yang ingin membantu tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi, di saat bencana ini, pertolongan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan sehingga perlu langkah yang lebih persuasif, seperti sosialisasi.
”Jika pemerintah memberikan kepastian dan transparansi alur pengiriman bantuan, publik pun akan percaya dan menyerahkan bantuan mereka ke simpul-simpul yang ada,” ujarnya.
Kepastian pemenuhan kebutuhan pokok ini setidaknya bisa membuat pengungsi tidak khawatir di tengah hidup di hunian darurat. Para penyintas bencana membutuhkan ketenangan itu setelah mereka kehilangan harta benda, bahkan nyawa orang-orang tersayangnya.