Cemas Menanti Kelahiran di Tengah Trauma Gempa
Ribuan ibu hamil penyintas gempa Cianjur menanggung beban ganda. Mereka bakal melahirkan dan membesarkan anak-anaknya di tengah trauma.
Kurang dari beberapa hari lagi Siti Nurjanah (23), warga Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, bakal melahirkan. Bukan yang pertama, kelahiran kali ini akan berbeda. Penantian itu dibumbui cemas trauma dan masa depan pascagempa. Hal yang sama rawan dialami ribuan ibu hamil lainnya di Cianjur.
Siti adalah satu dari sedikitnya 1.400 ibu hamil penyintas gempa Cianjur berkekuatan magnitudo 5,6 pada Senin (21/11/2022). Seperti banyak penyintas lainnya, Siti tidak bisa menyembunyikan trauma akibat gempa.
Rumah yang runtuh hingga kepanikan warga masih sulit dilupakannya. Hal itu berpengaruh pada kondisi kandungannya.
Diperkirakan bakal melahirkan seminggu ke depan dan baru mengalami jalur bukaan sebesar 5 sentimeter, perut Siti mulas luar biasa beberapa hari sebelumnya. Khawatir segera melahirkan, keluarga lantas memanggil ambulans untuk segera membawa Siti ke rumah sakit.
”Setelah ditunggu, kehamilan tidak terjadi,” kata Rusoliso, salah seorang kerabat Siti.
Tidak ingin kondisi Siti terus terganggu, keluarganya lantas membawanya ke Tenda Layanan Kesehatan Reproduksi untuk penyintas gempa. Letaknya di Kampung Cariu, Desa Mangunkerta, Kecamatan Cugenang, Selasa (29/11/2022).
Baca juga : Pencarian Korban Gempa Cianjur Kembali Diperpanjang, Pemkab Siapkan Lahan Relokasi
Tempat itu didirikan Kementerian Kesehatan bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Luasnya sekitar 100 meter persegi. Ada lima petugas kesehatan yang dilengkapi alat medis untuk ibu dan anak.
Lebih dari puluhan ibu hamil mendapatkan pelayanan kesehatan di sana. Namun, tidak hanya persalinan, tempat itu juga menyediakan layanan terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga kesehatan warga lansia.
”Saya bersyukur ada tempat seperti ini. Semoga menjadi tempat menyiapkan kelahiran yang layak bagi Siti,” kata Rusoliso.
Fitri Anjani (22), ibu hamil asal Sarampad, juga lega bisa mendapat layanan di tenda layanan reproduksi itu. Sejauh ini dia masih merasakan beratnya menjadi ibu hamil tinggal di pengungsian.
Anjuran untuk sering makan buah, misalnya, mustahil dia lakukan. Buah tidak selalu tersedia. Seperti penyintas lainnya, mi instan menjadi makanan yang selalu tersedia.
Setelah mendapat banyak penghiburan dan edukasi dari tenaga kesehatan, ia mulai menata diri. Fitri mulai mencoba kembali berjalan kaki untuk menyehatkan badan dan kandungan.
Sebelumnya, hal itu tidak mudah dilakukan. Fitri tidak kuat melihat rumah-rumah yang rusak karena diguncang gempa.
”Sedih sih sedih. Hanya sekarang berusaha bangkit. Kalau begini, enggak boleh banyak pikiran lagi. Sekarang mencoba bangkit,” katanya.
Baca juga : Empat Rumah Rusak akibat Gempa Magnitudo 6,4 di Garut
Hati dan pikiran Erni (32), ibu hamil dari Cugenang lainnya, juga masih berjuang. Dia masih berusaha keras beradaptasi di tenda pengungsian.
”Di tenda saya sulit tidur. Tekanan darah jadi tinggi. Biasanya 90, di tenda jadi 110,” katanya.
Sejauh ini tenda layanan reproduksi menjadi pelipur lara. Dia mendapatkan paket makanan tambahan untuk ibu hamil. Paling penting, ada bidan yang memantau kesehatan jabang bayi yang diperkirakan lahir pada 15 Desember 2022 itu.
Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut di Kemenkes Kartini Rustandi mengatakan, tim layanan kesehatan reproduksi diperuntukan bagi penyintas yang hamil. Gempa rawan memicu trauma yang bisa berpengaruh pada kesehatan ibu dan kandungannya.
”Rasa takut, kaget, dan stres akibat kondisi tertentu rawan membuat kelahiran prematur. Di sini kami membantu ibu untuk meminimalkan hal itu agar proses kelahirannya bisa berjalan lancar,” kata Kartini.
Weni Andriani, bidan dari Puskesmas Kademangan, Kecamatan Mande, Cianjur, paham benar dengan kondisi itu. Dia mengatakan banyak menemukan keluhan psikis pada ibu hamil.
Kata Weni, mereka mengeluhkan kekhawatiran dampak gempa. Hal itu memicu berkurangnya nafsu makan dan potensi kualitas kesehatan.
”Tidak ada yang ingin merasakan kondisi (sulit) seperti ini. Setiap ibu hamil pasti terganggu kondisi psikisnya. Tugas kami memberikan konseling pada ibu hamil. Kami pandu mereka untuk tetap menjaga kesehatannya,” katanya.
Peran tenda layanan reproduksi dan peran aktif tenaga kesehatan jelas sangat diperlukan memantau kondisi kesehatan ibu hamil.
Sejauh ini ada 3.175 tenaga kesehatan telah disebar di 194 titik pengungsian di delapan kecamatan. Daerah itu adalah Kecamatan Pacet, Cugenang, Gekbrong, Warungkondang, Mande, Cilaku, Cibeber, dan Kecamatan Cianjur.
Pelayanan ibu hamil menjadi salah satu fokus. Selain itu, dibuat juga dapur pemberian makanan bayi dan anak di dua lokasi, yaitu Kecamatan Cugenang dan Kecamatan Warungkondang.
Akan tetapi, bukan perkara mudah menjangkau semuanya. Diperkirakan banyak ibu hamil di sejumlah daerah terdampak gempa masih bergulat dengan kondisi serba terbatas.
Apalagi, beban pikiran ibu hamil tidak usai hanya setelah melahirkan. Mereka ikut bertanggung jawab pada kehidupan mereka kelak pascagempa.
Baca juga : Parade Gitar untuk Korban Gempa
Salah satu ibu hamil yang terus berjuang adalah Lala (39), asal Cijedil, Cugenang. Mata perempuan yang tengah mengandung tujuh bulan itu melihat langsung gempa meruntuhkan bangunan dan meluluhlantakkan sekitar tempat tinggalnya.
Tak sedikit juga tetangganya terluka bahkan tewas akibat terkena reruntuhan. Tangisan ratusan warga tumpah ruah di tanah lapang Desa Cijedil. Semua memori itu masih melekat dan sulit dilupakannya.
Kondisi itu terus terbawa saat tinggal di tenda pengungsian. Saat baru tiba, ia sakit dan harus rawat jalan selama dua hari. Meski sudah berbekal selimut, ia tidak tahan dengan dingin di pengungsian saat malam hari.
Hidup bersama banyak orang, Lala juga tidak leluasa beraktivitas dan merasakan setiap gerakan bayi dalam kandungannya.
”Saya lebih banyak menahan diri ketika mulas. Jangan sampai saya mengganggu orang lain di satu tenda,” katanya.
Akan tetapi, beban pikirannya bukan dipicu trauma gempa atau hidup di tenda saja. Ia cemas dengan masa depan bayi dan keluarganya kelak.
Pekerjaan suaminya sebagai pengemudi ojek kini terhambat. Sepeda motornya rusak. Sementara Lala adalah ibu rumah tangga.
”Saya tidak tahu bagaimana hari esok memulai hidup. Sepeser uang pun sekarang saya tidak ada,” katanya menahan haru.
Siti Halimah (29), warga Cijedil lainnya, juga ekstra hati-hati di pengungsian. Saat tidur bersama dua anak, misalnya, dia harus pandai mengatur posisi.
”Kalau tidur, saya takut si aa dan dede (dua anaknya) menendang perut. Kan, sekasur bisa berdua atau tiga. Jadi, berdesak-desakan,” ungkapnya sambil mengelus perutnya.
Tidak hanya itu, jika ingin buang air kecil, dia harus terbiasa melalui jalan becek yang licin saat hujan. Kondisi bisa lebih sulit ketika lima toilet portabel menjadi rebutan lebih kurang 100 pengungsi yang tinggal bersamanya.
Halimah juga ikut mengantre pembagian bahan makanan. Terpaksa banyak makan mi instan, dia mengimbangi gizi anak dalam kandungan dengan susu hamil.
”Kalau vitamin dan obat, saya belum ambil. Posko kesehatan sih ada. Tapi, belum sempat ke sana,” ujarnya yang berencana melahirkan dibantu paraji (dukun beranak) karena kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan miliknya tertimbun material.
Keraguan juga menyelimuti masa depan calon bayinya. Rumahnya yang juga tempat kerjanya sudah ambruk. Padahal, sehari, ia bisa meraup sedikitnya Rp 50.000 dari jualan kerupuk dan kacang.
Sekarang usahanya tiarap. Modal tak ada. Konsumennya yang kebanyakan warung-warung juga telah tutup.
Akibatnya, Halimah belum tahu pemenuhan gizi bayinya kelak. Padahal, masa 1.000 hari pertama kehidupan sangat penting untuk tumbuh kembang anak. Masa itu dimulai sejak kehamilan 270 hari hingga anak usia dua tahun.
Tanpa perhatian terhadap gizi si buah hati, masalah stunting atau tengkes mengancam. Apalagi, kondisi penyintas sebelum gempa saja tidak seluruhnya mampu memenuhi kebutuhan gizi.
”Anak pertama saya usia 11 tahun. Tetapi, badannya kecil kayak umur 6 tahun,” ungkap Halimah.
Nyawa ribuan ibu dan anak Cianjur diuji setelah guncangan gempa itu pergi. Tanpa pendampingan tepat, masa depan mereka berpotensi tidak cemerlang.