Nelangsa Pedagang Pasar Cinde, Lapak Terbakar Setelah Terusir dari Pasar
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa ini cocok untuk menggambarkan nelangsa para pedagang Pasar Cinde, Palembang, yang lapaknya terbakar setelah mereka terusir dari pasar.
Mata Umi (58) nanar melihat lapak yang sudah lima tahun ia tempati ludes terbakar, Senin (28/11/2022). Dia tidak percaya lapak berukuran 1,5 meter x 1,5 meter yang sudah ia tempati selama lima tahun terakhir untuk berjualan kerupuk kemplang itu telah berubah menjadi abu. ”Saya rugi sekitar Rp 20 juta akibat kebakaran ini," ujarnya.
Pada Minggu (27/11) malam, sebanyak 103 lapak di Pasar Cinde, Palembang, Sumatera Selatan, terbakar. Sebanyak 8 unit mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk memadamkan "Si Jago Merah". Dua jam setelahnya, yakni sekitar pukul 01.30 WIB hari berikutnya, api pun padam.
Umi tidak ada di sana ketika kebakaran terjadi. Sebab, biasanya pedagang sudah pulang setiap pukul 18.00 WIB. ”Saya tidak tahu apa penyebab kebakaran. Yang pasti setelah saya datang, lapak saya sudah ludes,” ujarnya.
Polisi masih menyelidiki penyebab kebakaran. Laboratorium Forensik Cabang Palembang terus mengidentifikasi benda-benda bekas terbakar untuk menguak penyebab pasti kebakaran.
Akibat kebakaran tersebut, sekitar 32 pedagang kehilangan lapaknya dan kebingungan untuk melanjutkan usahanya. ”Memang banyak yang sudah meninggalkan lapak karena Pasar Cinde memang sudah sepi sejak ada rencana renovasi,” ujarnya.
Umi berharap agar pemerintah dapat segera membangun pasar sementara bagi pedagang agar dapat berjualan lagi. ”Ini sudah akhir tahun, pasti banyak pembeli. Kami berharap lapak kami bisa cepat dibangun,” katanya.
Baca Juga: Pasar Cinde Palembang Terbakar, Puluhan Pedagang Kian Merana
Sejak kecil, Umi sudah kerap berkunjung ke Pasar Cinde untuk mendampingi ayahnya berjualan di warung kelontong. Dia menjadi generasi kedua yang berjualan di pasar tersebut.
Sayangnya, sejak 2017, ia harus terusir dari dalam pasar karena pemerintah berencana merenovasi pasar. Namun, sudah lima tahun berlalu, pembangunan pasar tak kunjung tuntas. ”Sudah terusir dari dalam pasar, sekarang lapak kami terbakar," ujar Umi.
Sopian Anwar (61) juga bernasib serupa. Warung milik pedagang manisan itu juga terbakar. Dia pun merugi hingga Rp 40 juta. Sopian sudah 22 tahun berjualan di Pasar Cinde. Namun, sudah lima tahun terakhir, sejak ia dipindahkan, pendapatannya pun menurun.
”Banyak pembeli yang enggan membeli di Pasar Cinde lantaran tidak ada lagi ruang parkir yang memadai," katanya. Kondisi pasar pun kurang nyaman bagi konsumen untuk berbelanja.
”Akibat renovasi yang tak kunjung tuntas, pendapatan saya menurun hingga 90 persen dibanding ketika berjualan di dalam Pasar Cinde," jelas Anwar.
Pasar sementara yang dibangun oleh pihak ketiga berada di lahan yang dulunya dijadikan tempat parkir. Namun, pasar sementara itu dibuat seadanya. Pasar dipayungi genteng berbahan karbon dan ditopang rangka baja. Di bawahnya, ratusan lapak dibangun. Bahkan, bagian depan pasar tertutupi dengan kontainer besar dan halte.
Mendengar curahan hati para pedagang, Wakil Wali Kota Palemban Fitrianti Agustinda berjanji akan mencari solusi agar pedagang bisa segera berjualan. Namun, pihaknya masih berkoordinasi dengan pemerintah provinsi lantaran lahan Pasar Cinde dimiliki oleh Pemprov Sumsel. "Jika sudah ada kesepakatan bersama tentu kami akan membangun kembali pasar ini," ucap Fitrianti.
Sembari menunggu proses pembangunan, Fitrianti mengimbau seluruh pedagang yang lapaknya terbakar untuk pindah sementara ke sejumlah pasar terdekat. Pemindahan tersebut dilakukan sampai proses pembangunan selesai. "Jangan sampai karena pasar ini terbakar, mereka (pedagang) tidak bisa mencari uang," ucapnya.
Bahkan, Fitrianti berjanji, untuk pembukaan lapak di pasar lain, pedagang tidak akan dibebankan biaya. Tidak hanya itu, pemerintah juga akan menggandeng perbankan untuk memberikan pinjaman modal awal agar pedagang bisa kembali membuka lapaknya.
Di sisi lain, Fitrianti berharap agar semua pedagang yang lapaknya tidak terbakar pun untuk pindah karena dikhawatirkan bangunan akan ambruk dan membahayakan mereka yang bertransaksi di bawahnya.
Enggan pindah
Namun, banyak pedagang yang enggan menerima tawaran tersebut. Apukat, misalnya, memilih untuk tetap tinggal di pasar tersebut karena ia sudah memiliki pelanggan. "Untuk sementara saya berjualan secara daring saja sampai lapak saya diperbaiki kembali," ucap Apukat yang sudah 24 tahun berjualan di Pasar Cinde.
Terkait bantuan modal, Apukat khawatir jika nantinya pinjaman itu malah akan memberatkan para pedagang untuk melanjutkan usahanya. "Pembeli sudah sepi, kita terikat utang bank lagi," ujarnya.
Apukat merasa trauma jika menerima tawaran dari pemerintah. Ia teringat ketika harus terusir dari pasar. Saat itu, dirinya dan banyak pedagang lain tidak setuju dilaksanakannya renovasi.
Namun, pedagang merasa terintimidasi ketika aliran listrik yang ada di dalam pasar dipadamkan. "Akhirnya, kami terpaksa menerima tawaran pemerintah untuk keluar dari pasar dan menempati lapak sementara ini," ucap Apukat.
Baca Juga: Mangkrak Empat Tahun, Pasar Cinde Palembang Akan Dibangun Tahun Depan
Kebakaran ini menjadi petaka selanjutnya bagi pedagang di Pasar Cinde. Pasalnya, lima tahun sebelumnya mereka sudah terusir karena pemerintah berencana untuk merenovasi Pasar Cinde menjadi pasar modern. "Sudah lima tahun nasib kami tidak jelas sekarang lapak kami terbakar," kata Apukat.
Namun, sepertinya keinginan para pedagang tidak akan terealisasi dalam waktu dekat. Masalahnya, status lahan Pasar Cinde pun belum jelas. Sekretaris Daerah Sumatera Selatan Supriono menuturkan, sampai saat ini, pemerintah provinsi belum bisa melakukan intervensi untuk membangun Pasar Cinde.
Apukat merasa trauma jika menerima tawaran dari pemerintah. Ia teringat ketika harus terusir dari pasar.
Pembangunan Pasar Cinde dilakukan atas kerjasama kontrak antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dengan PT Magna Beatum sebagai kontraktor dengan skema build operate transfer yang berlangsung pada 2017. Karena pembangunan tak kunjung berlanjut hingga 2022, Pemprov Sumsel melakukan pemutusan kontrak pembangunan Pasar Cinde dan mengambil alih pembangunan.
Hanya, ujar Supriono, hak guna bangunan (HGB) belum bebas lantaran masih menunggu keputusan dari pengadilanterkait sengketa Pemprov Sumsel dan PT Magna Beatum. "Sudah satu tahun proses pembebasan HGB belum juga usai," ucapnya.
Menurut Supriono, nasib pedagang di Pasar Cinde adalah tanggung jawab dari pemerintah kota karena pemerintah Provinsi Sumsel tidak memungut retribusi sama sekali. ”Karena yang mengambil retribusi adalah pemerintah Kota Palembang, nasib pedagang menjadi tanggung jawab pemkot,” katanya.
Nilai penting
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Palembang Retno Purwanti mengatakan, kebakaran ini menambah nelangsa Pasar Cinde yang kini statusnya sudah menjadi cagar budaya. Setelah dihancurkan begitu rupa oleh pemerintah dengan alasan renovasi, pasar itu kini terbakar.
Menurut Retno, Pasar Cinde adalah pasar yang memiliki nilai penting baik dari segi sejarah, ilmu pengetahuan, maupun dari segi ekonomi. Retno menjelaskan dari sisi arkeologi, kawasan Cinde dikenal sebagai lokasi pemakaman sultan pertama Palembang. Dalam naskah-naskah kuno dikenal juga sebagai Susuhunan Cinde Wetan, Cinde Balang atau Sultan Abd ar-Rahman yang berkuasa pada 1662-1702 (Graff & Pigeaud 2001).
Lokasinya sekitar 100 meter tepat di belakang Pasar Cinde. Pemakaman Cinde Wetan merupakan salah satu unsur atau komponen perkotaan yang dibangun Sultan Abdurrahman, selain Keraton Beringin Janggut, masjid, dan permukiman.
Pasar Cinde dibangun pada 1958. Tujuan Wali Kota Palembang saat itu, Ali Amin, membangun Pasar Cinde adalah untuk mendirikan pasar modern pertama di Palembang. Adapun rancangan pasar jatuh pada Abikoesno Tjokrosoejoso, seorang arsitek sekaligus mantan Menteri Pekerjaan Umum. Abikoesno adalah adik pahlawan nasional HOS Tjokroaminoto. Ia membangun Pasar Cinde dengan struktur tiang penyangga berbentuk cendawan.
Teknik pembangunan seperti itu merupakan penemuan teknologi struktur awal abad ke-20. Cendawan mengandung filosofi sebagai pohon yang menaungi pedagang dan pembeli. Pasar ini menjadi satu-satunya pasar yang berstruktur cendawan di Sumatera. Masih ada tiga lagi pasar yang berstruktur demikian, semuanya ada di Semarang, Jawa Tengah, yakni Pasar Johar, Jatingaleh, dan Randusari.
Karena itu, upaya perlindungan pun dilakukan salah satunya dengan menetapkan Pasar Cinde sebagai cagar budaya yang tertuang dalam Surat Keputusan Wali Kota Palembang Nomor 179a/KPTS/Disbud/2017 yang menetapkan Pasar Cinde sebagai bangunan cagar budaya.
Namun, upaya itu tidak cukup kuat melindungi bangunan pasar yang menjadi penanda kota ini dari kehancuran. Petaka kedua pun berlanjut setelah terbakar. Seperti harapan para pedagang, pasar ini bisa segera bangkit dari keterpurukan dan kembali lagi sebagai fungsinya dulu sebagai penanda Kota Palembang.