Krisis Eksistensi di Keluarga Picu Tawuran dan Kekerasan Pelajar
Kekerasan yang dilakukan remaja atau pelajar itu sebenarnya hanya untuk gagah-gagahan. Hanya untuk menunjukkan dirinya dan kelompoknya lebih hebat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Krisis eksistensi akibat kehilangan kasih sayang dan perhatian dari keluarga menjadi salah satu penyebab para pelajar rentan melakukan tawuran, tindak kekerasan, dan mencari kelompok sosial di luar keluarga yang ternyata berdampak buruk. Selain itu stres selama pandemi diduga juga turut memengaruhi perilaku. Di Sumatera Utara, tawuran antarpelajar kian marak dan sudah memakan korban jiwa.
Korban adalah Eko Farid Azam (16), seorang pelajar SMK Negeri 9 yang tewas dibacok siswa SMK Eka Prasetya di Medan pada peringatan Hari Guru, Jumat, (25/11/2022). Ia tewas kehabisan darah.
Di hari yang sama, dua siswa juga terluka parah dibacok oleh konvoi siswa lain di Kabupaten Serdang Bedagai. Sementara di Tapanuli Selatan, enam siswa ditangkap karena menganiaya seorang nenek. Mereka juga membagikan rekaman video di media sosial saat berkonvoi dengan sepeda motor.
Psikolog dari Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia (APSI) Sumatera Utara Mestika Retina Tampubolon, Jumat (2/11/2022), mengatakan, fenomena ini harus menjadi evaluasi bagi institusi sosial paling kecil yakni keluarga dan orangtua dalam membangun pendidikan karakter, komunikasi, dan menumbuhkan cinta kasih pada anak. “Kekerasan yang dilakukan remaja atau pelajar itu sebenarnya hanya untuk gagah-gagahan. Hanya untuk menunjukkan dirinya dan kelompoknya lebih hebat,” kata Mestika.
Mestika mengatakan, ada hal yang sangat mendasar yang harus dievaluasi dari pola pendidikan karakter di tengah keluarga. Banyak keluarga saat ini menganggap semua pendidikan termasuk pendidikan karakter menjadi tanggung jawab sekolah. Sementara, kedua orangtua hanya sibuk bekerja dan mencari uang.
“Orangtua pun tidak bisa membangun hubungan komunikasi yang baik kepada anak dan guru di sekolah. Anak pun tidak mendapat perhatian yang cukup di dalam keluarga,” kata Mestika.
Minta dianggap
Akhirnya, anak pun mencari atau membentuk kelompok sosial sesama pelajar sebagai tempat dimana dia dianggap. Jika tidak bergabung dengan kelompoknya, mereka merasa takut tidak punya teman, takut tidak mengikuti perkembangan, dan takut dicap temannya tidak punya pergaulan. Sebaliknya, jika bergabung dengan kelompoknya, anak akan merasa hebat dan gagah.
Kelompok ini pun akan mencari eksistensinya untuk mendapat pengakuan dari kelompok lain atau sesama mereka. Dengan perasaan hebat dan gagah ini, mereka pun tidak merasa sungkan membawa senjata tajam, balok kayu, atau alat kekerasan lainnya.
Bahkan, aksi konvoi dan tindak kekerasan pun mereka rekam dan sebarkan di media sosial tanpa memikirkan bahwa apa yang mereka lakukan sudah masuk ke ranah tindak pidana. “Banyak anak-anak yang sebenarnya hanya ikut-ikutan membawa senjata tajam dan kelompok mereka sudah semacam geng. Ini sangat membahayakan orang lain dan dirinya,” kata Mestika.
Hal ini terlihat dari tawuran antar pelajar di Medan. Tawuran terjadi setelah konvoi dan saling serang antara SMK Negeri 9 dan SMK Eka Prasetya. Tidak jelas akar masalahnya apa selain hanya mempertahankan eksistensi saja. Sampai akhirnya, setelah aksi konvoi dan saling serang, siswa SMK Eka Prasetya menemukan siswa SMK N 9, Eko Farid, sedang mengisi bahan bakar di SPBU Jalan Kapten Sumarsono. Mereka membacok kaki Farid sampai terluka hingga meninggal karena kehabisan darah. “Setahu saya, sekolah kami tidak punya masalah apa-apa sebelumnya dengan sekolah mereka,” kata Edo (16), teman korban usai mengikuti pemakaman korban.
Di Tapanuli Selatan, sekelompok siswa SMK yang sedang mengendarai sepeda motor menendang seorang nenek yang berjalan di tepi jalan. Siswa itu justru merekam aksinya dan membagikannya di media sosial berharap mendapat pengakuan dari kelompok pelajar lain. Aksi itu justru dikecam ramai-ramai oleh warganet di media sosial. Kepolisian Resor Tapanuli Selatan pun menangkap mereka. Dua orang yang terlibat langsung dalam penganiayaan ditetapkan menjadi tersangka.
Mestika mengatakan, aksi di Tapanuli Selatan ini menunjukkan bahwa tindakan siswa itu hanya didorong oleh sikap gagah-gagahan. Berbeda dengan tindakan kriminal orang dewasa yang umumnya dilakukan dengan motif ekonomi atau dendam pribadi.
Kekacauan sosial
Mestika menyebut, pihaknya juga sedang mendalami sejauh mana stres pelajar selama pandemi berpengaruh pada sikap arogan berujung tindak kekerasan itu. APSI Sumut menemukan, ada dugaan stres yang dialami siswa karena cara belajar yang bertransformasi dari tatap muka menjadi daring di awal pandemi. “Saat ini sebaliknya, siswa harus membiasakan diri lagi belajar tatap muka di sekolah. Ini menyebabkan stres bagi pelajar,” katanya.
Sosiolog Universitas Sumatera Utara, Hadriana Marhaeni Munthe mengatakan, fenomena ini juga menunjukkan kekacauan sosial yang disebabkan kegagalan institusi sosial paling mendasar yakni keluarga dan agama. Kekacauan ini pun dia sebut tidak bisa dibebankan kepada sekolah.
“Ini juga menunjukkan bahwa anak-anak tidak diberikan ruang sosial dan ruang berekspresi yang cukup di tengah keluarga maupun di tengah masyarakat. Hal ini membuat mereka mencari cara sendiri untuk mendapat perhatian dan ruang sosial,” katanya.
Anak-anak tidak diberikan ruang sosial dan ruang berekspresi yang cukup di tengah keluarga maupun di tengah masyarakat. Hal ini membuat mereka mencari cara sendiri untuk mendapat perhatian dan ruang sosial.
Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumut sebagai pengelola satuan pendidikan tingkat SMA sederajat akan mengevaluasi secara menyeluruh pendidikan karakter di sekolah. “Ini harus dievaluasi, mengapa murid menjadi seperti ini. Evaluasi ini sangat penting agar ini tidak terjadi lagi,” kata Edy.
Kepala Dinas Pendidikan Sumut Asren Nasution juga sangat menyesalkan tawuran yang menelan korban jiwa. ”Kami akan mengkaji serius peristiwa ini. Kami akan merumuskan langkah ke depan agar kejadian ini tidak terjadi lagi,” kata Asren.
Asren mengatakan, ia dan seluruh jajarannya, khususnya Kepala Bidang SMK dan SMA, Kepala Cabang Dinas, dan para kepala sekolah SMK dan SMA di Sumut, akan mencari solusi agar tawuran tidak terjadi lagi. Penguatan pendidikan karakter dinilai perlu dilakukan untuk mencegah hal serupa.
Penegakan hukum pun terus berjalan pada para pelajar yang melakukan tindak pidana tersebut. Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Medan Komisaris Besar Valentino Alfa Tatareda mengatakan, mereka sudah menangkap lima penganiaya Eko Farid. Semua pelaku adalah siswa SMK Eka Prasetya Medan.
Kelimanya adalah SDA, siswa yang membacok korban dengan celurit, RML menganiaya dengan memukul, KES, JSS, dan ALN terlibat sebagai pembawa, penyimpang, dan pembuang celurit.
”Melihat fenomena ini, kami bersama pemerintah daerah akan melakukan pembinaan ke sekolah-sekolah untuk mencegah aksi tawuran,” kata Valentino.