Perubahan Iklim Kian Terasa, Perkuat Pendidikan Lingkungan di Daerah
Dampak perubahan iklim kian terasa di daerah, termasuk Kalimantan Barat. Upaya membangkitkan kesadaran bersama terhadap lingkungan perlu diperkuat di satuan pendidikan.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Dampak perubahan iklim kian terasa di daerah, termasuk Kalimantan Barat. Akibatnya, daerah kian rentan terhadap bencana. Upaya membangkitkan kesadaran bersama terhadap lingkungan perlu diperkuat dengan menggalakkan pendidikan lingkungan di satuan pendidikan.
Anggota Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, Agapitus, Kamis (1/12/2022), menuturkan, jika melihat kondisi lingkungan Kalbar yang kian mengkhawatirkan, maka penting menggalakkan pendidikan lingkungan di sekolah. Upaya yang dilakukan tidak hanya pencegahan, tetapi juga gerakan masif hingga ke satuan pendidikan.
”Apalagi, perubahan iklim sudah dirasakan. Cuaca sudah memengaruhi siklus pertanian masyarakat. Bencana-bencana terjadi, bahkan yang tidak terduga, seperti banjir yang tidak lazim, pergerakan tanah, dan sebagainya,” ungkap Agapitus.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar, pada 1990 luas tutupan hutan Kalbar 7,5 juta hektar. Pada 2012, luas tutupan hutan menjadi 6,9 juta hektar dan pada tahun 2018 kembali susut menjadi 5,5 juta hektar. Penyebab deforestasi tersebut ialah lemahnya tata kelola.
Terkait kondisi sungai, berdasarkan data Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hutan Lindung Kapuas, hingga tahun lalu, dari sekitar 14 juta hektar luas DAS di Kalbar, sekitar 1,01 juta hektar dalam kondisi kritis. Ini termasuk DAS Kapuas. Oleh sebab itu, diperlukan upaya-upaya nyata dalam jangka panjang guna mengatasi banjir akibat degradasi lingkungan.
Agapitus menuturkan, membangun kesadaran masyarakat sejak dini melalui siswa-siswa di tingkat terendah harus menjadi agenda prioritas. Sekolah harus membuat program khusus tentang lingkungan. Selain itu, perlu membangun kerja sama dengan pihak desa dan kecamatan, misalnya, untuk menyediakan lokasi tertentu semacam laboratorium pendidikan lingkungan.
”Hutan tertentu disepakati menjadi tempat belajar siswa. Di tingkat komunitas, bisa didorong menjadikan hutan adat sebagai ’etalase’ belajar bagi siswa tentang kearifan lokal menjaga lingkungan hidup,” tutur Agapitus.
Dengan demikian, belajar lingkungan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga pada tataran praktik langsung melihat kondisi lingkungan. Kurikulum lingkungan sudah lama menjadi fokus Walhi. Hal itu dimulai dengan ke sekolah-sekolah di beberapa daerah.
Agapitus menuturkan lebih lanjut, Walhi secara nasional pada Oktober lalu meluncurkan Akademi Ekologi Walhi, semacam pusat belajar tentang ekologi dan lingkungan hidup. Walhi Kalbar sudah mulai merintis dan memiliki lokasi di Subah, Kabupaten Sanggau.
Senada dengan itu, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar Dominikus Uyub menuturkan, pendidikan lingkungan penting. AMAN juga telah memulai gerakan ke arah tersebut, salah satunya melalui pendirian sekolah-sekolah adat. Sekarang ada 19 sekolah adat di Kalbar.
Sekolah adat salah satunya membicarakan soal ruang hidup. Ada siklus yang tidak putus dalam lingkungan sebagai ruang hidup. Manusia memiliki, merawat, hingga menggunakannya secara bijak. ”Semuanya ada aturan, tradisi. Tujuannya, harmoni perilaku manusia dengan alam dan lingkungan,” ujar Uyub.
Ketika air sungai pasang dan ada sampah mulai hanyut, artinya ada ancaman banjir sehingga anak-anak tidak bisa mandi di sungai.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mendukung langkah tersebut. Pendidikan lingkungan juga penting dimasukkan ke dalam pendidikan sekolah formal melalui muatan lokal.
Menurut dia, hal ini menjadi urgen. Lingkungan tidak berdiri sendiri, tetapi ada hubungan dengan ketradisian. Dengan adanya pendidikan terkait lingkungan dan tradisi, anak-anak akan tahu karena ada muatan tradisinya.
Terkait itu, tercakup pula bagaimana kemampuan siswa memitigasi bencana dengan membaca tanda-tanda alam. Ketika air sungai pasang dan ada sampah mulai hanyut, misalnya, artinya ada ancaman banjir sehingga anak-anak tidak bisa mandi di sungai.
Pantauan Kompas, ada daerah yang mulai berinisiatif memasukkan pendidikan lingkungan dalam kurikulum muatan lokal. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya pada Rabu (30/11/2022) meluncurkan kurikulum muatan lokal gambut dan mangrove sesuai dengan konteks daerah mereka. Hal itu untuk mendorong kesadaran akan pendidikan lingkungan sejak dini.
Pemerintah Kabupaten Kubu Raya dan mitra kerjanya ingin membentuk kesadaran para siswa bahwa gambut adalah anugerah yang perlu dijaga. Sekolah dan siswa diberi ruang untuk menerapkan konsep merdeka belajar. Pembelajaran gambut dan mangrove disisipkan dalam semua mata pelajaran di tingkat SD dan SMP.
Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menuturkan, ketika para siswa memahami risiko dan kerentanan lahan gambut, mereka didorong mencari inisiatif memitigasinya. Manfaatnya besar sekali bagi mereka.