Konflik Gajah Masif, Warga Aceh Tengah Demo ke Gedung Dewan
Selain membawa kotoran gajah, warga juga menyalakan mercon. Mercon alat yang kerap dipakai warga untuk menghalau gajah liar. Letusan mercon di halaman gedung Dewan menyita perhatian warga sekitar.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Warga Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, bersiap melakukan penggiringan gajah liar menggunakan petasan, Selasa (11/2/2010).
TAKENGON, KOMPAS — Konflik gajah liar dengan manusia di Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, tidak kunjung berakhir. Sedikitnya 200 warga dari kecamatan itu pada Kamis (1/12/2022) berunjuk rasa mendesak anggota Dewan mencari solusi komprehensif.
Warga yang berdemo umumnya berasal dari Desa Karang Ampar dan Desa Bergang. Dua desa ini berbatasan dengan hutan lindung yang menjadi habitat gajah sumatera. Konflik dengan gajah liar di dua desa itu telah berlangsung belasan tahun.
Warga datang ke Kota Takengon, ibu kota Aceh Tengah yang berjarak 55 kilometer, menggunakan sepeda motor. Anak-anak ikut mereka boyong ke lokasi aksi.
Ada yang unik dari demo yang dilakukan warga. Mereka membawa kotoran gajah liar lalu meletakkan di halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah. Kotoran gajah liar itu diambil dari kebun-kebun warga yang kerap dilintasi satwa lindung itu.
Koordinator lapangan, Muslim, dihubungi dari Banda Aceh mengatakan, aksi ini sebagai bentuk kekecewaan warga kepada pemerintah yang dinilai abai terhadap konflik satwa di desa mereka.
Selain membawa kotoran gajah, warga juga menyalakan mercon. Mercon kerap digunakan oleh warga untuk menghalau gajah liar. Letusan mercon di halaman gedung Dewan menyita perhatian warga sekitar.
Muslim mengatakan, warga sudah lelah selalu dihadapkan pada konflik gajah. Kerugian bukan hanya harta benda, melainkan juga nyawa. Pada Juli 2022, satu warga Karang Ampar tewas diamuk gajah liar.
”Kerugian warga tidak terhitung lagi. Tanaman di kebun habis rusak diamuk gajah,” kata Muslim.
Kelompok gajah liar kian sering berada di kawasan budidaya, terkadang masuk hingga ke permukiman. Warga merasa waswas hingga tidak berani ke kebun. Padahal, hasil kebun menjadi harapan utama untuk bertahan hidup.
Warga mendesak Dewan agar membahas persoalan itu dalam forum pemerintah dan mencari solusi konkret. ”Kami mendesak pemerintah memberikan ganti rugi kepada petani yang tanamannya rusak diamuk gajah. Minimal ada bantuan modal tanam,” kata Muslim.
Konflik gajah di kawasan itu kini cukup masif. Kawanan gajah liar masuk ke perkebunan tanpa bisa diprediksi. Beberapa kali warga berpapasan dengan satwa berbadan besar itu.
Muslim mengatakan, pemicu konflik karena kerusakan habitat yang disebabkan antara lain oleh aktivitas illegal logging dan alih fungsi lahan.
Musim mengatakan gajah liar tersebut harusnya direlokasi ke kawasan khusus agar konflik bisa ditekan. ”Untuk meredakan konflik, perlu dipasangi kabel kejut (power fencing) di sekeliling kampung,” kata Muslim.
Ketua Komisi B DPRK Aceh Tengah Sukurdi menampung tuntutan warga. Pihaknya akan segera mengadakan rapat koordinasi dengan para pihak untuk membahas penanganan konflik satwa di Ketol.
DOK POLRES ACEH TIMUR
Aparat kepolisian melakukan olah tempat terjadinya perkara di lokasi penemuan bangkai gajah sumatera liar di Desa Srimulya, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Sabtu (15/10/2022). Gajah tersebut diduga mati karena keracunan pupuk.
Data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sejak 2016-2021 terjadi sebanyak 542 kali konflik gajah dengan manusia. Konflik tersebar di 16 kabupaten/kota di Aceh. Daerah dengan konflik tertinggi adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara.
Bukan hanya manusia, konflik membuat kehidupan gajah juga berada dalam ancaman. Berdasarkan data BKSDA Aceh, sejak 2015-2021 jumlah gajah yang mati sebanyak 63 ekor. BKSDA Aceh mengelompokkan penyebab kematian, 27 ekor karena konflik, 16 ekor kematian alami/sakit, dan 10 ekor karena perburuan. Adapun jumlah populasi gajah di Aceh saat ini 539 ekor.
Pemicu konflik karena kerusakan habitat yang disebabkan antara lain oleh aktivitas illegal logging dan alih fungsi lahan.
Selama ini penanganan konflik satwa dilakukan secara parsial atau tidak menyeluruh. Misalnya, di satu sisi pagar kejut dan parit terus dibangun, di sisi lain alih fungsi lahan dan deforestasi terus terjadi. Akibatnya, konflik tidak kunjung reda.
Menyadari hal itu, Pemprov Aceh, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan lembaga konservasi menyusun Strategi Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar (SRAP SL). Pemprov Aceh juga membentuk satuan tugas mitigasi konflik satwa.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Kotoran gajah di lokasi penembakan gajah liar di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Selasa (11/2/2020). Penembakan gajah liar terjadi pada Juli 2017.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud menuturkan, SRAP SL akan menjadi pedoman bersama dalam menangani konflik satwa di Aceh.
Di dalam SRAP SL Aceh itu terdapat sembilan poin penting yang dijadikan rencana aksi. Meliputi persoalan habitat dan populasi, perlindungan dan pemulihan habitat, pengendalian konflik satwa-manusia, mitigasi, penegakan hukum, serta penguatan kelembagaan, riset, dan inovasi. Selanjutnya, peran serta warga, penggalangan dukungan para pihak, dan pendanaan berkelanjutan.
Sembilan poin penting itu diturunkan dalam banyak kegiatan, seperti melakukan survei populasi, memulihkan habitat, membangun sistem basis data, patroli rutin, dan menindaklanjuti penegakan hukum.