Gotong royong menjadi modal sosial terbesar bangsa ini, terutama saat masa-masa sulit melanda.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·5 menit baca
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Puluhan warga Desa Sri Rejosari, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, bergotong royong memindahkan rumah milik salah satu warga dari satu tempat ke tempat lain pada 21 Desember 2014.
Selama sejarah modern Indonesia, kita sebagai bangsa berkali-kali dihantam badai krisis dan bencana. Namun, berkali-kali pula kita mampu bangkit dari keterpurukan itu. Salah satu ”DNA” yang membuat kita tangguh adalah semangat gotong royong.
Satu mobil Kijang tua tiba-tiba berhenti di bahu jalan desa. Sesaat kemudian, mobil yang telah berdempul di sana-sini itu dihampiri warga. Satu orang yang berdiri di bagian belakang mobil lalu mengeluarkan ayam-ayam hidup dari dalam kabin. Dia lantas membagikannya kepada warga yang telah berkerumun tadi.
Wajah orang-orang itu pun semringah. ”Tarimakasi ee,” ujar mereka kepada sang sopir. Setelah membalas ucapan terima kasih itu, sang sopir tancap gas lagi. Di titik-titik lain, hal yang sama diulangi hingga tandaslah semua 80 ekor ayam potong yang dibawanya siang itu.
Namanya adalah Gilang Setiawan (21), warga Desa Kotapulu, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Hari itu, anak peternak ayam potong tersebut membagikan gratis ternak mereka kepada warga yang mengungsi akibat gempa besar pada 28 September 2018. Gempa bermagnitudo 7,4 yang disusul tsunami itu meluluhlantakkan Kota Palu, Sigi, dan Donggala.
Saat Gilang membagikan ayam, bencana telah berlalu tiga hari. Namun, belum ada bantuan sampai di desa yang hanya berjarak sekitar 12 kilometer dari pusat kota Palu itu. Karena itulah, keluarganya berinisiatif membagikan ayam kepada warga untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Warga korban gempa menerima ayam yang dibagikan warga lain secara cuma-cuma di Desa Kotapulu, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 1 Oktober 2018.
Bantuan yang diberikan Gilang dan keluarganya itu sangatlah berarti. Pasalnya, bencana telah membuat seluruh sendi perekonomian di tiga kota besar di Sulteng itu lumpuh total. Pasar hancur, toko-toko tutup, listrik mati, bahan bakar pun langka.
Karena kondisi itu, meskipun punya uang, tidak ada yang bisa dibeli oleh para penyintas. Mereka pun menjadi sangat bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup.
Apa yang dilakukan Gilang menjadi tambah istimewa sebab dia dan keluarganya juga merupakan korban gempa. Sebenarnya, andaikan dia mau, dia bisa saja menjual ayam-ayam yang nilainya Rp 50.000 per ekor itu karena banyak yang butuh. Namun, hal itu tak dilakukannya.
”Kami hanya berusaha berbagi apa yang kami bisa. Namanya kita sama-sama sedang susah begini,” ujar Gilang kala itu.
Selain Gilang, banyak pula bentuk kesetiakawanan sosial yang muncul dari warga lain demi membantu sesama penyintas bencana di Sulteng. Ada yang membuka lebar rumahnya untuk keperluan mandi, mencuci, dan buang air besar warga karena pasokan air bersih dari PDAM terhenti. Ada pula yang menyumbangkan semua beras persediaan usaha tokonya untuk kebutuhan dapur umum tenda pengungsian.
Solidaritas dari sesama anak bangsa pun tak kalah dahsyatnya. Bantuan mengalir deras dari berbagai penjuru negeri, baik dalam bentuk barang, uang, maupun tenaga. Ribuan sukarelawan berdatangan ke Palu untuk membantu upaya penanggulangan bencana sejak masa-masa awal.
Begitulah, menyingkirkan dorongan mementingkan diri sendiri demi kepentingan orang banyak adalah roh masyarakat kita. Peribahasa ”berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” bukanlah isapan jempol. Yang terbaru, saat gempa bermagnitudo 5,6 mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada 21 November lalu, bantuan dari sejumlah pihak juga mengalir.
Gotong royong sebagai kearifan sosial telah melekat sejak ribuan tahun lalu di kepulauan khatulistiwa ini. Bentuknya bermacam-macam, seperti jimpitan di Jawa Tengah-Jawa Timur, marsialapari di Sumatera Utara, dan mappalette bola di Sulawesi Selatan. Ini adalah wujud solidaritas mekanik yang disebut sosiolog Emile Durkheim.
Sejarawan penulis buku fenomenal Sapiens, Yuval Noah Harari, juga mengungkapkan, perbedaan sejati antara manusia dan makhluk lainnya di dunia ada pada tataran kolektif, bukan individual. Manusia menjadi penguasa planet ini karena kitalah satu-satunya makhluk yang dapat bekerja sama secara fleksibel dalam kelompok yang besar.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga bergotong royong membalik perahu fiber untuk dilapisi cat di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 5 Juli 2015.
Tidak hanya saat bencana alam. Kala pandemi Covid-19 berkecamuk 2020-2021, modal sosial kita itu juga bekerja. Berbagai wujud solidaritas bermunculan di masyarakat, baik di desa maupun kota. Warga saling menguatkan dan tak ragu berbagi materi demi mengurangi kesulitan yang dialami warga lain.
Dalam konteks itu pula, World Giving Index 2021 menempatkan Indonesia sebagai negara yang warganya paling dermawan. Pemeringkatan itu dilakukan oleh Charities Aid Foundation (CAF), lembaga internasional yang bergerak dalam bidang sosial.
Berdasarkan survei itu, setidaknya 8 dari 10 warga Indonesia memberikan sumbangan sosial pada 2021. Tingkat kesukarelawanan di Indonesia juga tiga kali lebih tinggi dari rata-rata global.
Oleh sebab itu, saya minta gubernur, bupati, wali kota agar daerah bersama pemerintah pusat kerja bersama-sama, seperti saat kita bekerja secara serentak dalam mengatasi Covid-19.
Lantas, apakah itu cukup menjadi modal kita mengarungi tantangan perekonomian global yang diprediksi melambat pada 2023?
Presiden Joko Widodo telah meminta pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota untuk bersama-sama pemerintah pusat membantu warga yang terdampak kenaikan harga bahan bakar minyak. Inflasi menjadi momok yang harus diredam.
”Oleh sebab itu, saya minta gubernur, bupati, wali kota agar daerah bersama pemerintah pusat kerja bersama-sama, seperti saat kita bekerja secara serentak dalam mengatasi Covid-19. Saya yakin, insya Allah bisa kita lakukan sehingga inflasi di tahun ini kita harapkan bisa dikendalikan di bawah lima (persen),” kata Presiden saat memberikan arahan dalam pertemuan dengan seluruh kepala daerah secara luring dan daring di Istana Negara, Jakarta, pada 12 September 2022.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Warga di Desa Suruh Tembawang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, bergotong royong memperbaiki jembatan pada 14 Agustus 2017.
Untuk itu, sebesar 2 persen dari dana transfer umum, yakni dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH), dapat digunakan pemda meredam dampak kenaikan harga BBM. Anggaran belanja tak terduga dalam APBD juga dapat dialokasikan untuk keperluan tersebut.
Sejumlah provinsi pun melakukan program terobosan untuk mengerem laju inflasi. Bentuknya, antara lain, ialah operasi pasar, penyediaan subsidi angkutan barang, memastikan ketersediaan bahan pokok dengan kemandirian pangan, hingga menggerakkan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM.
Hasilnya, inflasi pada Oktober 2022 sebesar 5,71 persen secara tahunan. Angka ini lebih rendah dari prakiraan dan inflasi bulan sebelumnya sebesar 5,95 persen. Adapun inflasi inti sebesar 3,31 persen secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Namun, pertumbuhan ekonomi masih tokcer di angka 5,72 persen (yoy) pada kuartal III-2022.
Hampir tak ada yang tak bisa dilakukan dengan kekuatan gotong royong. Karena itu, seharusnya tidak ada alasan menatap 2023 dengan kelesuan, apalagi keputusasaan.