Kebengisan di Tengah Keluarga yang Berulang
Pembunuhan di keluarga kembali terjadi. Terbaru kasus di Magelang di mana seorang anak bungsu berusia 22 tahun membunuh orangtua dan kakaknya. Komunikasi keluarga kiranya dibangun dengan lebih baik.
Kasus kriminalitas yang menonjol di tengah keluarga kembali terjadi. Pada 2014, di Banyumas, Jawa Tengah, kakak beradik tega membunuh tiga paman dan satu sepupunya dengan tabung elpiji lantaran warisan. Jasad keempatnya dikubur di halaman belakang rumah dan kasus ini baru terungkap pada 2019.
Baru-baru ini di Mertoyudan, Magelang, Jateng, seorang anak bungsu berinisial DDS (22) ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan terhadap tiga orang, yaitu kedua orangtuanya dan kakaknya. Ia membunuh mereka menggunakan racun arsenik lantaran sakit hati karena diminta menanggung beban keluarga.
”Hampir tidak mungkin orang membunuh keluarga inti tanpa rasa sakit hati. Jadi, sakit hatinya mungkin sudah mendalam, menumpuk, kemudian sudah berbentuk dendam yang ditunjukkan dalam bentuk pembunuhan,” kata pengajar Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ugung Dwi Ario Wibowo, Rabu (30/11/2022).
Baca juga: Warisan Jadi Alasan Pembunuhan dalam Satu Keluarga di Banyumas
Ugung menyampaikan, tersangka yang berusia 22 tahun sudah masuk kategori dewasa dan dia bisa berpikir dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Dalam psikologi, tersangka kemungkinan mengalami kecemburuan terhadap saudara kandung sendiri (sibling rivalry).
”Sekilas yang saya lihat dia mengalami perlakuan yang berbeda. Dalam psikologi selalu ada motif dalam setiap tindakan meski secara emosional lebih memengaruhi. Saya lihat pelaku mengalami sibling rivalry dan ini mungkin terjadi sejak kecil kemudian puncaknya adalah sampai sedewasa ini mengapa dirinya diperlakukan berbeda dengan saudara kandung,” katanya.
Selain itu, pembunuhan di Magelang juga dilatarbelakangi dengan motif ekonomi yang membuat tersangka frustrasi dengan kondisi yang dihadapi kemudian mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah menurut versi dia. ”(Tersangka) Mengurangi beban hidup dia dengan cara seperti itu ataupun ingin berkurang beban ekonominya,” katanya.
Peristiwa agresi yang berujung pada pembunuhan ini, menurut Ugung, juga bisa dipicu akibat lemahnya sisi spiritualitas dan religiusitas seseorang dalam keluarga. Jika orang yang kuat secara spiritualitas, tahu ke arah mana tindakannya dibawa.
Baca juga: Bunuh Orangtua dan Kakak, Anak Bungsu di Magelang Gunakan Arsenik
Diberitakan Kompas, Rabu, pasangan suami istri Abbas Ashar (58) dan Heri Riyani (54) serta anak sulung mereka, Dea Chairunnisa (24), tewas di rumahnya di Dusun Prajenan, Desa Mertoyudan, Kecamatan Mertoyudan, Magelang, Senin (28/11/2022). Dari pemeriksaan polisi, DDS mengaku meracuni tiga korban menggunakan racun jenis arsenik yang dibeli secara daring. Racun itu dilarutkan pelaku ke teh dan kopi korban. DDS juga melakukan percobaan pembunuhan pada Rabu (23/11/2022) dengan racun yang sama lewat minuman dawet, tetapi gagal karena takarannya sedikit.
Deretan kasus
Sebelumnya, pada 2019, di Desa Pasingganan, Banyumas, digegerkan kasus penemuan empat kerangka manusia di halaman belakang sebuah rumah. Empat kerangka itu ternyata tiga kakak beradik dan seorang anak yang dibunuh oleh dua orang bersudara yang merupakan keponakan dari korban. Pembunuhan yang telah terjadi pada 2014 itu baru terungkap lima tahun kemudian karena salah satu tetangga yang diminta membersihkan pekarangan belakang menemukan kerangka manusia (Kompas.id, 25/8/2022).
Kemudian pada Oktober 2022, Erwin dan W (17), anaknya, membunuh Zainudin, Siti Romlah, Wawan, Zahra, dan Juwanda yang masih satu keluarga lantaran perebutan warisan. Mereka dibunuh pada 2021 dan dikubur di dalam septic tank dan baru terungkap pada 2022 (Kompas.id, 11/10/2022).
Menilik arsip Kompas sepanjang 2001, misalnya, terdapat sejumlah kasus pembunuhan di dalam keluarga akibat sejumlah faktor, meliputi faktor ekonomi, dan sakit hati karena sering ditegur. Ada pula kasus di Kerajaan Nepal di mana putra mahkota membunuh anggota kerajaan karena impiannya menikahi gadis impiannya tidak direstui.
Pada Januari 2001, di Hong Kong, seorang gadis berusia 13 tahun langsung menjadi sebatang kara setelah menemui ibu dan kakak kandungnya serta seorang wanita sahabat ibunya tewas bersimbah darah di rumahnya. Sang ayah mengancam si anak perempuan ini supaya tidak memberitahukan peristiwa ini. Namun, sesaat kemudian si ayah menelepon polisi bahwa dirinya membunuh anak laki-lakinya untuk membela diri setelah anak itu membunuh ibu dan sahabat ibunya. Sang ayah lalu bunuh diri dengan loncat dari jendela aparteman (Kompas, 4/1/2001).
Kemudian di Tokyo utara, lima orang yang masih punya hubungan keluarga, ayah, dua putri beserta suaminya masing-masing, ditahan polisi akibat membunuh Kunio Miyamoto (51). Mereka kesal lantaran Kunio yang pengangguran kerap meminta uang dan jika ditolak, justru memukuli siapa saja, termasuk ibundanya. Mereka membunuh Kunio dengan golok dan batang besi lalu menguburkannya (Kompas, 24/1/2001).
Di Gang Rela Menteng Atas, Jakarta Selatan, pada Maret 2001, akibat sering cekcok lantaran faktor ekonomi, Sukirman (22) tega menganiaya istrinya, Sarinah (23), yang hamil lima bulan, hingga tewas di kamar mandi (Kompas, 24/3/2021).
Lalu di Manado, Sulawesi Utara, Sandi Muhammad (7) tewas setelah dianiaya ibu angkatnya, NH alias Nunung (34), yang merupakan sepupu dari ibu kandung Sandi. Berharap Sandi dirawat dengan lebih baik, tetapi justru dia tewas dengan pendarahan pada otak dan kepala karena dipukul menggunakan balok. NH mengaku kesal karena Sandi kerap buang air besar di kasur.
Kasus pembunuhan dalam keluarga yang cukup menonjol terjadi di tengah keluarga Kerajaan Nepal. Diberitakan Putra Mahkota Nepal, yaitu Pangeran Dipendra (29), membunuh raja, ratu, dan adiknya. Sang Putra Mahkota pun meninggal setelah menembak dirinya sendiri.
Diduga, sang putra mahkota memberondongkan peluru dari senapan semiotomatis setelah keinginannya menikahi wanita idamannya ditolak ibunya karena sang ibu telah memiliki calon lain. Total 10 anggota kerajaan tewas. Atas peristiwa ini, Pemerintah Nepal mencanangkan 13 hari berkabung (Kompas, 3/6/2001).
Pada Juni 2001, di Houston, Amerika Serikat, Andrea Yates, seorang ibu yang stres lantaran menderita postpartum depression membunuh 5 anaknya yang masih kecil dengan cara menenggelamkannya di bak mandi (Kompas, 1/7/2001). Kemudian, di Roma, Italia, Kuleva Jadraka (36) membunuh 2 anak laki-lakinya dengan pisau karena depresi bertahun-tahun (Kompas, 3/7/2021).
Selanjutnya pada Agustus 2001, di Wisconsin, AS, Joshua L Lepley (14) membunuh ayah dan kekasih ayahnya dengan senapan (Kompas, 3/8/2001). Di Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Daliati tewas dibunuh suaminya, Nasto Sembiring (32), lantaran sering cekcok karena faktor ekonomi. Daliati tewas setelah kepalanya dihantam batu bata (Kompas, 16/8/2001).
Kemudian di India Selatan, Acharya (40) tega memenggal kepala anak laki-lakinya yang berusia 20 tahun demi untuk korban bagi dewa-dewa. Ritual itu dianggap mampu membuat keluarga ini keluar dari problem finansial keluarga (Kompas, 5/9/2001).
Di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rohaya (25) tewas dibunuh adik kandungnya sendiri, Abdul Rohim (19), lantaran kesal sering dimarahi karena ketahuan mengonsumsi obat-obatan berbahaya (Kompas, 13/11/2001).
Kemudian di Sukabumi, Esih binti Juardi (35) ditemukan tewas dalam keadaan telanjang di dapur rumahnya. Esih dibunuh suaminya, Odang (40), yang menyebut bahwa istrinya tewas dalam ritual penyembuhan dari sakit setelah melahirkan anak keenamnya (Kompas, 28/11/2001).
Penelitian
Mulyani Rahayu dan Ade Cici Rohayati membuat penelitian berjudul ”Interaksi antara Pelaku Pembunuhan dalam Keluarga dengan Korban Dilihat dari Sudut Pandang Pelaku”. Penelitian yang diterbitkan jurnal Empati: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial (1 Juni 2020) ini menyebutkan, terdapat interaksi intens antara pelaku dan korban yang melibatkan peran aktif korban sebagai pemicu diawalinya interaksi dan selama interaksi tersebut berlangsung.
Masih dalam penelitian Rahayu dan Rohayati itu, studi di Philadelphia yang dilakukan oleh Wolfgang dari bulan Januari 1948 sampai dengan 31 Desember 1952 menunjukkan bahwa 580 kasus yang diteliti, 150 kasus di antaranya (26 persen) tergolong sebagai pembunuhan yang dicetuskan oleh korban (Wolfgang, 1970: 569-578). Studi di Chicago melaporkan, 118 dari 311 kasus pembunuhan dicetuskan oleh korban, yakni 40 persen dari korban memulai kekerasan yang mengakibatkan kematian dirinya (Shepard, 1971: 12-19).
Berkaca dari kasus di Magelang dan juga banyak kasus lain di berbagai belahan dunia, kiranya komunikasi dalam keluarga bisa dibangun secara lebih baik dan terbuka.
Menurut Wolfgang, pembunuhan di mana korban turut berpartisipasi dalam terjadinya peristiwa tersebut biasanya terjadi dalam rumah tangga, terhadap orang yang sudah dikenal, ras yang sama dan sahabat atau teman baik. Bukti-bukti yang dikemukakan juga menunjukkan pola yang sama di mana sebagian kasus pembunuhan adalah teman dekat dan merupakan hubungan keluarga (Wolfgang, 1970: 578).
Faturochman, pengajar di Fakultas Psikologi dan peneliti di Puslit Kependudukan UGM, dalam tulisannya berjudul ”Pembunuhan di Keluarga Dekat” menyebutkan, bentuk-bentuk penganiayaan paling banyak ditemukan dalam keluarga yang komunikasinya jeIek. Disebutkan bahwa komunikasi yang tidak baik dalam keluarga memberi peIuang berkembangnya masalah karena faktor ketidakjelasan. Masalah yang kecil karena tidak dikomunikasikan secara baik akan berkembang menjadi besar.
Berkaca dari kasus di Magelang dan juga banyak kasus lain di berbagai belahan dunia, kiranya komunikasi dalam keluarga bisa dibangun secara lebih baik dan terbuka.