Pelajaran dari Pencopotan Label Gereja di Tenda Pengungsian Gempa Cianjur
Pencopotan bantuan tenda berlabel gereja mengganggu proses pemulihan bencana di Cianjur. Konsentrasi publik terserap pada isu itu ketimbang menomorsatukan penyintas.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Pencopotan bantuan tenda berlabel gereja di tempat pengungsian korban gempa Cianjur, Jawa Barat, viral di media sosial. Polisi pun tengah menyelidiki kasus tersebut. Terlepas dari proses hukumnya, peristiwa itu memberi pesan soal kemanusiaan dalam kebencanaan.
Dalam video itu tampak sejumlah orang melepas label bertuliskan identitas gereja tertentu yang menempel di tenda biru pengungsi. Terdengar juga suara, ”Miris, merisaukan. Bantuan yang ada di Cianjur pelosok dipasok gereja-gereja,” di rekaman tersebut.
Belum diketahui pasti maksud dari pembongkaran label tenda itu. Namun, kejadian itu kini dalam penanganan polisi. Selain mendatangi tempat terjadinya perkara, polisi juga tengah memeriksa sejumlah saksi. Informasi sementara, diduga dua orang yang melakukan pencopotan label tersebut.
”Kami juga mengambil keterangan para pelaku. Mereka salah satu ormas (organisasi kemasyarakatan) di Cianjur,” ujar Kepala Kepolisian Daerah Jabar Inspektur Jenderal Suntana kepada awak media, Minggu (27/11/2022) di Cianjur. Ia berjanji menangani kasus itu sesuai prosedur.
”Kami akan periksa (terduga pelaku). Kalau memenuhi unsur pidana, kami akan lakukan (pemidanaan). Dalam pengembangannya bisa berkembang ke arah itu (intoleransi),” ujarnya. Ia tidak memerinci ancaman pasal dan hukuman jika terduga pelaku terbukti melakukan hal itu.
Suntana menyesalkan aksi pencopotan label itu meski tendanya tidak dibongkar. Apalagi, pengungsi masih membutuhkan bantuan. Ia mengimbau kepada warga yang ingin memberi masukan tentang penanganan bantuan agar melapor ke polisi dan aparat pemerintah lainnya.
”Tidak pernah boleh main hakim sendiri atau mencopot (label tenda itu). Kita dalam suasana berduka dan sangat membutuhkan bantuan berbagai pihak. Ini tindakan kemanusiaan. Kami menginginkan masyarakat Cianjur segera pulih. Mari kita jaga kondusivitas wilayah,” ujarnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil pun menyesalkan aksi pencopotan label identitas pemberi bantuan itu dan berharap kejadian serupa tak terulang lagi. Menurut dia, bencana datang tidak pilih-pilih dan berdampak kepada semua pihak dan golongan.
”Yang membantu bencana pun datang tidak pilih-pilih, datang dari semua pihak, dari semua pihak, dari semua golongan, kelompok, apa pun keyakinan atau agamanya,” ujar Emil, sapaan Kamil dalam akun Instagram. Bantuan kemanusiaan, katanya, tak boleh ternodai oleh kebencian.
Apalagi, sila kedua di Pancasila mengamanatkan kemanusiaan yang adil dan beradab. ”Berdirinya bendera, spanduk, baliho, stiker dari para pemberi bantuan adalah hal yang wajar karena mungkin itu bagian dari pertanggungjawaban kepada donator,” tutur Emil.
Pihaknya telah meminta Kapolda Jabar menindaklanjuti kasus itu agar hal tersebut tidak terulang. ”Walaupun kita tidak bersaudara dalam keimanan, kita tetaplah bersaudara dalam kebangsaan dan kemanusiaannya,” ujarnya.
Alie Humaedi dalam tulisannya berjudul ”Penanganan Bencana Berbasis Perspektif Hubungan Antar-agama dan Kearifan Lokal” di Analisa Journal of Social Science and Religion (2015) membahas keterkaitan agama dengan bencana. Misalnya, isu penyebaran agama kepada korban.
Saat gempa Tsunami Aceh 2004, misalnya, tersiar isu anak-anak korban yang tidak lagi memiliki keluarga dibawa oleh yayasan agama tertentu ke luar negeri untuk pindah agama. Di Padang (2009) juga muncul isu penyebaran agama tertentu oleh organisasi nonpemerintah internasional.
Padahal, bencana kerap menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan. Alie mencatat, saat gempa Aceh, misalnya, masjid menjadi ruang perjumpaan bagi penerima dan pemberi bantuan yang tidak selalu se-iman. Masjid mewujud tempat koordinasi hingga distribusi serta penyimpanan logistik.
Akan tetapi, terdapat sejumlah rambu-rambu dalam aktivitas kemanusiaan saat bencana. Norma ini penting agar kepentingan penyintas dan pemberi bantuan tidak bertabrakan. Penyintas ingin membebaskan diri dari keterbatasan, sedangkan pemberi bantuan ingin menolong sesuai program.
Meskipun tidak tertulis, menurut Alie, terdapat lima rambu-rambu dalam aktivitas kemanusiaan saat bencana. Pertama, tidak menyebarkan agama di suasana bencana ketika penyintas kondisinya lemah. Rambu ini penting agar toleransi antara umat Muslim dan Nasrani tetap terjaga.
Batasan hubungan itu, lanjutnya, adalah saling pengertian dan penghormatan terhadap penyintas dan pemberi bantuan. Apalagi, penanganan bencana termasuk dalam teologi sosial, yakni berkarya bersama tanpa membeda-bedakan agama. Ajaran ini juga disebut kesalehan sosial.
Rambu kedua adalah menjaga kewibawaan dan kesucian tempat sakral beserta para pemimpinnya. Misalnya, ketika masjid menjadi tempat pengungsian untuk sejumlah pemeluk agama, semuanya tetap wajib menghormati tempat ibadah itu. Begitupun ketika penyintas mengungsi di gereja.
Selanjutnya, pemberian bantuan tidak menonjolkan embel-embel agama secara vulgar. Batasan ini, kata Alie, cukup membingungkan. Ia mencontohkan, ketika gempa di Cigalontang, Tasikmalaya, merobohkan madrasah, organisasi sosial keagamaan tertentu ingin membantu sekolah itu.
Akan tetapi, pemberi bantuan ingin bangunan yang telah jadi nantinya terpasang gambar dan kata-kata tertentu yang bersimbol agama. Akhirnya, penyintas menolak bantuan itu. Masyarakat menilai ada kepentingan tersembunyi di balik bantuan tersebut.
Rambu keempat, pemberi bantuan tidak mengkhususkan kepada sekelompok orang. Distribusi bantuan yang tidak merata kerap memicu konflik. Bahkan, ada kasus pengungsi mengusir pemberi bantuan. Oleh karena itu, penyalurannya perlu melibatkan tokoh masyarakat setempat.
Alie mendorong berbagai pihak melaksanakan keempat rambu-rambu itu dan mengedepankan perspektif interfaith logic dan kearifan lokal. Ajaran ini, katanya, sebagai pemikiran bahwa agama tidak hanya sekumpulan penganut, tetapi juga ruang pertemuan bagi yang berbeda.
”Penguatan kerangka interfaith logic dan pemahaman pada kebudayaan lokal itu akhirnya akan berdampak pada penumbuhan partisipasi dan pengolahan kemampuan sumber daya yang dimiliki masyarakat dan penguatan jaringan dalam penanganan bencana,” tulisnya.
Kasus pencopotan label identitas pada bantuan tenda untuk korban gempa Cianjur menyimpan banyak pelajaran. Semua pihak sepatutnya saling menghargai dan menghormati. Sebab, semuanya punya tujuan sama: memulihkan Cianjur dengan kemanusiaan.