Pengusaha menolak dan menilai penetapan UMP Sumsel cacat hukum, sementara buruh tidak sepenuhnya menerima karena angkanya jauh dari harapan mereka, yakni kenaikan sebesar 13 persen.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah Sumatera Selatan mengumumkan upah minimum Provinsi Sumatera Selatan tahun 2023 sebesar Rp 3.404.177 atau naik 8,26 persen dari tahun 2022. Pengusaha merasa keberatan dan menilai penetapan itu cacat hukum, sedangkan buruh merasa berat karena angka jauh dari harapan mereka, yakni kenaikan sebesar 13 persen.
Sekretaris Daerah Provinsi Sumsel Supriono, Senin (28/11/2022), di Palembang, mengatakan, setelah melalui pembahasan dari berbagai pihak, terutama di Dewan Pengupahan Sumsel, Pemerintah Provinsi Sumsel mengumumkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2023 sebesar Rp 3.404.177 atau naik 8,26 persen dari UMP tahun 2022 yang sebesar Rp 3.144.446, atau naik Rp 259.731.
Aturan itu tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Sumsel No 877/KPTS/Disnakertrans/2022 tentang UMP Provinsi Sumsel tahun 2023. Persentase kenaikan ini masih lebih rendah dari batas atas kenaikan UMP yang ditetapkan pemerintah pusat, yakni sebesar 10 persen.
Supriono menjelaskan, kenaikan UMP ini didasarkan atas sejumlah indikator, seperti perkembangan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. UMP ini juga dijadikan acuan bagi pemerintah kabupaten dan kota di Sumsel untuk menetapkan upah minimum regional (UMR). Walau di beberapa daerah sudah menetapkan UMR lebih tinggi dari UMP Sumsel, seperti Palembang, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Ogan Komering Ulu Timur.
”Bagi perusahaan yang sudah memberikan upah lebih tinggi dari ketetapan UMP Sumsel, dilarang menurunkan upah. Jika kedapatan ada yang menurunkan upah tersebut, dapat dikenakan sanksi,” tuturnya.
Supriono berharap keputusan itu dapat diikuti oleh perusahaan. Perusahaan yang melanggar atau tidak mengikuti keputusan tersebut dapat dikenai sanksi pidana kurungan 1 tahun sampai 4 tahun dan denda Rp 100 juta sampai Rp 400 juta.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumsel Sumarjono Saragih menolak tegas kenaikan UMP yang telah diumumkan Pemprov Sumsel. Sebab, menurut mereka, kenaikan UMP tersebut dinilai cacat hukum.
”Penetapan UMP ini semakin kompleks sebab penetapan menyalahi aturan karena, berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 dan bukan berdasarkan PP No 36/2021,” kata Sumarjono.
Menurut dia, penetapan keputusan tidak boleh berdasarkan aturan lebih rendah. Selain itu, yang menjadi sorotan adalah UMP ditetapkan sepihak oleh pemerintah. Pihaknya merasa tidak pernah dilibatkan dalam penetapan UMP. ”Kami bagian dari Dewan Pengupahan tidak diundang dalam penetapan UMP,” ujarnya.
Pihaknya sempat menanyakan kepada pihak terkait mengenai perkembangan UMP, tetapi tidak ada informasi lebih lanjut. Tiba-tiba, pemerintah langsung mengumumkan UMP secara sepihak. ”Banyak hal yang dilanggar dan diabaikan. Mulai dari aturan, mekanisme pun diabaikan,” ucapnya.
Apindo sudah mengajukan judicial review(hak uji materil) secara nasional.
Untuk itu, kata Sumarjono, Apindo sudah mengajukan judicial review (hak uji materil) secara nasional. Mengingat, penetapan tidak sesuai aturan. ”Kami tidak mempersoalkan angka kenaikan, bahkan sampai 15 persen pun tidak ada masalah, tetapi ini ada aturan yang dilanggar,” tuturnya.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Federasi Serikat Buruh Niaga Informatika, Keuangan, Perbankan, dan Aneka Industri (FSB Nikeuba) Kota Palembang Hermawan menilai kenaikan UMP tidak sepenuhnya diterima kaum buruh karena tidak sesuai dengan tuntutan yang menginginkan kenaikan UMP sebesar 13 persen.
”Tuntutan kami UMP 2023 bisa naik sebesar 13 persen. Keputusan Gubernur yang baru diumumkan itu, kan, hanya mengikuti kebijakan pusat saja. Seharusnya Gubernur Sumsel bisa lebih berani membuat untuk mengumumkan UMP lebih tinggi lagi,” kata Hermawan.
Menurut dia, tuntutan 13 persen untuk kenaikan UMP terbilang wajar karena sudah sesuai dengan kebutuhan hidup laik yang terus mengalami kenaikan. ”Harga-harga barang sudah banyak yang naik akibat lonjakan harga BBM. Tuntutan kami itu bukan menaikkan UMP, tetapi disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini,” ujarnya.
Selama ini buruh sudah sangat menoleransi penyesuaian UMP yang dalam kurun dua tahun tidak mengalami kenaikan. Jadi, Hermawan berpendapat sangat wajar jika tahun ini UMP dinaikkan sesuai dengan tuntutan buruh sebesar 13 persen.