Kegiatan menapis bersama di sekolah membuat anak-anak SD di Kabupaten Lampung Selatan, semangat belajar menyulam kain tapis. Kelak, merekalah yang turut melestarikan warisan budaya.
Oleh
VINA OKTAVIA
·5 menit baca
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, anak-anak sekolah dasar di pelosok Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, bersemangat untuk belajar menyulam kain tapis. Kelak, mereka diharapkan turut menjaga eksistensi tapis sebagai warisan budaya yang menjadi simbol kebersamaan dan persatuan.
Di Desa Kertosari, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Lampung, Selatan, Lampung, sebagian besar siswi sekolah dasar sudah mengenal sulam tapis. Setiap pekan, anak-anak SD di wilayah itu mengikuti kegiatan esktrakulikuler menapis di sekolah bersama para guru.
Sabtu (26/11/2022), sebanyak 20 murid SDN 1 Kertosari berkumpul di bawah pohon rindang di halaman sekolahnya. Masing-masing memegang kain tenun, benang emas, dan jarum. Beberapa anak menggunakan papan tekang untuk menapis.
Kegiatan menapis bersama di sekolah baru bisa dilakukan tahun ini setelah sekitar dua tahun terakhir mereka harus belajar dari rumah karena pandemi Covid-19. Tak ayal, momen itu sekaligus menjadi pelepas rindu untuk bisa berkumpul bersama teman-teman di sekolah.
Di antara mayoritas siswi yang ikut kegiatan, ada seorang murid laki-laki yang tertarik belajar menyulam kain tapis. Dia adalah Dian Kurniawan (11), siswa kelas V di SDN 1 Kertosari.
Bersama teman-teman perempuannya, tangannya cekatan merangkai benang emas di atas kain tenun membentuk berbagai motif tapis yang indah. “Ini sedang belajar membuat motif perahu,” ujar bocah itu dengan logat Jawa.
Meski lahir sebagai keturunan Jawa, Dian merasa tertarik belajar membuat kain tradisonal masyarakat Lampung. Di sekolah, ia mendapat cerita dari para guru bahwa tapis adalah salah satu warisan budaya Lampung.
Suatu hari, Dian juga pernah terkesima melihat sepasang pengantin yang mengenakan pakaian adat berbalut kain tapis pada acara resepsi pernikahan. Corak dan warna keemasan pada kain tapis membuat sepasang pengantin itu tampak begitu cantik dan gagah di mata bocah mungil itu.
Ia penasaran bagaimana cara membuat kain tapis. Maka, saat ada tawaran mengikuti kegiatan ekstrakulikuler tapis, ia tak ragu untuk ikut bergabung. Selama sekitar empat bulan ikut kegiatan itu, Dian sudah belajar membuat berbagai motif tapis, seperti perahu, pucuk rebung, dan bunga.
Secara filosofi, perkembangan tapis dinamis sesuai dengan falsafah masyarakat adat Lampung, yaitu nemui nyimah, yang berarti murah hati atau terbuka kepada semua orang.
Bagi anak-anak sekolah dasar seusia Dian, belajar menapis butuh perjuangan. Selain melatih kesabaran dan ketelitian, anak-anak juga sesekali merasakan sakit ketika tertusuk jarum jahit saat asyik belajar menyulam tapis. “Tanganku pernah berdarah tertusuk jarum, tapi enggak mau berhenti belajar,” ucap Naila Raisa Mahera (9), siswi kelas III.
Menurut Naila, rasa lelah saat menyulam kain tapis hilang ketika melihat hasil karyanya jadi. Apalagi, hasil karyanya mendapat pujian dari para guru dan digunakan di sekolah.
Suparni (54), guru pendamping tapis di SDN 1 Kertosari menuturkan, anak-anak diajarkan membuat karya sederhana, seperti selendang, taplak meja, dan bet tapis yang disematkan pada seragam sekolah. “Bet tapis ini menjadi ciri khas seragam sekolah di desa ini sekaligus untuk memotivasi para siswa untuk belajar menapis,” ujarnya.
Menurut dia, mayoritas anak yang belajar membuat kain tapis adalah siswi kelas III hingga kelas IV SD. Awalnya, guru menggambar berbagai motif tapis di atas kain tenun. Guru pendamping lalu mencontohkan cara menyulam tapis mengikuti motif yang sudah jadi.
Selanjutnya, para siswa diberikan benang emas, kain tenun, dan jarum untuk belajar menyulam tapi seperti yang telah dicontohkan. “Hasilnya memang belum begitu rapih. Namun, untuk anak-anak, mereka sudah mau sabar belajar menyulam kain tapis saja sudah bagus,” ujarnya.
Pembinaan
Sebagai guru, ia juga mengaku baru belajar mendalami seni sulam tapis sejak 2019. Ia bersama guru dari sekolah dasar lain di Kecamatan Tanjung Sari dan Kecamatan Merbau Mataram, Kabupaten Lampung Selatan, mendapat pembinaan dari Yayasan Pendidikan Astra-Michael D Ruslim untuk belajar tapis dari Raswan, yang merupakan salah satu desainer tapis etnik Lampung.
Selama pandemi, para guru belajar tentang sejarah dan filosofi tapis Lampung secara daring. Setelah itu, mereka diajarkan membuat motif dan menyulam tapis di atas kain tenun. Pertemuan untuk belajar secara langsung baru bisa dilakukan pada 2022 setelah pandemi mereda.
Sejak awal mendampingi guru dan siswa belajar menapis, Raswan tidak hanya mengajari mereka tentang cara menyulam kain tapis. Ia juga menyampaikan tentang sejarah dan perkembangan tapis di Lampung.
Menurut Raswan, dahulu kain tapis hanya dikenakan oleh masyarakat Lampung pada acara adat, misalnya perkawinan atau pemberian gelar adat. Saat ini, tapis banyak dikreasikan menjadi pakaian yang lebih modern. Tapis juga dikembangkan menjadi produk seperti tas, sepatu, taplak meja, hingga hiasan dinding.
Secara filosofi, perkembangan tapis dinamis sesuai dengan falsafah masyarakat adat Lampung, yaitu nemui nyimah, yang berarti murah hati atau terbuka kepada semua orang. Falsafah lain yang dipegang teguh adalah nengah nyappur yang mengajarkan keterbukaan dan persatuan dalam bermasyarakat.
Rahayu selaku Penanggungjawab Seni Budaya dan Kecakapan Hidup Program Pembinaan dan Pendampingan Sekolah Astra untuk Indonesia Cerdas dari Yayasan Pendidikan Astra-Michael D Ruslim menuturkan, hingga saat ini, ada 9 SD dan 2 SMP di Kabupaten Lampung Selatan yang mendapat pembinaan secara berkelanjutan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah sehingga anak-anak di desa mendapat pendidikan yang baik seperti di perkotaan.
Pembinaan yang diberikan mencakup bidang akademis, kecakapan hidup, seni budaya, dan pendidikan karakter. Kegiatan menapis bersama ini merupakan salah satu kegiatan untuk menumbuhkan kecintaan pada seni budaya serta mengasah keterampilan dan kecakapan hidup.
Kini, seiring makin berkembangnya kerajinan tapis, semangat anak-anak untuk belajar menapis juga harus dibangkitkan. Kelak, generasi muda inilah yang turut andil menjaga lestarinya warisan budaya tersebut.