Perlu Kebijakan Alternatif Atasi Kelangkaan Minyak Tanah di NTT
Kelangkaan itu menyebabkan sejumlah pengecer menjual minyak tanah tersisa dengan harga hingga Rp 30.000 per liter. Pemerintah perlu menyiapkan alternatif solusi terkait pengurangan kuota minyak tanah.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Ina (10), siswa salah satu SD di Kupang, Sabtu (26/11/2022) pukul 06.30 Wita, berdiri di samping kompor minyak tanah. Setiap hari ia harus sarapan pagi atau membawa bekal ke sekolah, sesuai permintaan guru sekolah. Jika kelangkaan minyak tanah terus berlanjut, anak-anak sekolah di Kupang tidak bisa sarapan atau membawa bekal ke sekolah.
KUPANG, KOMPAS — Pemerintah perlu menyiapkan alternatif solusi untukmengatasi keterbatasan kuota minyak tanah di Nusa Tenggara Timur,bahkan Indonesia timur, setelah Pertamina mengurangi kuota minyak tanah di NTT. Jika masyarakat diminta beralih ke kompor gas atau kompor listrik, pemerintah perlu menyiapkan fasilitas itu dengan harga terjangkau. Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, kelangkaan minyak tanah makin membuat masyarakat kesulitan di tengah daya beli mereka yang rendah.
Direktur Lembaga Advokasi HAM dan Anti-Kekerasan terhadap Masyarakat (Lahkmas) NTT Viktor Manbait di Kupang, Sabtu (26/11/2022), mengatakan, kelangkaan minyak tanah sudah beberapa kali terjadi dalam tiga tahun terakhir ini. Tahun ini saja kelangkaan sudah tiga kali terjadi, yakni pada bulan Januari, Juli, dan November.
”Pemerintah jangan membiarkan situasi ini terus berulang tiap tahun. Jika minyak tanah mau dihilangkan di wilayah Indonesia timur, termasuk NTT, mestinya pemerintah menyiapkan suatu alternatif untuk menggantikan minyak tanah itu. Jangan diam-diam membiarkan masyarakat berjuang mencari terobosan sendiri-sendiri untuk memasak,” kata Manbait.
Sesuai laporan masyarakat yang diterima Lahkmas, kasus ini terjadi di sejumlah wilayah NTT. Belu, Malaka, dan Timor Tengah Utara, tiga kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste, pun melaporkan hal serupa sejak tiga pekan silam. Pekan lalu, masyarakat Kota Kupang mendapat giliran serupa, yakni kelangkaan minyak tanah.
Penjual pertalite eceran di Kota Kupang, Sabtu (26/11/2022), biasanya juga menjual minyak tanah yang diisi di dalam jeriken. Namun, karena langka, pedagang eceran minyak tanah pun pun tidak lagi menjual minyak tanah. Adapun harga pertalite eceran Rp 13.000 per botol.
Manbait menduga pemerintah juga ingin menghilangkan minyak tanah bagi masyarakat di wilayah timur Indonesia, termasuk NTT, setelah di Pulau Jawa dan Bali. Namun, kebijakan seperti ini tidak bisa dilakukan serta-merta, tanpa mencari solusi lain.
Masyarakat desa yang kesulitan mendapatkan minyak tanah akan beramai-ramai mencari kayu bakar di hutan. Bahkan, ada warga yang mulai menebang pohon untuk menjadikan kayu bakar, pengganti minyak tanah. Memasak dengan kayu pun bakal melahirkan persoalan lain, yakni penggundulan hutan.
Sementara kondisi hutan di NTT, terutama di daratan Timor, sudah sangat mengkhawatirkan. Kekeringan ekstrem dan kemarau panjang selama sembilan bulan berturut-turut terjadi, antara lain, karena kerusakan hutan itu. ”Beda dengan daratan Flores bagian barat yang relatif lebih lembab dan sering terjadi hujan di musim kemarau. Hutan di Flores barat relatif lebih rimbun dan hijau dibandingkan daratan Timor barat,” kata Manbait.
Jika masyarakat beralih ke kayu bakar seperti zaman sebelum kemerdekaan sampai tahun 1990-an, hutan di NTT bakal hilang. Penebangan liar akan terjadi di mana-mana. Lagi pula, jumlah penduduk saat ini jauh lebih banyak dibandingkan puluhan tahun silam sehingga kebutuhan kayu bakar pun meningkat.
Kelangkaan minyak tanah di Kupang, Sabtu (26/11/2022), menyebabkan sebagian ibu rumah tangga kesulitan memasak. Kompor minyak tanah dibiarkan tergeletak begitu saja.
Masyarakat menghadapi pilihan yang sulit. ”Ibarat buah simalakama, tidak menebang hutan, mereka butuh kayu bakar untuk memasak. Membeli kompor gas dengan tabung gas dan perlengkapan lain butuh uang lebih dari Rp 1 juta per kepala keluarga. Harga kompor gas sekitar Rp 500.000 per satu unit kompor dan tabung gas ukuran 12 kg saja Rp 750.000 per tabung. Gas ukuran 12 kg dihargai Rp 275.000 per tabung,” kata Manbait.
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, biaya mengadakan kompor gas seperti ini sulit didapatkan. Pilihan bagi kelompok masyarakat ini adalah menggunakan kayu bakar. Kerusakan hutan sulit dihindari dan bakal makin buruk.
Pria yang berkecimpung sebagai aktivis kemanusiaan sejak 22 tahun silam ini mendorong pemerintah segera mencari alternatif solusi jika kuota minyak tanah tidak ditambahkan bagi NTT dan Indonesia timur lain seperti Maluku dan Papua. Masyarakat di wilayah ini masuk kategori masyarakat miskin. Ia mengharapkan pemerintah menyediakan alternatif lain, misalnya menyediakan tabung gas ukuran 3 kg, tetapi dengan harga yang bisa dijangkau masyarakat kelas menengah ke bawah.
Cicil dari Humas Pertamina Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara membenarkan terjadi pengurangan kuota itu. Ini sesuai arahan Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas. ”Kami hanya operator, menjalankan tugas sesuai kuota yang telah ditetapkan. Namun, BPH Migas sudah melakukan peninjauan terkait hal ini. Pihak Pertamina sedang menunggu arahan lebih lanjut dari BPH Migas,” kata Cicil.
Namun, Cicil tidak menyebutkan angka penurunan kuota yang dimaksud.
Rp 30.000 per liter
Salah satu agen minyak tanah di Kota Kupang, Mery Sulung Budi, kepada wartawan mengatakan, pihak Pertamina cabang Kupang tidak lagi mendistribusikan minyak tanah sejak satu pekan terakhir ini sehingga terjadi kelangkaan minyak tanah. Kelangkaan itu menyebabkan sejumlah pengecer menjual minyak tanah tersisa dengan harga hingga Rp 30.000 per liter.
Satu unit stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Kelurahan Tuak Daun Merah, Kota Kupang, Sabtu (26/11/2022). SPBU ini mewajibkan setiap konsumen yang mengisi BBM jenis solar mendaftar di aplikasi Pertamina sebelum melakukan pengisian. Jika belum mendaftar, konsumen dipaksa membeli BBM jenis pertamina dex yang harganya Rp 18.500 per liter, sementara yang tertera di papan harga mestinya Rp 18.100 per liter. Konsumen mengeluh, syarat pendaftaran pengisian BBM itu hanya berlaku bagi pertalite, tidak termasuk solar. Di tengah situasi sulit saat ini, Pertamina perlu menertibkan pengelola SPBU yang nakal.
Mery menyebutkan tidak bisa melarang pengecer karena minyak tanah memang tidak ada lagi. ”Bagi masyarakat yang mampu, mereka masih bisa beli meski mahal. Tetapi, warga yang tidak mampu terpaksa menggunakan kayu bakar. Kondisi ini memang sudah sering terjadi, tidak hanya di Kota Kupang, tetapi juga di kabupaten lain di NTT,” kata Mery.
Padahal, minyak tanah yang dijual dengan harga normal Rp 4.000 saja warga miskin hanya bisa membeli 2 liter. Apalagi di saat harga naik sampai Rp 30.000 per liter. Masyarakat miskin makin tak berdaya. Natal dan Tahun Baru sudah dekat sehingga kelangkaan ini perlu segera diatasi.
Kelangkaan itu menyebabkan sejumlah pengecer menjual minyak tanah tersisa dengan harga hingga Rp 30.000 per liter.
Pemilik kios ”Sehat Jaya”, yang juga menjual minyak tanah di Kelurahan Maulafa, Kupang, Maksi Salut (51), mengatakan, biasanya ia mendapatkan 100 liter minyak tanah sekali diantar agen, tetapi belakangan ini turun menjadi 50 liter dan sekarang kosong sama sekali.
”Saya hanya jual pertalite eceran. Biasanya pertalite dijual bareng dengan minyak tanah di sampingnya. Minyak tanah kosong. Informasinya ada kios yang masih jual dengan harga dari Rp 10.000 sampai Rp 30.000 per liter. Mungkin itu stok yang tersisa,” kata Maksi.
Kompor minyak tanah di kediaman Yuyun Ekatama di Kelurahan Liliba, Kota Kupang, Minggu (6/3/2022).
Ny Maria Sanam, warga Kelurahan Liliba, Kota Kupang, mengatakan, akibat kelangkaan itu, sudah lima hari terakhir ia tidak sempat memasak menggunakan kompor minyak. Ia memanfaatkan penanak nasi listrik untuk memasak sayur dan merebus telur selain menanak nasi. Ia tidak menggoreng ikan atau tahu tempe seperti sebelumnya.
Ia mengaku sedang mencari alat masak dari listrik yang harganya terjangkau, misalnya Rp 200.000-Rp 300.000 per unit, agar bisa menggoreng. Sejak minyak tanah langka, ia tidak sempat menggoreng ikan, daging, telur, atau tahu tempe. ”Anak-anak butuh makanan gorengan seperti itu. Kami orangtua malah lebih suka rebus,” katanya.
Anak-anak yang pergi ke sekolah pada pagi hari pun tidak sempat sarapan karena kelangkaan minyak tanah tersebut. Ada anak yang hanya mengonsumsi nasi kosong atau kadang telur rebus saja.
Ny Safira (45), pemilik warung makan “Madura”, mengatakan masih memiliki minyak tanah sekitar 50 liter. ”Ini persediaan lama. Mudah-mudahan Pertamina segera menyalurkan lagi ke masyarakat,” ucapnya.
Warga mengantre untuk mendapatkan minyak tanah bersubsidi di Kelurahan Remu Utara, Kota Sorong, Papua Barat, pada pertengahan November 2022. Kelangkaan minyak tanah seperti ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia timur, termasuk NTT. Pemerintah perlu mencari alternatif lain mengatasi masalah ini.