Manengkel Solidaritas, Menyelamatkan Pesisir dan Menyejahterakan Nelayan
Sulawesi Utara memiliki 627 desa pesisir, tetapi tak banyak banyak lembaga swadaya masyarakat yang aktif mendampingi desa-desa tersebut. Perkumpulan Manengkel Solidaritas dibentuk untuk mengisi ruang kosong tersebut.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Sulawesi Utara memiliki 627 desa pesisir di sepanjang bentangan 2.395,99 kilometer garis pantainya, baik di Sulawesi daratan maupun di 287 pulau kecil yang tersebar di sekitarnya. Itu sudah cukup menggambarkan betapa besar ketergantungan masyarakat akar rumput di “Bumi Nyiur Melambai” terhadap laut dan segala sumber daya di dalamnya.
Celakanya, pemanfaatan sumber daya di pesisir justru eksploitatif yang destruktif. Bom dan racun digunakan untuk menangkap ikan, sementara pohon-pohon bakau dibabat demi mendapatkan kayu bakar dan bahan bangunan.
“Di Sulut ini banyak masyarakat pesisir yang harus dibantu, bagaimana bisa mengelola sumber daya alam tanpa harus merusak. Tetapi, belum banyak NGO (lembaga swadaya masyarakat/LSM) yang bergerak di bidang pesisir,” kata Sella Runtulalo ketika ditemui di Manado, Kamis (24/11/2022).
Maka, pada Mei 2015, bersama tiga orang akademisi dan pegiat konservasi bahari, Sella mendirikan Perkumpulan Manengkel Solidaritas. Dalam bahasa Sangihe, manengkel berarti aktivitas menangkap ikan pada malam hari saat air surut dengan tombak. Ikan hanya diambil secukupnya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga.
Kesadaran dan kemampuan memanfaatkan sumber daya alam secara arif itulah yang ingin Manengkel kembangkan di desa-desa pesisir Sulut. “Inti dari kegiatan kami adalah pemberdayaan masyarakat sembari menjaga lingkungan. Dari pola pengelolaan sumber daya pesisir yang seperti itu, kesejahteraan masyarakat pasti bisa meningkat,” kata Sella.
Kini, para pendiri berperan duduk dalam dewan pengarah perkumpulan, sedangkan aktivitas sehari-hari Manengkel digerakkan oleh 12 staf program dengan Erlando Tumangken sebagai ketuanya.
Inti dari kegiatan kami adalah pemberdayaan masyarakat sembari menjaga lingkungan. Dari pola pengelolaan sumber daya pesisir yang seperti itu, kesejahteraan masyarakat pasti bisa meningkat. (Sella Runtulalo)
Setelah tujuh tahun berdiri, Manengkel telah mendampingi lebih dari 30 desa dan kelurahan di lima kabupaten/kota, yaitu Manado, Bitung, Minahasa, Minahasa Utara, dan Minahasa Selatan. Erlando mengatakan, khusus tahun ini ada enam program utama yang sedang dijalankan.
Di Bitung, misalnya, sedang berlangsung pengembangan kawasan konservasi laut (marine protected area/MPA) seluas 9.635 hektar di perairan Selat Lembeh. Proyek itu beriringan dengan program perikanan skala kecil yang memberi perhatian khusus pada nelayan perempuan.
Sementara itu di Minahasa Selatan, tepatnya Desa Kapitu, Manengkel melaksanakan rehabilitasi terumbu karang sembari meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang cara menjaga terumbu karang. “Tahun ini, kami berhasil merestorasi 1,25 hektar lahan bawah air yang rusak,” kata Erlando.
Dampak rehabilitasi
Sella mengatakan, dampak program itu segera dirasakan masyarakat. Volume ikan disebut telah meningkat di sekitar pantai sehingga para nelayan tak perlu melaut terlalu jauh. “Mereka juga bilang sudah tidak ada lagi yang menggunakan bom dan racun, tetapi itu masih harus dibuktikan secara saintifik,” kata dia.
Upaya Manengkel membantu masyarakat merawat pesisir juga dilakukan dengan penanaman bakau di berbagai desa dan kelurahan. Di Manado, misalnya, tantangan besar menghadang karena tingkat kerusakan mangrove yang cukup parah, salah satunya akibat reklamasi pantai.
Sekalipun memiliki garis pantai sepanjang 18 kilometer, luas tutupan mangrove di Manado hanya sekitar 84 hektar pada 2019, mayoritas di bagian utara kota. Menurut Erlando, program Manengkel sejak 2015 berhasil memulihkan sedikitnya 18 hektar hutan mangrove di Kampung Bahowo, Kecamatan Bunaken. Ekowisata pun turut berkembang di sana.
Di Minahasa Utara, Manengkel kini menjalankan program Minut Lestari. Khusus tahun ini, mereka mencoba mendampingi masyarakat di sekitar kaki Gunung Klabat. Ada empat subprogram, yaitu 13,6 hektar lahan pertanian sehat, 285,6 hektar lahan konservasi keanekaragaman hayati, pengolahan 93,75 ton sampah plastik, serta pencegahan tengkes (stunting) pada dua orang anak.
Menurut Erlando, ribuan orang telah menikmati manfaat program-program Manengkel, baik secara langsung maupun melalui paparan informasi. “Di Minahasa Utara, ada 8.800 penerima manfaat. Di Minsel, warga penerima manfaat mencapai 2.487 orang, sedangkan di Bitung 5.345 orang,” kata dia.
Dukungan pendanaan
Semua program ini dimungkinkan berkat pendanaan dari beberapa pihak. Menurut Sella, Manengkel memiliki mitra di setiap daerah, seperti PT Cargill Indonesia di Minahasa Selatan, PT Tirta Investama yang memproduksi air mineral Aqua di Minahasa Utara, serta PT Pertamina di Bitung. Bank Indonesia Kantor Perwakilan Sulut juga kerap terlibat.
Ada pula pendanaan dari berbagai pihak yang berbasis acara (event) seperti penanaman mangrove. Sella mengatakan, total dana yang mereka kelola sepanjang tahun mencapai Rp 2 miliar-Rp 3 miliar.
Kendati begitu, ia menilai anggaran tersebut cenderung kecil jika dibandingkan dengan ambisi mereka dalam menjangkau masyarakat. “Program kami banyak, tetapi anggarannya kecil. Dibandingkan dengan NGO nasional di Jakarta sana, mereka bisa puluhan miliar rupiah,” kata dia.
Anggaran tersebut memang masih cukup untuk membiayai semua kegiataan yang ada saat ini. Namun, keterbatasan tersebut sempat menyebabkan terhentinya satu program di Danau Tondano, Minahasa, yaitu pengolahan eceng gondok menjadi produk kerajinan tangan seperti keranjang.
“Biaya mengolah eceng gondok sangat tinggi. Kami juga harus menghubungkan mereka dengan pasar agar kerajinan yang dibuat bisa menguntungkan warga. Itu yang belum bisa kami lakukan,” kata Erlando.
Manengkel belum bisa melanjutkan program di Danau Tondano karena belum ada komunikasi berarti dengan Pemkab Minahasa. Namun, di daerah lain yang menjadi lokasi program, Manengkel Sella sebut mampu bersinergi dengan pemkab. Sebab, kebijakan pemerintah adalah acuan bagi Manengkel dalam melaksanakan program.
“Kami mencoba bermitra dengan Dinas Kelautan dan Perikanan setempat untuk mencapai target luasan kawasan konservasi laut nasional, yaitu 30 juta hektar pada 2030. Sekarang pemerintah sudah mencapai 18 juta hektar. Lewat program di Bitung, kami sudah berkontribusi sebesar 9.635 hektar,” kata dia.
Pada beberapa kasus, memang ada ketidaksesuaian antara visi Manengkel dengan regulasi pemerintah, seperti dalam penerapan retribusi ekowisata di Kampuang Bahowo, Manado. Hingga kini, belum ada tiket masuk ke taman mangrove yang mereka kembangkan bersama PT Tirta Investama tersebut. Wilayah itu adalah daerah penyangga Taman Nasional Bunaken, sehingga hanya balai taman nasional yang berhak menetapkan retribusi.
Di luar itu, Sella dan Erlando yakin tidak ada tantangan yang tak dapat mereka atasi. Mereka kini sedang menjajaki pendanaan dari satu perusahaan lain.
“Kami yakin kalau nantinya anggaran bertambah, kami akan bisa memberi manfaat bagi lebih banyak warga,” kata Sella.