Para pendiri Baciraro Recycle meyakini kesadaran akan pengelolaan sampah akan mampu mengatasi berbagai persoalan ekologis. Maka, mereka bergerak mandiri mendaur ulang sampah dan mengolah sampah organik.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
Sebagai seorang aktivis lingkungan hidup, Marlon Kamagi (48) yakin, kepedulian masyarakat akan sampah akan membuka peluang untuk mengatasi berbagai masalah ekologis lain yang lebih besar, seperti pemanasan global. Itulah mengapa ia mendirikan sebuah perusahaan rintisan bernama Baciraro Recycle pada 2020 untuk menangani berbagai jenis sampah.
Perusahaan rintisan itu terpusat di suatu bengkel sederhana di Desa Papakelan, Minahasa, Sulawesi Utara. Di sanalah mereka meletakkan berbagai alat pendaur ulang sampah plastik, dari mesin pencacah hingga ekstruder atau pencetak.
Berbagai sampah plastik, terutama tutup botol plastik yang merupakan polietilena berkerapatan tinggi (HDPE), dihancurkan lalu dilelehkan dan dicetak menjadi berbagai benda, Hasilnya mulai dari manik-manik gelang hingga bahan bangunan seperti batako dari plastik. Inilah kontribusi Marlon dan timnya untuk mengatasi 175.000 ton sampah yang terbuang percuma setiap hari di seluruh Indonesia.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2017, komponen terbesar sampah yang bermuara di tempat pembuangan akhir (TPA) adalah sampah organik sebesar 60 persen dan sampah plastik sebesar 14 persen.
“Padahal kalau sudah dipilah, sampah bisa menjadi sumber daya yang bernilai dan tak terbatas,” kata Marlon, beberapa waktu lalu ketika ditemui di bengkel Baciraro.
Untuk mengumpulkan sampah, Baciraro yang pada 2020 memenangi Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital Regional Manado mencari donatur sampah di Minahasa, Manado, Bitung, hingga Minahasa Utara. Para donatur tergabung dalam sebuah grup WhatsApp.
“Kami akan ambil sampah plastik mereka langsung ke rumah,” kata Marlon.
Di samping itu, Baciraro juga mendirikan serta berkolaborasi dengan pegiat bank sampah. Tiga bank sampah ada di Tompaso, Minahasa, satu di Bitung, dan satu lagi di Likupang, Minahasa Utara. Tiap bank sampah memiliki nasabah yang dapat menukarkan sampahnya dengan uang atau bahkan sembako.
Kini, Baciraro yang berbentuk perseroan terbatas dikelola oleh empat orang. Mereka juga dibantu dua karyawan gudang, dan 21 pengelola bank sampah di tiga lokasi. Pendanaan mereka berasal dari, antara lain, lembaga swadaya masyarakat Swiss bernama Trash Waste Solutions (TWS), serta produsen air minum Aqua, PT Tirta Investama.
Untuk mengumpulkan sampah, Baciraro yang pada 2020 memenangi Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital Regional Manado mencari donatur sampah di Minahasa, Manado, Bitung, hingga Minahasa Utara. Para donatur tergabung dalam sebuah grup WhatsApp.(Marlon Kamagi)
Chief Operating Officer (COO) Baciraro, Clay Lalamentik (26), mengatakan, berbagai produk yang dihasilkan dari daur ulang ratusan keping tutup botol plastik telah diperkenalkan melalui berbagai kegiatan dan festival. Sejak pertengahan tahun, pihaknya berusaha membuat 1.000 buah batako untuk pembangunan sebuah rumah berkonsep zero waste di Pulau Siladen, Manado.
Bermacam asesoris juga diminati warga. “Terakhir, Pak Marlon sempat bawa puluhan gelang ke satu festival di Bali saat KTT G20. Kami sekarang lagi fokus di pembuatan gelang, kebetulan ada penjajakan kerja sama dengan desainer batik di Manado, Sizzy Matindas, untuk pembuatan perhiasan,” kata dia, Sabtu (26/11/2022).
Pengolahan sampah organik
Kendati begitu, Baciraro tak hanya berhenti di sampah plastik. Mereka juga mengembangkan pengolahan sampah organik. Tak jauh dari bengkel daur ulang mereka, Baciraro juga mendirikan peternakan maggot black soldier fly (BSF). Sampah organik sisa dan sisa makanan pun dapat diolah menjadi pupuk.
Clay mengatakan, selama setahun terakhir, pihaknya telah bekerja sama dengan para petani di Rurukan, Tomohon. “Kami mengembangkan produk kentang organik. Ini kentang organik pertama yang ada di Sulut,” kata dia.
Wilayah penghasil kentang terbesar di Sulut, yaitu Modoinding di Minahasa Selatan, bahkan belum bisa menghasilkan yang organik. Menurut Clay, ia dan puluhan petani di Rurukan telah mampu menghasilkan 1,8 ton kentang organik dengan pupuk yang dibuat dari dekomposisi oleh maggot serta olahan para petani sendiri.
“Kami lakukan semuanya tanpa bantuan pemerintah. Memang sejauh ini belum ada perhatian. Jadi, ini proyek yang Baciraro biayai sendiri secara swadaya, berkolaborasi dengan petani setempat,” kata Clay.
Kendati begitu, Baciraro tak pernah mempermasalahkan kurangnya kerja sama dengan pemerintah. Semua aktivitas perusahaan dengan misi ekologis dapat berjalan cukup baik.
“Kami ke depan ingin kembangkan lagi target produksi kentang jadi 2 ton mulai 2023, juga melanjutkan pembuatan bahan bangunan,” ujar Clay.