Selain Jumlah Minim, Kondisi Ekonomi Guru di Papua Barat Juga Memprihatinkan
Dalam peringatan Hari Guru di Papua Barat, masih terdapat dua masalah yang dialami para guru di sana. Jumlah guru kurang dan kesejahteraan mereka memprihatinkan.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Kondisi ekonomi guru di Provinsi Papua Barat, terutama di daerah terpencil, masih memprihatinkan. Ada guru yang honornya tidak sampai separuh besaran upah minimum provinsi. Papua Barat pun masih kekurangan 5.507 tenaga guru berdasarkan hasil penelitian akademisi Universitas Papua pada tahun ini.
Kepala Dinas Pendidikan Papua Barat Barnabas Dowansiba, saat dihubungi dari Jayapura, Papua, Jumat (25/11/2022), mengakui, minimnya jumlah guru menjadi salah satu masalah besar di 12 kabupaten dan 1 kota di Papua Barat. Ia menilai, salah satu penyebabnya adalah pembukaan formasi aparatur sipil negara untuk tenaga guru yang masih minim setiap tahun.
Ia memaparkan, minimnya tenaga guru banyak berada di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Kondisi ini juga berdampak terhadap pelayanan pendidikan bagi anak-anak usia sekolah jenjang SD dan SMP di Papua Barat.
Hasil penelitian ahli demografi Papua dan Papua Barat dari Universitas Papua, Agus Sumule, pada Oktober 2022, terungkap bahwa sebanyak 68.988 penduduk usia sekolah yang tidak mengenyam pendidikan di sekolah. Jumlah ini tersebar di 12 kabupaten dan 1 kota di Papua Barat.
Daerah dengan jumlah penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah tertinggi adalah Kabupaten Manokwari, yakni mencapai 12.204 anak. Salah satu penyebabnya ialah Papua Barat kekurangan 5.507 tenaga guru pada jenjang SD hingga SMA. Saat ini jumlah tenaga guru di provinsi itu sebanyak 15.310 orang.
”Masalah kekurangan guru di tingkat SD hingga SMP harus diperjuangkan setiap pemda di 12 kabupaten dan 1 kota. Jumlah kekurangan tenaga guru akan terus bertambah karena banyak guru yang pensiun setiap tahun,” kata Barnabas.
Barnabas mengatakan, refleksi dalam peringatan Hari Guru pada 25 November ini adalah pemda di seluruh wilayah Papua Barat harus memperjuangkan kesejahteraan guru dan formasi khusus untuk penerimaan tenaga guru. Ia mengaku masih menemukan guru dengan kondisi memprihatinkan karena kebutuhannya belum terpenuhi, seperti rumah yang layak, gaji yang cukup, dan sarana transportasi.
”Dari pantauan kami, ada pemda yang sama sekali belum memperhatikan nasib guru yang bertugas di daerah-daerah terpencil. Seharusnya anggaran otonomi khusus untuk sektor pendidikan juga digunakan untuk membiayai guru-guru yang kondisi ekonominya memprihatinkan,” kata Barnabas.
Ia menambahkan, pemerintah pusat telah mengangkat 600 guru menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) pada tahun ini. Upaya ini berdasarkan usulan dari Pemprov Papua Barat.
”Kami akan kembali menambah jumlah guru berstatus P3K sebanyak 170 orang pada tahun ini. Upaya tersebut demi mengatasi masalah kekurangan guru secara bertahap di Papua Barat,” ucapnya.
Saya berharap bisa diangkat menjadi aparatur sipil negara sehingga bisa mendapatkan tambahan gaji.
Henok Ayaumen, guru honorer di SD Negeri 65 Geru Jaya di Kampung Dugrimog, Kabupaten Pegunungan Arfak, mengungkapkan, hanya terdapat lima guru yang mengajar di sekolah tersebut. Ia berharap ada tambahan tenaga guru untuk mengajar anak-anak di kampung tersebut.
”Status saya juga masih sebagai guru honorer dengan gaji hanya Rp 1,5 juta per bulan. Saya berharap bisa diangkat menjadi aparatur sipil negara sehingga bisa mendapatkan tambahan gaji,” tutur Henok yang telah memiliki dua anak ini. Angka itu jauh di bawah upah minimum Provinsi Papua Barat yang sebesar Rp 3,2 juta pada 2022.
Sementara itu, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Sorong Jhon Sagrim memaparkan, masih terdapat 500 tenaga guru honorer di Kota Sorong. Ia berharap ratusan guru ini diikutkan dalam seleksi tenaga P3K.
”Para guru ini adalah garda terdepan untuk meningkatkan sumber daya manusia di Papua Barat. Kami berharap pemerintah bisa memperhatikan nasib mereka,” ucap Jhon.