Rendang dan Solidaritas dari Ranah Minang
Beberapa tahun terakhir, rendang menjadi simbol solidaritas masyarakat Sumbar dalam membantu meringankan beban para penyintas bencana di daerah lain.
Rendang, masakan khas Ranah Minang, identik sebagai hidangan wajib dalam setiap perayaan besar ataupun bekal untuk merantau. Beberapa tahun terakhir, rendang juga menjadi simbol solidaritas masyarakat Sumatera Barat dalam membantu meringankan beban para penyintas bencana.
Ardevi (52) perlahan-lahan memasukkan 10 kilogram potongan daging sapi ke dalam kalio yang tengah menggelegak di dalam kancah. Rekannya tetap mengaduk ramuan santan yang sudah terbit minyak itu agar tidak berkerak. Aroma masakan itu menguar menggugah selera.
“Rendang ini akan masak sekitar 3 jam lagi,” kata Ardevi, anggota Dharma Wanita Persatuan (DWP) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat, di sela-sela memasak rendang sejak pukul 13.00 di belakang kantor badan tersebut di Padang, Rabu (23/11/2022) sore.
Perempuan yang karib disapa Devi itu memasak rendang bersama belasan rekannya di DWP dibantu sejumlah karyawan BPBD Sumbar. Rendang dengan bahan baku 20 kg daging sapi, santan dari 70 butir kelapa, dan berbagai bumbu lainnya itu dijerang pada dua kancah besar. Hasilnya diperkirakan sekitar 35-40 kg rendang.
Rendang tersebut hendak dikirim sebagai bantuan kepada warga terdampak bencana gempa M 5,6 di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022). BNPB mencatat, hingga Selasa (22/11/2022) sore, gempa menyebabkan 268 korban jiwa dan 151 korban hilang serta 6.570 rumah rusak berat.
Menurut Devi, dana pembuatan rendang ini berasal dari sumbangan para pegawai BPBD Sumbar. “Bantuan ini sebagai bentuk rasa simpati terhadap saudara kami yang tengah kesulitan akibat gempa di Cianjur,” ujar istri dari Ilham Wahab, Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Sumbar itu.
Baca juga: Sumbar Himpun Rendang untuk Korban Gempa Cianjur
Bantuan rendang dari DWP BPBD Sumbar itu bagian dari 1 ton 15 kg rendang yang berhasil dihimpun oleh Pemerintah Provinsi Sumbar melalui BPBD selama 22-24 November 2022. Bantuan tersebut berasal dari organisasi perangkat daerah (OPD), badan usaha, swasta, hingga masyarakat umum. Sebagian besar rendang yang terkumpul merupakan produk UMKM kuliner di Sumbar.
Gubernur Sumbar Mahyeldi mengatakan, bantuan rendang ini merupakan bentuk rasa empati dan kepedulian warga Sumbar atas musibah gempa di Cianjur. “Kami juga akan menggalang dana bantuan rehab-rekon, termasuk masjid, rumah, fasilitas umum, dan lainnya, termasuk (untuk) saudara kami (perantau Minang) yang ada di sana,” katanya, Rabu malam.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumbar Rumainur mengatakan, bantuan rendang itu telah dilepas Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy pada Kamis (24/11/2022) siang. Bantuan bakal dikirim Jumat (25/11/2022) melalui jalur darat dengan kendaraan BPBD Sumbar.
Rendang tersebut diharapkan dapat membantu meringankan kebutuhan pangan para penyintas gempa. “Semoga dapat tersebar sebanyak-banyaknya kepada saudara kita yang terdampak gempa,” kata Rumainur, Kamis siang.
Semua orang pasti makan. Mereka tidak sempat masak dan lain-lain. Maka dengan rendang, sangat praktis. Tinggal masak nasi saja. Lauk sudah ada, tinggal makan rendang
Rumainur menjelaskan, bantuan berupa rendang dipilih karena dinilai cocok untuk kondisi bencana. Rendang tahan lama disimpan, bergizi, dan secara umum cocok dengan selera banyak orang dari berbagai latar belakang suku dan budaya.
Pengiriman bantuan rendang ke daerah-daerah bencana oleh Pemprov Sumbar dimulai sejak gempa di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, akhir 2016 (Kompas.id, 3/5/2019). Ada sekitar 1 ton rendang yang dikirim. Sejak saat itu, Sumbar terus mengirimkan bantuan rendang ke sejumlah daerah yang mengalami bencana besar.
Dari catatan Kompas (13/12/2021), terakhir kali Sumbar mengirimkan bantuan rendang adalah untuk korban bencana Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Saat itu, Minggu (12/12/2021) malam, sebanyak 1,5 ton rendang dikirim melalui jalur darat oleh BPBD Sumbar.
Gubernur Sumbar 2010-2021 Irwan Prayitno menjelaskan, pengiriman bantuan rendang bermula dari pikiran bahwa pada kondisi bencana penyintas kesulitan mendapatkan makanan. Sebab, pada saat itu, semuanya darurat, orang-orang di lokasi bencana sibuk membantu korban, sedang sebagian korban ada yang sakit.
“Semua orang pasti makan. Mereka tidak sempat masak dan lain-lain. Maka dengan rendang, sangat praktis. Tinggal masak nasi saja. Lauk sudah ada, tinggal makan rendang,” kata Irwan.
Baca juga: Sumbar Kirim 1 Ton Rendang untuk Korban Bencana di NTT
Dosen sosiologi Universitas Negeri Padang Erianjoni berpendapat, kebiasaan Sumbar mengirim bantuan rendang ini merupakan ekspresi rasa persaudaraan masyarakat Minang. Kebiasaan mengirim rendang ini mulai muncul pascagempa Sumbar 2009 bermagnitudo 7,6. Saat itu, Sumbar banyak menerima bantuan dari daerah lain.
“Bantuan rendang ini simbol persaudaraan orang Minang melalui produk budayanya. Bentuk kedekatan hati masyarakat Sumbar kepada masyarakat terdampak bencana. Seperti inilah balasan terhadap bantuan yang masuk saat Sumbar dilanda gempa tahun 2009,” kata Erianjoni.
Kebiasaan ini, kata Erianjoni, juga berakar dari kebiasaan badoncek (patungan) yang sudah menjadi kearifan lokal masyarakat Minang. Warga secara bersama-sama mengumpulkan uang atau barang untuk membantu saudara atau orang lain yang membutuhkan.
Selain itu, lanjutnya, bantuan rendang dipilih karena tahan lama. Dalam situasi bencana, selain sulit mendapat makanan, para penyintas yang sedang kesakitan dan berduka kadang juga tidak berselera makan. Kelezatan rendang diharapkan bisa menjadi pelipur lara dan penawar lapar saat kesulitan.
“Ini bagian dari kegiatan filantropi budaya Minang dalam meringankan beban dan sekaligus juga menguatkan UMKM di Sumbar, serta memperkuat identitas rendang sebagai ikon budaya Minang yang harus tetap dipertahankan,” ujarnya.
Erianjoni menambahkan, kebiasaan Sumbar mengirim rendang ke daerah terdampak bencana perlu dilestarikan. Kebiasaan ini juga bisa dicontoh daerah lain. Bantuan tidak melulu mesti berupa uang yang kadang tidak tepat sasaran, bisa juga produk budaya, seperti makanan yang bisa dinikmati langsung korban bencana.
“Kebiasaan ini layak menjadi model dalam membantu orang yang sedang kesulitan. Kesannya kita itu hidup bersama, nilai-nilai toleransi makin tinggi,” katanya.