Menyelamatkan Hutan Mangrove di Sumut, Menyejahterakan Nelayan
Nelayan pesisir Deli Serdang pernah menikmati tangkapan kepiting berlimpah dari hutan mangrove lalu merosot tajam setelah mangrove rusak. Nelayan lalu bangkit merehabilitasi mangrove dan kini mulai menyejahterakan mereka
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Nelayan di pesisir Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pernah menikmati hasil tangkapan kepiting dan udang yang berlimpah dari hutan mangrove. Tangkapan mereka lalu merosot tajam setelah mangrove rusak akibat alih fungsi dan penebangan. Nelayan lalu bangkit merehabilitasi mangrove yang kini mulai menyejahterakan mereka lagi.
Miswat (50) baru saja mengambil satu karung bibit tanaman bakau di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Selasa (22/22/2022). Setelah mengumpulkan kepiting bakau tangkapan nelayan, Ketua Kelompok Tani Hutan Pantai Panglima itu menyiapkan media tanam plastik (polybag) untuk menyemai bibit bakau itu.
“Kalau ditanam di polybag sampai agak besar, peluangnya untuk tumbuh di hutan mangrove lebih tinggi. Sudah hampir 10 tahun ini kami tanami kembali hutan mangrove yang sudah rusak,” kata Miswat.
Miswat pun menunjukkan hamparan bekas tambak intensif yang sudah direhabilitasi warga menjadi hutan mengrove. Beberapa tambak dimanfaatkan untuk budidaya kepiting dengan cara silvofishery atau tumpang sari antara hutan mangrove dan tambak.
Kerusakan hutan mangrove di pesisir Deli Serdang, sebagaimana juga terjadi di sepanjang pesisir timur Sumut, mulai terjadi setelah alihfungsi secara masif tahun 2000-an. Menurut Miswat, para pengusaha dari luar membabat tanaman mangrove dan membuat tanggul. Petak-petak tanggul itu pun dimanfaatkan menjadi tambak udang. Padahal, sebagian tambak berada di kawasan hutan.
Di tahun-tahun awal, tambak menghasilkan udangyang banyak sehingga tambak baru bermunculan. Warga pun menjadi pekerja harian lepas dengan upah Rp 50.000 per hari.
“Namun, setelah berjalan beberapa tahun, tambak merugi karena pakan alaminya sudah habis dari bekas hutan mangrove. Para pengusaha itu pun meninggalkan tambak terbengkalai,” kata Miswat.
Di saat yang sama, banyak warga yang menebang pohon di hutan mangrove untuk dijual ke pabrik arang di daerah Medan Belawan. Di sisi lain, ada pula yang menanggul lalu menimbun hutan mangrove untuk menjadi kebun sawit.
Kerusakan mangrove pun membuat kehidupan nelayan pesisir di Deli Serdang terpuruk. Nelayan pesisir adalah mereka yang mencari kepiting dan udang hanya di hutan mangrove, tidak melaut. Mereka umumnya memakai sampan tanpa mesin dengan alat tangkap bubu.
“Sebelum kerusakan hutan mangrove, nelayan pesisir bisa mendapat 20 kilogram kepiting bakau setiap hari. Tangkapan lalu merosot tinggal 1-2 kilogram setelah kerusakan masif,” kata Miswat.
Karena kehidupannya yang terpuruk, Miswat dan nelayan pesisir lainnya pun bertekad memulihkan kembali hutan mangrove. Mereka menyadari, kepiting dan udang hanya bisa berkembang di ekosistem mangrove. Hewan pesisir itu berkembang biak di antara akar tanaman bakau yang membentuk jari-jari.
Para nelayan pun mulai bergerak dengan menjebol tambak dan menanaminya kembali dengan tanaman bakau dan tanaman mangrove jenis lain. Tambak harus dijebol karena ekosistem mangrove bisa tumbuh dika dipengaruhi pasang-surut pesisir.
Miswat pun menunjukkan tanaman bakau yang sudah berumur 10 tahun yang mereka tanam di awal merehabilitasi mangrove. Tanaman itu tumbuh membentuk ekosistem mangrove. Udang dan kepiting pun sudah kembali berkembang biak di hutan itu. Monyet tampak bergelantungan di antara tanaman bakau dan nelayan sibuk mencari kepiting menyusuri hutan mangrove.
Berangsur pulih
Junaidi (62), nelayan pesisir, baru saja pulang menyisir paluh (sungai di antara mangrove) Selasa siang. Ia sibuk mengeluarkan kepiting dari bubu dan mengikat kaki dan capitnya. Ia mendapat 10 kilogram tangkapan dari Senin malam yang bisa ia jual Rp 30.000 per kilogram.
“Sejak hutan tumbuh lagi, tangkapan kami mulai banyak terutama saat pasang besar seperti sekarang,” kata Junaidi.
Nelayan lainnya, Turino (57), yang baru setengah hari mencari kepiting di hutan mangrove pun sudah mendapat lima kilogram yang dia jual sekitar Rp 150.000.
Selain mencari kepiting di hutan mangrove, silvofishery atau empang parit pun cukup berkembang di Tanjung Rejo. Di tengah tambak ditanam atau dibiarkan tumbuh hutan mangrove dan disisakan sekitar 20 persen di sekelilingnya. Di tambak juga dibuatkan pintu air agar mendapat pasang-surut air laut.
Saat pasang, air masuk dari pintu tambak membawa bibit kepiting dan udang. Ketika surut, mereka memasang jaring di pintu dan pada titik tertentu ditutup agar air tidak mengering. Kepiting dan udang hasil tangkapan nelayan yang ukurannya masih kecil juga dimasukkan ke tambak. Mereka sama sekali tidak memberikan pakan tambahan ke dalam tambak.
“Hasil dari tambak empang parit ini pun sangat membantu ekonomi kami. Kami bisa menjual 10 kilogram kepiting per hari dari empang parit ini,” kata Miswat. Menurut dia, anggota kelompok tani hutan mangrove bisa mendapat Rp 3 juta – Rp 5 juta per bulan per keluarga.
Hingga saat ini memang masih banyak bekas tambak intensif yang terbengkalai dan mendesak untuk direhabilitasi. Penebangan hutan mangrove secara illegal pun terkadang masih dijumpai meskipun warga rutin berpatroli. Namun, jumlahnya sudah menurun tajam.
Kendala lainnya yang dihadapi nelayan adalah harga kepiting yang anjlok lebih dari separuh setelah ada larangan ekspor kepiting ukuran kurang dari 12 sentimeter. Mereka berharap pemerintah mempertimbangkan dampak larangan itu kepada nelayan.
Rehabilitasi oleh pemerintah
Selain dilakukan oleh warga pesisir yang hidup dari hutan mangrove, rehabilitasi pun mulai dilakukan pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sejak 2021. “Prinsip rehabilitasi mangrove harus sejalan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kalau tidak, mangrove yang ditanam pasti akan rusak lagi,” kata Kepala BRGM Hartono saat berkunjung ke Desa Tanjung Rejo, Selasa (8/11).
Anggaran yang akan disediakan untuk Sumut lebih dari Rp 150 miliar. Ini tidak hanya untuk penanaman mangrove, tetapi juga untuk pemberdayaan masyarakat.(Hartono)
Hartono mengatakan, luas hutan mangrove yang tersisa di Sumut saat ini 57.490 hektar. BRGM telah menyusun target indikatif percepatan rehabilitasi mangrove di Sumut dengan total 50.674 hektar pada 2021-2024.
Ekosistem mangrove yang ada saat ini pun perlu direhabilitasi karena terdiri dari mangrove jarang dan mangrove sedang. BRGM pun menyebut akan merehabilitasi 7.900 hektar hutan mangrove pada 2023 dan 2024.
”Anggaran yang akan disediakan untuk Sumut lebih dari Rp 150 miliar. Ini tidak hanya untuk penanaman mangrove, tetapi juga untuk pemberdayaan masyarakat,” katanya.