Jauhkan Santri dari Praktik Kekerasan di Pondok Pesantren
Insiden tewasnya santri akibat penganiayaan terjadi dalam waktu yang berdekatan. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pengawasan pengurus ponpes terhadap santri.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·2 menit baca
SRAGEN, KOMPAS — Kejadian tewasnya beberapa santri setelah dianiaya seniornya dinilai sebagai bentuk lemahnya pengawasan di pondok pesantren. Bila tidak menjauhkan santri dari praktik kekerasan, hal serupa rentan terjadi lagi.
Setidaknya dua insiden terjadi dalam seminggu terakhir. Di Sragen, Jawa Tengah, Daffa Washif Waluyo (15), warga Ngawi, Jawa Timur, tewas setelah dianiaya seniornya, Sabtu (19/11/2022) malam. Korban dituduh tidak melakukan piket kamar.
DVN (15), warga Kuningan, Jawa Barat, juga tewas setelah diduga dianiaya seniornya, Minggu (20/11/2022) malam. Pemicunya diperkirakan berawal dari perselisihan antarsantri.
Pengajar di Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta Munadi mengatakan, hukuman yang melibatkan kekerasan fisik seharusnya dilarang. Dia yakin, semua ponpes sudah menerapkan hal tersebut.
Akan tetapi, ia menyoroti pentingnya pengawasan terkait larangan itu. Insiden yang belakangan terjadi diduga kuat akibat minimnya pengawasan pengurus ponpes.
”Persoalannya, bagaimana kontrol ke bawahnya ditingkatkan. Ini untuk mengawasi pelaksanaan bentuk-bentuk hukuman,” kata Munadi, saat dihubungi, Kamis (24/11/2022).
Munadi mengingatkan, hal itu bakal menemukan tantangan. Biasanya, akan muncul semacam solidaritas santri yang rentan menyembunyikan kekerasan di ponpes. Solidaritas tumbuh kuat di antara santri karena usia tidak jauh berbeda dan terbiasa beraktivitas bersama-sama.
Munadi menjelaskan, peningkatan pengawasan terhadap para santri bisa dilakukan dengan menambah jumlah pengasuh yang ada pada satu pondok pesantren. Bila rasio pengawas lebih sedikit ketimbang santri, pengawasannya tidak akan berjalan efektif.
Selain itu, sosialisasi juga perlu dilakukan secara intens agar para santri menghindari praktik kekerasan. Hukuman sebaiknya diarahkan pada kegiatan yang lebih mendidik, seperti menambah jumlah hafalan bacaan kitab suci Al Quran.
Hukuman-hukuman yang diberlakukan selama ini juga tidak pernah berbentuk kekerasan. Para santri hanya diminta menghafal kitab suci atau sekadar membersihkan kamar mandi.
Mochammad Wazir Tawam, anggota Forum Masyayikh (sesepuh) Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta, prihatin atas kejadian yang menewaskan Daffa. Pihaknya sama sekali tak membenarkan tindak kekerasan yang terjadi.
Lebih lanjut, Wazir menyatakan, pihaknya akan mengevaluasi mekanisme pengawasan pondok pesantren. Dalam waktu dekat, pihaknya mengirim sejumlah ustaz untuk menjadi pengawas pondok.
Selama ini, pengawasan kegiatan santri dilakukan oleh para santri senior yang tergabung dalam Organisasi Santri Ta’mirul Islam (OSTI), yang setingkat dengan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di sekolah umum. Kini, OSTI dibekukan setelah adanya insiden tersebut.
”Yang pelaku sudah kami kembalikan ke keluarganya atau dikeluarkan (dari pondok). Ada dua orang (santri senior) lain yang ikut menyidang adik-adik juga kami karantina. Ini biar adik-adik santri tidak trauma,” kata Wazir.