Asa Sukses Petani Manggarai Menapakkan Kembali Kaki Leluhur di Lingko Lolok
Dua petani, kakak beradik di Manggarai Timur, berjuang mempertahankan tanah adat sampai menang di Mahkamah Agung. Putusan MA mencabut Surat Keputusan Gubernur NTT dan SK Bupati Manggarai untuk penguasaan lahan itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·7 menit baca
KORNELIS KEWA AMA
Plang bertuliskan Tanah Milik Pemprov NTT di dalam kawasan Hutan Pubabu, yang sebelumnya sebagai tanah adat milik suku Pubabu, Timor Tengah Selatan. Pemprov mengambil alih lahan ini dengan alasan mengelola lahan itu demi kesejahteraan masyarakat setempat, Senin (24/8/2020). Namun, sampai hari ini kawasan itu pun belum digarap sesuai tujuan semula.
Perjuangan dua petani kakak beradik di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, untuk mengambil kembali tanah warisan leluhur mereka akhirnya sukses. Mahkamah Agung memenangkan gugatan mereka meski kedua jenjang Pengadilan Tata Usaha Negara sebelumnya menolak. Surat Keputusan Gubernur NTT dan Surat Keputusan Bupati Manggarai Timur untuk menguasai lahan seluas 11,50 hektar itu pun diperintahkan dicabut. Sebanyak 89 keluarga yang tinggal di sana bisa kembali hidup nyaman seperti semula.
Suaranya berserakpenuh semangat saat berbicara melalui saluran telepon dari Kampung Lingko Lolok Desa Satar Punda, salah satu desa terpencil di Manggarai Timur, Rabu (23/11/2022). Isfridus Sota(54) dan saudaranya, Bonefasius Yudent (58), dua petani miskin dari Kampung Lingko Lolok patut menjadi contoh perjuangan hidup kaum tani dalam mempertahankan tanah ulayat, warisan leluhur dari genggaman penguasa dan atas nama kesejahteraan rakyat.
”Jangan mengalah. Kalau kita punya bukti kuat, terus berjuang. Masih banyak orang di sekitar yang ingin membantu. Kami orang miskin. Tidak mampu bayar pengacara dan membeli tiket pesawat ke Jakarta, tetapi Tuhan beri jalan buat kami demi sebuah kebenaran dan keadilan. Ada orang bekerja tulus membantu kami,” tutur Sota.
Lahan Lingko Lolok, seluas hampir 11,50 hektar, membentang dari kawasan perbukitan sampai pesisir. Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat ingin menguasai lahan itu untuk menambang batu gamping di wilayah perbukitan dan pesisir, di samping pembangunan pabrik semen di wilayah pesisir. Lahan dikuasai PT Istindo Mitra Manggarai (IMM) selaku investor.
Foto dokumentasi Isfridus Sota ini menunjukkan Mbaru Gedang (rumah adat) Kampung Lingko Lolok, Manggarai Timur. Jika petani tidak menggugat sampai ke Mahkamah Agung, rumah adat warisan leluhur ini pun bakal digusur pemodal untuk tambang dan pabrik semen.
Lingko adalah sebidang tanah milik bersama, tanah adat. Tanah ini harusnyadibagikan kepada masing-masing anggota suku. Cara pembagiannya ditarik tali dari titik pusat lahan ke arah pinggir, berbentuk jaring laba-laba.
”Lingko ini warisan nenek moyang turun-temurun,” kata Sota.
Di sana adapotensi batu gamping dan marmer. Marmer ini pernah ditambang PT IMM, tahun 1995-1997. Batu gamping belum ditambang. Batu gamping ini sedianya akan dimanfaatkan sebagai bahan baku pabrik semen. Menurut rencana, pabrik semen terletakdi Kampung Luwuk, bersebelahan dengan Lingko Lolok, keduanya di Desa Satar Punda.
Pihakperusahaanmembutuhkan sekitar 500 ha. PT IMM menginginkan juga lahan lain yang ada di gunung-gunung dekat Lingko Lolok dan Luwuk.
Pemprov NTT dan Pemkab Manggarai Barat lantas menerbitkan surat keputusan terkait penguasaan lahan itu untuk diberikan konsesi kepada pihak perusahaan. Keputusan itu pun digugat Sota dan Yudent.
Kedua petani miskin itu menggugatKepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi NTT.Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Kabupaten Manggarai Timur sebagai tergugat dua,dan PT IMM sebagai tergugat tiga. Gugatan dilayangkan pada Juli 2021 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang. Putusan PTUN Kupang, 11 November 2021, menolak permohonan kedua petani.
Sawah berbentuk jaring laba-laba di Desa Cancar, Kecamatan Cancar, Manggarai, Agustus 2018.
Kakak beradik ini tidak patah arang. Melalui pengacara, mereka melanjutkan gugatan ke PTUN Surabaya, November 2021. Putusan PTUN Surabaya, 2 Maret 2022, juga menguatkan putusan PTUN Kupang. Permohonan kedua petani tetap ditolak.
”Uang tidak ada. Kami sudah putus asa, mau berhenti. Namun, berkat dorongan dan dukungan pengacara dan JPIC Manggarai, akhirnya perkara ini terus dibawa ke MA,” kata Sota.
Gugatan kasasi pun dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA), Agustus 2022. Pada Jumat (11/11/2022), putusan kasasi MA mengabulkan permohonan kedua petani. Putusan MA itu menggugurkan dua jenjang putusan PTUN sebelumnya, yakni Kupang dan Surabaya.
Kedua petani ini menang. Mereka pula menyelamatkan lebih dari 445 jiwa atau 89 keluarga dari Kampung Lingko Lolok dan Kampung Luwuk yang telah menerima uang ganti rugi dari pengusaha, kecuali Sota dan Yudent. Setiap keluarga mendapat Rp 21 juta sebagai uang relokasi dan ganti tanaman. Menurut rencana, pemda dan IMM merelokasi warga dua kampung ini keluar dari kawasan.
Aksi demo mahasiswa dan masyarakat Manggarai Timur terhadap Gubernur NTT Viktor Laiskodat, Jumat (24/6/2020), saat tiba di Reo, Manggarai Timur. Massa mendesak gubernur menghentikan rencana penambangan batu gamping dan pembangunan pabrik semen di Lingko Lolok dan Luwuk, Satar Punda, Manggarai Timur.
Warisan leluhur
Bagi Sota dan Yudent, uang bukan segala-galanya. ”Warisan leluhur dengan kuburan, rumah adat, air, batu, dan pepohonan peninggalan orangtua, itu yang kami perjuangkan. Uang bisa dicari melalui usaha lain di atas tanah warisan ini,” kata Sota.
Ayah lima anak dan dua cucu ini khawatir nasib masa depan cucu-cucu dan cicitnya di kemudian hari. Jika 23 lingko(bidang tanah) itu diberikan kepada pemda dan pengusaha,mereka bakal kesulitan mencari nafkah.
”Kami lahir sebagai petani. Kalau tanah dijual atau diambil oleh pemerintah, kami hidup dari mana. Tambang sama sekali tidak memberi keuntungan apa-apa bagi petani, pemilik lahan, kecuali kerugian akibat kerusakan lingkungan yang berkepanjangan,” tuturnya.
Sota sendiri sebelumnya, pada 1997, bekerja sebagai karyawan di PT IMM, dengan upah Rp 2.500 per hari,tetapi saat itu masih bernama PT Istindo Mitra Perdana. Saat itu, IMPmengelola tambang marmer di tiga lingko, yakni Ulung Serise, Bahor Bani, danLingko Batulangsi.
Upacara sumpah adat digelar tokoh adat suku Witihama, Adonara, Sabtu (2/5). Adat "Bau Lolon" ini biasa diselenggarakan untuk memastikan kepemilikan sah sebidang tanah yang diklaim dua pihak. Tampak seorang tokoh adat sedang meneguk minuman lokal, arak, sebagai tanda memohon kehadiran leluhur untuk memberi petunjuk mengenai kepemilikan sah atas lahan itu.
Pria yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas tiga sekolah dasar ini mengaku menyaksikan penghancuran bukit, sumber-sumber air, dan batu-batuan saat itu. ”Hati saya menangis melihat proses perusakan itu. Saat itu, saya berjanji tidak memberi peluang kepada perusahaan mana pun mengelola tambang lagi,” kata Sota.
Kerusakan itu pun masih bertahan sampai hari ini. Setelah eksplorasi tambang, mereka tidak melakukan kewajiban rehabilitasi lingkungan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 20210 tentang Reklamasi dan Rehabilitas Lahan Pascatambang. Perusahaan ini telah mengabaikan semua kewajiban pascatambang terkait lingkungan sekitar.
”Terdapat lubang mengangadi mana-mana, dengan kubangan air sampai kedalaman lebih dari 5 meter. Lubang ini berjajar dari ujung ke ujung lokasi tambang. Petani tidak bisa lagi mengelola lahan itu. Nah, sekarang mereka mau garap lagi di lokasi semula dan di tempat lain. Kami tidak punya hak hidup di tanah air kami sendiri,” papar Sota.
Selama 25 tahun beroperasi, kawasan hutan rusak sehingga debit air ke areal sawah menurun drastis dan sumber air yang menyediakan air baku bagi warga kampung pun mongering. Terjadi erosi dan sedimentasi di dataran rendah. Kawasan yang hendak dibangun tambang batu gamping merupakan daerah karts, penyedia sumber air baku bagi warga.
Para tetua adat duduk melinggar mengelilingi Tubuh Musuh, batu yang diyakini tempat tinggal leluhur, sambil membawakan doa-doa adat memohon kemunculan air dari Danau Ata Bupu, yang telah mengering selama setahun. Air danau itu telah muncul kembali sehari setelah ritual adat Pati Ka digelar.
Satu lingko menghasilkan padi gogo sebanyak 10 ton untuk kebutuhan makanan bagi tujuh orang anggota keluarga selama 1 tahun dan 8 ton dijual setelah digiling menjadi beras. Ini belum termasuk tanaman lain, seperti pisang, jagung, umbi-umbian, keladi, dan kacang-kacangan.
Pengacarapetani, Valentinus Dulmin, mengatakan, izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan itu meliputi wilayah pertanian lahan kering dan daerah karst, penyedia air yang dilindungi. Dalam dokumen amdal, pihak perusahaan juga mengakui bahwa aktivitas mereka akan berdampak pada keberadaan karst itu.
”Kuantitas air berperan penting bagi kehidupan sehari-hari dan aspek sosial ataupun ekonomi. Penambangan di perbukitan karst dikhawatirkan merusak fungsi karts dan daya serap air hujan ke dalam tanah menjadi berkurang,” kata Valens.
Keputusan menerbitkan IUP produksi dilakukan tanpa koordinasi dan tinjauan lapangan, yang artinya melanggar asas-asas pemerintahan yang baik. Warga pun terpecah karena perbedaan pilihan, yakni satu kelompok menolak tambang dan pabrik, sedangkan yang lain menerima. Secara sosial budaya, mereka terpecah.
Inilah sebagian kawasan Kampung Lingko Lolok, Desa Satar Punda Manggarai Timur, NTT, yang bakal dijadikan tambang batu gamping dan pabrik semen.
Koordinator JPIC Manggarai, P Simon Tukan SVD, mengatakan, JPIC dan tim pengacara merasa lega atas putusan MA itu. ”Kami terus pantau agar perintah MA itu segera dilaksanakan Pemda NTT dan Pemda Manggarai Timur. Mereka jangan biarkan putusan itu bergantung. Kalau mereka masa bodoh pun, masyarakat anggap putusan MA itu sudah sah dan mengikat,” kata Simon.
Simon mengajak para petani yang tanahnya diambil pemerintah semena-mena atas nama pembangunan berjuang mempertahankannya. ”Kawasan tanah adat di Besipae, Timor Tengah Selatan, dan di Sumba Timur diambil pemda dengan alasan pembangunan kesejahteraan, masyarakat sendiri harus berjuang mengembalikan itu,” tuturnya.
Bonefasius Yudent, kakak kandung Sota, mengaku lega dengan keputusan MA itu. Keadilan telah berpihak kepada orang kecil seperti mereka. Kini, mereka hidup lebih nyaman dari sebelumnya.”Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Doa kami orang kecil didengarkan Tuhan. Kuburan leluhur kami tidak dibongkar alat berat. Kami mengembalikan harga diri leluhur dan masa depan anak cucu ke posisi semula,” kata Yudent.