Berita-berita bohong rentan membuat sukarelawan dan penyintas gempa Cianjur patah semangat. Bila dibiarkan, hal itu tak hanya mengganggu pencarian, tapi juga merusak pikiran penyintas yang tengah terluka.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, AGUIDO ADRI, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, Z02
·4 menit baca
Selama kurang lebih 40 jam meringkuk di antara celah sempit reruntuhan rumahnya, Azka (6), bocah Kampung Rawacina, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, Jawa Barat, bernapas lega, Rabu (23/11/2022), pukul 10.41.
Tangan Cucu Rusman (60), salah satu sukarelawan, mengangkatnya. Meski lemas, tidak terlihat luka fisik parah di tubuh Azka. Semua membuktikan usaha mulia tidak akan pernah sia-sia.
Cucu menjelaskan, Azka berada di celah reruntuhan sekitar 1 meter dari puncak puing-puing teratas saat ditemukan. Saat itu dia ada di Kasur. Reruntuhan rumah urang menimpanya. Puing-puing itu tertahan lemari dan tembok di sekitarnya.
”Perasaan yang tidak bisa saya gambarkan. Dia mengulurkan tangannya tanpa suara. Itu anugerah hidup luar biasa karena anak ini bertahan puluhan jam tanpa makan dan minum,” ujar Cucu.
Suara Cucu bergetar saat menceritakan kisah itu. Air matanya menetes haru. Nyawa Azka semakin menyakinkan dia, menjadi sukarelawan untuk orang yang membutuhkan adalah hal mulia.
Datang dari rumahnya di Tanjungsari, Sumedang, Jabar, pada Selasa (22/11), Nagrak adalah lokasi pertama dia sambangi. Ia mendapat informasi, ada beberapa warga yang belum ditemukan, termasuk Azka bersama ibu dan neneknya. ”Setiap hari kami panggil namanya, tapi tidak ada yang menyahut,” katanya.
Titik terang saat Cucu mencium seperti bau urine di antara reruntuhan rumah Azka. Dari sana, ia dan kawan-kawan mulai menggali dan menemukan tubuh kecil meringkuk di sana. Ibu dan nenek Azka juga ditemukan. Namun, keduanya sudah tidak bernyawa.
”Masalah hidup-mati itu tidak ada yang tahu. Namun, kami tetap percaya ada harapan hidup di setiap kondisi bencana yang berhadapan dengan maut,” ujarnya.
Cucu tidak main-main saat menyampaikan itu. Hanya diberi waktu sejenak merasakan kegembiraan menemukan Azka, alam kembali menguji para sukarelawan. Guncangan gempa berkekuatan yang belakangan diketahui M 3,9 muncul tanpa aba-aba.
Tidak hanya gempa susulan yang bikin cemas. Longsor juga rawan terjadi. Kini, potensinya bertambah besar karena Cianjur kembali diguyur hujan. Namun, sukarelawan paham alam tidak bisa dilawan.
”Lain lagi dengan dampak buatan manusia. Harus dilawan dan bisa dicegah,” kata Vigo (21), sukarelawan lain asal Kabupaten Bogor.
Kabar bohong
Vigo merujuk pada kabar bohong yang mulai bermunculan dalam tiga hari terakhir. Selain tulisan tentang pergerakan Sesar Cimandiri di Sukabumi selama seminggu ke depan, juga ada rekaman suara tentang erupsi Gunung Gede, hingga pergerakan lempeng ke Waduk Cirata, Purwakarta.
”Berita-berita bohong seperti ini rentan membuat kami patah semangat. Bahkan, pencarian kami selama ini jadi terasa tidak dihargai saat publik lebih fokus ke berita yang tidak jelas kebenarannya,” ujar Vigo. Bila itu dibiarkan, tidak hanya mengganggu pencarian, tetapi juga merusak pikiran para penyintas.
Kepala Stasiun Geofisika Bandung Teguh Rahayu mengatakan, semua kabar itu tidak benar. Sejauh ini tidak ada teknologi yang memprediksikan gempa dengan akurat. Status Gunung Gede juga masih normal, jauh dari erupsi. Masyarakat diminta tetap tenang dan tidak terpengaruh isu itu.
”Yang harus warga perhatikan adalah menghindari bangunan retak atau rusak akibat gempa. Pastikan rumah tidak rusak sebelum kembali ditempati,” katanya.
Macet
Selain kabar bohong, arus lalu lintas di sekitar kawasan bencana juga kerap terhambat. Saat ini mulai muncul masyarakat yang datang membawa kendaraan bermotor untuk sekadar menonton lokasi bencana.
”Sudah mulai ramai tim rekreasi cepat dan tim wisata bencana,” kata salah seorang sukarelawan bekelakar.
Sejauh ini, kemacetan itu sangat berdampak pada kondisi kesehatan para penyintas. Didimus, dokter asal Jakarta, yang spontan datang ke Cianjur bersama tiga rekannya untuk memberikan layanan kesehatan, merasakan sulitnya menjangkau daerah terdampak.
”Karena macet, kami tertahan lama di jalan,” ujar Didimus sembari menjahit luka robek salah satu warga Kebon Kawung, Desa Gasol, Cugenang.
Padahal, Yunus, dokter lainnya, mengatakan, banyak penyintas membutuhkan pelayanan kesehatan. ”Banyak warga terluka robek dan belum tertangani. Kalau ada pun hanya pengobatan seadanya,” kata Yunus, dokter lainnya, yang tetap berencana mendatangi kampung yang membutuhkan pertolongan medis untuk beberapa hari ke depan.
Anggota Komunitas Persaudaraan Pekerja Truk Indonesia (PPTI) Nusantara yang datang dari Ciledug, Banten, juga berjibaku dengan kemacetan. Empat orang menjadi sukarelawan sopir ambulans. Tugasnya membawa jenazah dari RSUD Sayang Cianjur untuk dimakamkan. Dalam sehari dia dan kawan-kawannya mengantarkan kurang lebih enam jenazah.
”Ini misi kemanusiaan, kami akan membantu sampai selesai penanganan korban gempa. Nanti, personel akan bergantian setiap minggu. Selama dibutuhkan, kami siap,” kata Sekretaris PPTI Nusantara Nandang Sunandar
Bencana alam bisa datang kapan saja. Dampak ikutan alamiah yang sering kali tidak mudah ditebak juga wajar terjadi setelahnya. Hanya menambah beban dan penyintas yang berjibaku dengan tugas mulia jelas bukan tindakan bijaksana.