Remaja Perempuan 14 Tahun Dianiaya di Minahasa Utara, Penanganan Kasus Lamban
Pemerintah kabupaten dan Kepolisan Resor Minahasa Utara dinilai lamban dalam menangani penganiayaan terhadap seorang anak perempuan AR (14). Tujuh tersangka baru ditetapkan lebih dari sebulan setelah laporan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah kabupaten dan Kepolisan Resor Minahasa Utara, Sulawesi Utara, dinilai lamban dalam menangani penganiayaan terhadap seorang anak perempuan AR (14). Tujuh tersangka baru ditetapkan lebih dari sebulan setelah laporan diterima kepolisian, sedangkan korban belum mendapatkan pendampingan psikologis intensif.
Jean Maengkom, advokat yang juga aktivis Gerakan Perempuan Sulut (GPS), mengatakan, ibu AR telah melaporkan penganiayaan terhadap anaknya pada 14 Oktober 2022. Namun, pemeriksaan baru dilaksanakan pada pekan kedua November.
”Satu bulan tidak direspons oleh kepolisian. Nanti setelah kami persoalkan, kami kampanyekan lagi di media sosial sampai viral, baru polisi mengambil BAP (berita acara pemeriksaan),” kata Jean ketika dihubungi dari Manado, Rabu (23/11/2022).
Kepolisian kemudian menetapkan tujuh tersangka pada Sabtu (19/11). Dua di antaranya laki-laki dewasa, yaitu SAW (55) dan PN (42), tiga perempuan, yakni SCW (57), TW (23), RW (19), serta dua anak perempuan, TR (16) dan QK (14).
Penganiayaan terhadap AR terjadi pada 13 Oktober. AR, yang menumpang tinggal di halaman rumah SAW bersama ibunya karena keterbatasan ekonomi, dituduh berupaya mencuri ponsel yang ada di dalam rumah. SAW yang melihatnya, langsung memukul AR dengan tangan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Minahasa Utara Ajun Komisaris Yulianus Samberi mengatakan, enam pelaku lain kemudian ikut serta menganiaya AR. Dalam video yang viral di media sosial, para pelaku mengikat tangannya dengan tali rafia, lalu mendudukkannya di lantai.
Dengan tega, dua orang memangkas habis rambut AR secara serampangan dengan gunting, sedangkan dua lainnya merekam dengan ponsel. Mereka juga menghujaninya dengan caci maki, sementara AR hanya bisa menangis. Jari-jarinya juga sempat ditumbuk dengan kayu ulekan.
Setelah digunduli, AR dibawa ke halaman rumah. Seorang pelaku laki-laki masih sempat memukul wajah anak remaja itu dengan sapu lidi, menendang, dan memukulnya. ”Mereka juga membuatkan papan dada bertuliskan ”Saya AR sudah mencuri,” lalu mengalungkannya pada AR yang kini tangannya telah terikat di belakang.
Dalam keadaan seperti itu, AR kemudian diarak berkeliling kampung. Pelaku berinisial QK terlihat berjalan di belakangnya sambil memegangi seutas tali yang tersambung pada lilitan di pergelangan tangan AR, seperti menuntun hewan peliharaan. Semua warga di perjalanan sepanjang 1 kilometer hanya menonton, kecuali seorang ibu.
”Dia diikuti dari belakang oleh tersangka RW, TW, dan TR yang naik sepeda motor. Seorang warga perempuan sempat mencoba menghentikan kejadian itu, tetapi gagal. Akhirnya korban diamankan oleh anggota polisi yang kebetulan melintas di tempat kejadian,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast.
Ketujuh tersangka diduga melanggar Pasal 80 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang mengatur perlindungan anak serta Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mereka diancam tiga tahun enam bulan penjara. ”Karena ancaman kurang dari lima tahun, mereka tidak ditahan, hanya wajib lapor,” kata Yulianus.
Kendati lambat, Jean akhirnya tetap mengapresiasi kerja kepolisian. Apalagi, kepolisian akhirnya menetapkan tujuh pelaku meskipun GPS hanya melaporkan enam. Menurut dia, yang terpenting bagi GPS saat ini adalah berjalannya proses hukum.
Pendampingan psikologis
Setelah kejadian, AR dan ibunya yang penyandang disabilitas diusir dari rumah. Mereka kemudian tinggal di rumah bibi AR di Tomohon. Belakangan, AR yang tak lagi bersekolah pindah ke rumah kekasihnya di Bitung.
Jean mengatakan, keadaan AR saat ini cenderung stabil. ”Tetapi, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Saat pertama kali kami datang untung menawarkan pendampingan hukum, dia kelihatan sangat takut ketemu orang. Kami harus hati-hati dan mendekati dengan lemah lembut, sampai akhirnya dia mau bicara dengan kami,” ujarnya.
Kendati begitu, Jean mengakui GPS belum bisa memberikan pendampingan psikologis. Sekalipun GPS terdiri dari 21 lembaga yang bergerak di bidang perlindungan perempuan, belum ada psikolog yang bisa diturunkan untuk mendampingi AR secara intensif.
Hal ini seharusnya menjadi tugas Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Minahasa Utara. ”Tetapi, berdasarkan dokumen yang kami dapat, DP3A hanya melaporkan kepada bupati bahwa mereka menerima pengaduan, tetapi belum ada pendampingan. Seharusnya mereka proaktif,” katanya.
Kepala DP3A Minahas Utara, Hanny Tambani, mengatakan pihaknya telah mengirim psikolog untuk menemui AR. Menurut rencana, AR akan dirujuk ke rumah singgah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Sulut karena di Minahasa Utara belum ada rumah singgah.
”Tetapi, keluarga belum bersedia karena katanya korban masih trauma. Terakhir, kami dengar korban sudah di Bitung. Keadaannya sudah lumayan, lebih baik daripada pertama kali setelah kejadian,” katanya.
Sampai sekarang belum ada peraturan daerah apa pun di Sulut, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang spesifik untuk melindungi perempuan dan anak. Artinya, isu perlindungan perempuan dan anak belum menjadi prioritas.
Nurhasanah, aktivis perlindungan perempuan dan anak dari Swara Parampuang, yang juga tergabung dalam GPS, mendesak DP3A Minahasa Utara untuk tidak menerima penolakan keluarga AR begitu saja. Buktinya, ketika GPS datang, keluarga AR mau menerima dengan baik dan kooperatif.
”Sampai sekarang belum ada peraturan daerah apa pun di Sulut, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang spesifik untuk melindungi perempuan dan anak. Artinya, isu perlindungan perempuan dan anak belum menjadi prioritas. Nyatanya, banyak kasus harus viral dulu, baru ditangani,” kata Nurhasanah.
Menurut Nurhasanah dan Jean, kasus ini adalah pelanggaran hak asasi anak. GPS berharap proses hukum terus berjalan sekalipun kini para tersangka dilaporkan hampir setiap hari mendatangi rumah ibu AR di Tomohon dan mendesaknya menandatangani surat pernyataan mencabut laporan.
”Kami ingin mereka dihukum supaya ada efek jera. Tidak bisa kita main hakim sendiri terhadap orang lain hanya karena mereka tidak mampu, tidak berpendidikan, dan difabel. Ini juga harus jadi pelajaran untuk masyarakat yang hanya menonton saat AR diarak,” kata Jean.