Inisiatif Ekonomi Hijau di Kalimantan Berperan dalam Pembangunan Berkelanjutan
Inisiatif ekonomi hijau yang telah dijalankan belum berdampak pada penurunan angka tengkes dan belum mengubah kondisi warga yang tinggal di lingkungan kumuh.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Inisiatif masyarakat, perusahaan, dan pemerintah daerah di Kalimantan punya peran dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini bisa dioptimalkan dengan perencanaan yang matang dari pemerintah daerah dan penguatan kolaborasi lintas sektor.
Hal tersebut merupakan hasil beberapa kajian yang dipaparkan sejumlah peneliti Badan Pusat Statistik (BPS) serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (23/11/2022). Kajian kolaboratif itu menelaah secara kualitatif pembangunan ekonomi hijau dan kondisi sosial demografi penduduk Indonesia.
Di region Kalimantan, kajian tersebut menunjukkan adanya inisiatif dari swasta, warga, ataupun pemerintah daerah dalam menjalankan ekonomi hijau. Di Kota Balikpapan, misalnya, Unit Pelaksana Teknis Daerah Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Manggar mengolah sampah menjadi energi.
Upaya itu dilakukan melalui kerja sama dengan PT Abadan International. TPAS di sana mengelola gas metan sampah yang dialirkan ke rumah warga. Warga menggunakan gas tersebut sebagai bahan bakar kompor.
”Diharapkan melalui diseminasi ini ada dialog. Tidak hanya peneliti yang melakukan penelitian, tetapi juga ada masukan dari berbagai pihak, seperti pemangku kepentingan setempat dan masyarakat dalam memperkuat etos kerjanya,” ujar Kepala Pusat Riset Politik BRIN Athiqah Nur Alami.
Sekretaris Daerah Kaltim Sri Wahyuni mengatakan, pihaknya berkomitmen menjadikan ekonomi hijau sebagai bagian program pembangunan daerah. Melalui kajian tersebut, kata Sri, Pemprov Kaltim bakal menggunakannya untuk penyusunan rencana pembangunan daerah 2024-2025.
Sebelumnya, Kaltim telah menerima 20,9 juta dollar AS atau setara Rp 320 miliar dari Bank Dunia. Dana itu diberikan karena Kaltim dinilai sudah mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 22 juta ton setara karbon dioksida dalam Program Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan atau Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF).
Keberhasilan itu, kata Sri, berkat sejumlah langkah yang dilakukan sejak 2010. Berbagai peraturan dibuat untuk menguatkan pembangunan berwawasan lingkungan. Selain itu, peraturan tersebut diimplementasikan melalui berbagai program pembangunan yang ramah lingkungan, baik oleh pemerintah daerah maupun perusahaan yang beroperasi di Kaltim.
Kendati demikian, masih ada sejumlah catatan dari kajian tersebut. Salah satunya, inisiatif ekonomi hijau yang telah dijalankan belum berdampak pada penurunan angka tengkes dan belum mengubah kondisi warga yang tinggal di lingkungan kumuh. Hal itu menjadi tantangan pemerintah untuk juga mengembangkan inisiatif warga yang sudah dijalankan supaya berdampak terhadap ekonomi dan kesehatan.
”Hasil diseminasi kali ini, kita juga perlu melakukan penajaman bahwa masyarakat juga harus terlibat dalam penyusunan kebijakan yang berbasis pada ekonomi hijau,” kata Sri.
Kajian kolaboratif ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah di Kalimantan untuk mengantisipasi migrasi orang dalam jumlah besar saat pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Adanya perpindahan orang dalam jumlah besar akan berdampak terhadap pemenuhan energi dan kebutuhan pangan.
Kaltim telah menerima 20,9 juta dollar AS atau setara Rp 320 miliar dari Bank Dunia. Dana itu diberikan karena Kaltim dinilai sudah mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 22 juta ton setara karbon dioksida dalam Program Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan atau Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF).
Hal ini, lanjut Athiqah, bisa diantisipasi dengan menjalankan praktik ekonomi hijau. ”Jadi, tetap memastikan bahwa apa yang kita lakukan, dengan perubahan-perubahan pembangunan IKN, itu akan tetap membuat pembangunan berkelanjutan di wilayah ini tetap terjaga,” ujarnya.