Dairi Prima Mineral Sosialisasi Perubahan Amdal, Petani Terancam Keberadaan Tambang
PT Dairi Prima Mineral menyosialisasikan adendum amdal yang disetujui KLHK. Tambang seng dan timah hitam di Dairi itu mengubah lokasi lubang tambang, gudang peledak, dan bendungan limbah.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
SIDIKALANG, KOMPAS — Manajemen PT Dairi Prima Mineral menyosialisasikan adendum atau perubahan analisis mengenai dampak lingkungan yang sudah disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perusahaan tambang seng dan timah hitam di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, itu mengubah lokasi lubang tambang, gudang bahan peledak, dan bendungan limbah dalam analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal.
Sosialisasi secara daring dilakukan di Dairi, Rabu (23/11/2022), itu sempat ricuh karena warga peserta sosialisasi mempertanyakan ketakutan mereka atas dampak buruk pertambangan. Namun, petugas membawa keluar warga tersebut. Di luar tempat sosialisasi, warga pun melakukan unjuk rasa.
Konsultan Eksternal PT Dairi Prima Mineral (DPM) Syahrial Suandi mengatakan, perubahan amdal PT DPM disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan (KLHK) sejak Agustus 2022. Mereka mengajukan perubahan atas amdal yang sudah pernah diterbitkan pada 2005.
Syahrial menjelaskan, gudang bahan peledak akan dibangun lebih jauh dari permukiman masyarakat dan infrastruktur tambang menjadi 827 meter dari permukiman terdekat. Selain itu, gudang dipindahkan ke cekungan yang mempunyai tanggul alam.
Syahrial menyebut, gudang akan memanfaatkan perkebunan masyarakat dan kawasan hutan lindung yang sudah mendapat persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH) dari KLHK. ”Tanggul alam akan meminimalisir risiko apabila terjadi kecelakaan kerja,” katanya.
Sementara itu, bendungan limbah tambang (tailing storage facility/TSF) pun akan dipindahkan untuk mendapatkan cekungan alam yang lebih aman. Syahrial menyebut, pemindahan itu juga untuk mengurangi dampak pada hutan lindung.
Pembangunan TSF juga akan memperhatikan risiko gempa dengan melihat kekuatan gempa di Dairi 200 tahun terakhir,” ucapnya.
Sementara lubang tambang bawah tanah (underground portal) pun dipindahkan ke kaki lereng untuk mengurangi risiko longsor.
Setelah sempat berhenti karena penolakan masyarakat, Syahrial mengatakan, aktivitas pertambangan akan berjalan dan konstruksi direncanakan pada Juni 2023 berupa pembangunan pabrik, infrastruktur, bendungan, dan terowongan. ”Kami targetkan sudah mulai produksi pada Juni 2025,” kata Syahrial.
Aspirasi warga
Syahrial mengatakan, mereka akan melakukan masa produksi pertambangan selama 8 tahun dan akan mengajukan perpanjangan jika menemukan cadangan. Menurut dia, perusahaan sudah berinvestasi sekitar 200 juta dollar AS (sekitar Rp 3 triliun). Ia juga mengklaim, aktivitas pertambangan akan memberikan pendapatan asli daerah untuk Pemkab Dairi minimal Rp 46 miliar per tahun.
Soal penolakan warga, Syahrial menyebut perusahaan tetap mendengarkan semua aspirasi warga, baik yang menolak maupun menerima tambang. Ia juga menyebut tidak bisa memberikan dokumen amdal karena tebalnya 2.000 halaman. Untuk salinan datanya, warga diminta untuk meminta langsung ke KLHK.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Dairi Sabam Sibarani mendukung penuh aktivitas pertambangan meskipun ada penolakan warga. Ia mengaku sudah bertemu dengan presiden direktur perusahaan pemilik saham pengendali PT DPM dari China.
Namun, ia menyebut tidak mengetahui masalah teknis keamanan dan dampak buruk bagi warga. ”Saya dukung penuh pertambangan ini. Pokoknya, kalau masalah teknis, saya tidak tahu,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Dairi Amper Nainggolan mengatakan, ”Kalau kami dari pemerintah daerah, yang kami lihat dampak positifnya. Kalau dampak negatifnya, kami tidak mau lihat.”
Saudur Sitorus (60), warga Desa Bonian, mengatakan, mereka sangat senang karena DPM akhirnya melakukan sosialisasi setelah selama ini selalu tertutup. Ia pun mempertanyakan tentang dampak buruk dari pertambangan itu. ”Kami sangat dekat dengan pertambangan dan kami tahu pertambangan tidak bisa berdampingan dengan pertanian. Padahal, kami hidup sepenuhnya dari pertanian,” kata Saudur.
Saudur mengatakan, pertanian sangat membutuhkan air dan mereka pun sangat khawatir harus berbagi sumber air dengan pertambangan yang disebutnya sangat rakus air. ”Tanah adalah ibu kandung bagi kami. Dari tanah, kami makan dan minum membesarkan anak-anak kami. Dan, sekarang di tanah kami dibangun pertambangan,” katanya.
Warga pun mempertanyakan keamanan gudang bahan peledak dan bendungan limbah yang berada di hulu desa mereka. Jika bendungan itu jebol, keselamatan warga yang berada di bawahnya sangat terancam.