Belajar Menggunakan Energi Baru Terbarukan dari Masyarakat Pesisir
Pada 2010, harga panel surya mencapai Rp 1,5 juta. Namun, sekarang, hanya perlu mengeluarkan uang sekitar Rp 600.000. Energi bersih yang stabil perlu terus didorong agar semakin banyak warga menggunakannya.

Seorang warga sedang melihat panel surya yang ada di Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (17/11/2022). Warga menggunakan panel surya karena daerah tersebut belum tersentuh aliran listrik dari PLN.
Sejak 2010, warga di Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, telah menggunakan pembangkit listrik tenaga surya untuk menyalakan berbagai alat elektronik di rumah mereka. Di tengah keterbatasan, mereka justru telah menggunakan energi bersih. Dukungan terhadap penggunaan energi hijau perlu terus digaungkan.
Jhon (52), salah satu warga, misalnya, sudah memasang delapan panel surya dengan kapasitas 100 WP (watt peak) per panel sejak 2010. Dengan delapan panel ini, ia bisa menghidupkan beberapa lampu LED dan listrik untuk mengisi daya telepon seluler. Sesekali ia menggunakan televisi.
Warga desa menggunakan energi listik dari panel surya lebih karena tidak punya pilihan. Listrik dari PLN belum masuk ke desa. ”Sebelum menggunakan panel surya kami menggunakan lampu petromak dan sumbu berbahan minyak tanah. Terkadang menggunakan genset,” ujar Jhon.
Namun, ia mengalkulasi, saat menggunakan genset, biaya yang dikeluarkan cukup besar. Untuk 6 jam pemakaian, dia harus mengeluarkan biaya bahan bakar hingga Rp 100.000. ”Karena itu, saya memutuskan beralih menggunakan panel surya,” ujar Jhon, Rabu (16/11/2022). Sayangnya, delapan panel surya yang ia miliki belum bisa digunakan untuk menyalakan kulkas.
Ahmad Sholeh (44), tetangga Jhon, pun menggunakan dua panel surya untuk menyalakan alat elektronik di rumahnya. ”Setidaknya, ketika malam tiba, kami tidak dirundung kegelapan,” ucap Ahmad.
Tidak hanya untuk menghidupkan peranti elektronik, ia juga menggunakan panel surya untuk menyalakan alat rekam suara burung walet. ”Alat rekam itu kami pasang seharian untuk mengundang burung walet bersarang di bangunan yang sudah kami buat,” ucapnya. Dari usaha itu, setiap 3 bulan Ahmad bisa memperoleh 1 kilogram (kg) sarang burung walet dengan pendapatan hingga Rp 16 juta per kg.

Pembangkit listrik tenaga surya di Desa Tanjung Raja, Kecamatan Muara Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Kamis (20/11/2021). PLTS ini memberikan daya untuk memompa air di Sungai Enim ke areal persawahan milik warga. Dengan teknologi ini, warga dapat melakukan penanaman sebanyak dua kali, bahkan tiga kali, dalam setahun,
Desa dengan jumlah penduduk sebanyak 1.164 kepala keluarga ini terletak sekitar 6,5 kilometer dari Selat Bangka. Untuk mencapai desa itu, dari Palembang, pengunjung harus menggunakan dua moda transportasi, yakni kendaraan roda empat menuju Dermaga Tulung Selapan sejauh 102 kilometer. Setelah itu, pengunjung perlu naik kapal cepat menyusuri sungai dengan waktu tempuh sekitar 2,5 jam.
Sekitar 70 persen warga pesisir itu bekerja sebagai petambak udang windu dan ikan bandeng. Sisanya bekerja sebagai nelayan, petani, dan pekebun. Namun, sebagai sampingan, banyak warga yang membangun sarang burung walet.
Ahmad berujar, pengenalan warga terhadap panel surya dimulai pada 2010. Saat diperkenalkan, harga panel surya cukup mahal, mencapai Rp 1,5 juta. Sekarang, hanya dengan mengeluarkan uang sekitar Rp 600.000, warga sudah bisa memasang satu panel surya. Namun, untuk mendapatkan listrik, warga juga harus memiliki inventer agar energi dari panel surya dapat dikonversi menjadi listrik berupa aki. Alat itu berfungsi untuk mengubah arus energi dari DC (direct current) ke AC (alternating current).
Belum stabil
Keberadaan panel surya memang cukup membantu masyarakat pesisir untuk mendapatkan listrik. Sayangnya, keberadaan energi yang lebih ramah lingkungan itu belum stabil. Warga pun menginginkan ketersediaan listrik yang lebih stabil dari PLN. ”Karena kebutuhan kami lebih dari sekadar menyalakan lampu LED(light emitting diode)," ucap Ahmad.
Jika nantinya listrik PLN sudah masuk desa, Ahmad yakin warga akan tetap menggunakan panel surya untuk kebutuhan sederhana. ”Panel surya akan tetap saya gunakan supaya tagihan listrik tidak terlalu mahal,” kata Ahmad sembari tersenyum.
Baca Juga: Optimisme Pencapaian Bauran Energi Baru Terbarukan
Sekretaris Desa Simpang Tiga Abadi Imam Khoiri menyebut, pihaknya sudah meminta agar listrik dari PLN segera masuk ke desanya. Aliran listrik terdekat masih berjarak sekitar 11 kilometer dari desa. ”Sekarang masih dalam proses. Saya berharap tahun depan listrik PLN sudah bisa masuk ke desa kami,” ujarnya.
Keberadaan listrik yang lebih stabil sangat dibutuhkan warga desa. Karena selain untuk kebutuhan sehari-hari, keberadaan listrik juga bisa meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Keberadaan listrik yang lebih stabil sangat dibutuhkan warga desa.
Beberapa produk olahan perikanan yang dihasilkan masyarakat, seperti bandeng presto, membutuhkan alat pendingin agar bisa disimpan lebih lama. Akibat tidak adanya listrik yang stabil, pembuatan bandeng presto hanya dilakukan ketika ada pesanan saja. ”Karena, jika tanpa lemari pendingin, daya tahan bandeng presto hanya 7 hari. Akan tetapi, dengan adanya lemari pendingin, bandeng presto bisa disimpan hingga 6 bulan,” papar Imam.

Abon bandeng yang dibuat kelompok ibu-ibu di Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (17/11/2022). Pembuatan abon menjadi salah satu yang diajarkan kepada para perempuan di pesisir untuk meningkatkan kapasitas masing-masing.
Tidak hanya itu, dalam pelatihan yang digelar oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), kelompok ibu-ibu diajari memasak mengolah makanan dari tepung nipah. Namun, penerapannya terhambat karena alat penggiling tepung tidak bisa beroperasi lantaran kapasitas panel surya dan genset tidak cukup kuat untuk menghidupkan mesin penggiling.
Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih Bonifasius Ferdinandus Bangun menyatakan, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) memang harus dimulai dari lingkup terkecil. Mulai dari individu ke kelompok masyarakat tertentu. ”Tentu harus didahului dengan pendampingan agar masyarakat mau menggunakan fasilitas EBT,” ucapnya.
Menurut dia, daerah yang menggunakan EBT biasanya adalah daerah yang belum tersentuh listrik dari PLN. Pembangkit yang kerap digunakan adalah panel surya dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Penggunaan PLTMH terjadi di beberapa daerah, seperti Muara Enim, Lahan, dan Pagar Alam.
Masalah itu harus diatasi segera agar transisi energi bisa diterapkan segera.
Ada beberapa hal yang masih mengganjal bagi masyarakat untuk menggunakan EBT, seperti nilai investasi yang masih tinggi dibandingkan dengan pembangkit berbasis energi fosil. ”Masalah itu harus diatasi segera agar transisi energi bisa diterapkan segera,” katanya.
Potensi EBT besar
Kepala Bidang Energi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan Aryansah menyebut, sebenarnya potensi EBT di Sumatera Selatan sangatlah besar, yakni mencapai 21.032 Megawatt (MW). Namun, yang terpasang masih 945,52 MW atau sekitar 4,5 persen dari potensi yang ada.
Baca Juga: Sumsel Punya Potensi Energi Baru Terbarukan Besar
Beberapa jenis energi baru yang telah terpasang di Sumsel adalah bioenergi, tenaga surya, tenaga air, dan geotermal (panas bumi). Adapun komposisi terbesar dari keempat jenis pemanfaatan energi ini adalah bioenergi dengan kapasitas terpasang mencapai 776,06 MW.
Khusus untuk kawasan pesisir, ujar Aryansah, ada beberapa pembangkit yang bisa digunakan, yakni tenaga surya dan kincir angin karena keberadaan angin dan hamparan sinar matahari yang luas bisa menjadi energi potensial bagi masyarakat.

Monika (52) sedang memeriksa turbin pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang ada di Dusun IV, Desa Cahaya Alam, Kabupaten Muara Enim, Sumsel, Selasa (19/7/2022). PLTMH menjadi satu-satunya pembangkit listrik yang dapat digunakan menghidupkan penerangan di rumah warga di dusun tersebut.
Ada beberapa alasan potensi tersebut tidak optimal. Pertama, terbatasnya wewenang pemerintah daerah untuk memberikan izin operasi. ”Pemda hanya berwenang memberikan rekomendasi, tetapi keputusan operasi diserahkan kembali kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ESDM,” ujarnya.
Selain itu, biaya investasi untuk memasang EBT terbilang cukup mahal dibandingkan dengan menggunakan pembangkit listrik bertenaga fosil. ”Investor pasti memiliki pertimbangan tersendiri, utamanya terkait keuntungan jika berinvestasi di bidang itu,” ucapnya.
Padahal, penggunaan EBT sudah sangat mendesak karena produksi energi berbasis fosil, seperti minyak dan gas bumi, di Sumsel sudah mulai menurun dari tahun ke tahun. Gas bumi, misalnya, 13 juta barel pada 2021, menurun dibandingkan pada 2020 yang sebesar 18 juta barel. ”Untuk membuka lahan eksplorasi yang baru, butuh biaya hingga 5 juta dollar AS per titik dengan tingkat keberhasilan hanya 50 persen,” ujarnya menjelaskan.
Jika dilihat dari sisi bauran energi, kontribusi EBT di Sumsel sekitar 23,14 persen dari seluruh energi yang dihasilkan di Sumsel, sedangkan minyak bumi 17,33 persen, gas bumi 23,06 persen, dan batubara merupakan yang terbesar, yakni 36,47 persen. ”Ke depan, komposisi EBT akan diperkuat karena memang transisi sudah harus dilakukan,” ucap Aryansyah.
Transformasi
Senior Manager PLN Wilayah Sumsel Jambi Bengkulu Jaka Sumanteri menyebut komitmen PLN untuk mulai menggunakan EBT telah direncanakan sebagai wujud PLN bertransformasi menjadi perusahaan listrik bersih. ”Produk kami akan menjadi energi berkelanjutan,” ujarnya.
Jika dilihat dari porsi pembangkitan berdasarkan teknologi, ucap Jaka, komposisi EBT pada 2020 sekitar 14 persen. Adapun batubara masih memegang komposisi terbesar, yakni 62 persen. Namun, pada 2060, sesuai dengan komitmen Indonesia untuk nol emisi, penggunaan teknologi EBT memegang peranan terbesar dari porsi pembangkitan, yakni 66 persen, dan tidak lagi menggunakan energi batubara.
Untuk beralih dari energi fosil menuju energi bersih, memang memerlukan waktu. Karena masih ada pembangkit seperti PLTU yang masih beroperasi. ”Biasanya usia operasi sampai 25 tahun. Karena itu, masih kita tunggu sampai proses operasinya selesai, tentu harus secara bertahap,” tuturnya.
Namun, jika dilihat dari bauran energi, penggunaan EBT di Sumatera sudah mencapai 27,33 persen melampaui target nasional, yakni 23 persen. Karena itu, ucap Jaka, peran semua pihak termasuk masyarakat sangat dibutuhkan agar pemanfaatan EBT bisa lebih besar lagi di tahun berikutnya.

Nasurullah (51) memeriksa saluran irigasi yang mengalirkan air ke posko pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang terletak di Desa Pelakat, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Rabu (17/11/2021).
Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Yenrizal, beranggapan pencanangan EBT perlu sosialisasi lebih intensif lagi. Sebagian besar anak muda di Sumsel bahkan tidak tahu apa itu EBT. ”Padahal, merekalah yang akan menggunakan EBT ini,” ucapnya.
Lembaga pendidikan berperan penting untuk memberikan pemahaman tentang EBT. Ia mencontohkan kampus yang sudah menggelar konsep kampus hijau yang mengedepankan penggunaan EBT. Selain itu, kolaborasi antara akademisi dan pemerintah serta operator harus diperkuat agar pelaksanaan EBT bisa lebih cepat.
Pemanfaatan panel surya oleh masyarakat pesisir menunjukkan keterbatasan tidak menjadi penghalang bagi masyarakat untuk memanfaatkan potensi alamnya. Yang dibutuhkan kini adalah dorongan agar energi bersih itu bisa lebih stabil, murah, dan terjangkau sehingga semakin banyak warga yang menggunakannya.