Tahap awal konsentrasi imunisasi massal di Pidie. Petugas imunisasi akan dikerahkan ke sana. Bukan hanya imunisasi, petugas juga melakukan penelusuran penyebaran polio.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pasca-penemuan kasus polio di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, seluruh anak di Aceh yang berusia di bawah 12 tahun akan diimunisasi polio. Imunisasi massal dilakukan untuk mencegah penyebaran polio meluas.
”Semua anak berusia di bawah 12 tahun akan diimunisasi polio, baik yang sudah maupun yang belum,” kata Kepala Dinas Kesehatan Aceh Hanif, Senin (21/11/2022), di Banda Aceh.
Imunisasi polio secara massal itu akan dilakukan bertahap. Pada 28 November 2022, imunisasi akan dilakukan di Kabupaten Pidie, tempat temuan kasus polio. Selanjutnya pada 5 Desember 2022, imunisasi massal dilakukan serentak di seluruh kabupaten/kota di Aceh.
Pada tahap awal, konsentrasi imunisasi massal memang dilakukan di Pidie. Petugas imunisasi akan dikerahkan ke sana. Selain melakukan imunisasi, petugas juga melakukan penelusuran penyebaran polio.
Rencana imunisasi massal telah diberitahukan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pihaknya memilih imunisasi tetes karena lebih mudah dan murah. ”Target cakupan 95 persen. Kami berharap tidak ada penolakan dari masyarakat,” kata Hanif.
Imunisasi massal perlu dilakukan untuk memastikan semua anak memiliki kekebalan tubuh terhadap virus polio sebab penyakit polio dapat dicegah dengan imunisasi.
Langkah itu dilakukan setelah seorang anak berusia 7 tahun 2 bulan di Kecamatan Mane, Pidie, dinyatakan positif polio. Anak tersebut menderita polio tipe dua yang menyebabkan kaki kiri lumpuh. Ia tidak pernah mendapatkan imunisasi sama sekali.
Cakupan imunisasi dasar lengkap Aceh masih rendah dan tidak memenuhi target. Pada 2017, cakupannya hanya 60 persen. Tahun 2018, capaiannya naik sedikit menjadi 61 persen dan tahun 2019 turun menjadi 49 persen. Tahun 2020 dan 2021, capaian imunisasi semakin menurun lantaran adanya pandemi Covid-19.
Adapun di Pidie, capaian imunisasi dasar lengkapnya menduduki posisi terendah di Provinsi Aceh. Pada 2017, cakupannya hanya 23 persen, 2018 cakupannya naik sedikit menjadi 28 persen, dan pada 2019 cakupan melorot menjadi 13 persen.
Sejauh ini, kata Hanif, penyebab korban terpapar polio masih dikaji. Ada yang mengaitkan dengan sanitasi yang buruk, tetapi pemerintah belum membuat kesimpulan. Kajian mendalam perlu dilakukan agar pemerintah mendapatkan informasi utuh terkait sumber virus yang terpapar ke tubuh korban.
Secara umum, virus polio terdapat pada air atau makanan yang tercemar feses manusia. Kebiasaan buang air besar sembarangan menjadi salah satu pemicu penyebaran virus polio. ”Kami menyarankan, jika ada program pembangunan jamban sebaiknya untuk keluarga, bukan umum sebab jamban umum kurang terawat,” kata Hanif.
Sebelumnya, Penjabat Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto mengatakan, imunisasi massal baru dapat dilakukan jika orangtua anak memberi izin. Oleh karena itu, Wahyudi mengajak para tokoh warga dan ulama agar bersama-sama melakukan kampanye pentingnya imunisasi polio. Apalagi, masih ada kelompok warga yang membenturkan imunisasi dengan agama sehingga memunculkan keraguan kehalalan pada warga akar rumput.
Kepala Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) Perwakilan Aceh Andi Yoga Tama mengatakan, berdasarkan data Kemenkes, cakupan imunisasi dasar lengkap bagi anak di Aceh terus menurun. Kondisi ini dapat memicu berbagai penyakit.
Pemahaman warga tentang pentingnya imunisasi sangat rendah. Adanya persepsi negatif terhadap imunisasi membuat cakupan tak kunjung mencapai target. ”Banyaknya hoaks dan misinformasi yang beredar di masyarakat telah menyebabkan semakin turunnya minat masyarakat terhadap imunisasi,” kata Andi.
Masih ada kelompok warga yang membenturkan imunisasi dengan agama sehingga memunculkan keraguan kehalalan pada warga akar rumput.
Pasca-temuan kasus polio, Andi mendorong para pihak agar berusaha lebih maksimal dalam mengedukasi warga hingga ke akar rumput. ”Selain rendahnya cakupan imunisasi, kondisi lingkungan yang kotor dan tercemar tinja adalah faktor risiko terjadinya penularan polio,” kata Andi.
Unicef mendukung dan akan terlibat penuh dalam upaya penanganan KLB polio mulai dari penyelidikan epidemiologi, logistik, koordinasi, advokasi, komunikasi risiko dan penggerakan masyarakat.