Pendeta Terduga Predator Seksual di Bolaang Mongondow Belum Ditahan
Pendeta asal Bolaang Mongondow yang dituduh melakukan perbudakan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak panti asuhan yang dikelolanya tak kunjung ditetapkan sebagai tersangka. Hasil visum psikologis tak kunjung terbit.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pendeta asal Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, yang dituduh melakukan perbudakan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak panti asuhan yang dikelolanya tak kunjung ditetapkan sebagai tersangka. Kepolisian menyatakan hal ini disebabkan hasil visum psikologis yang tak kunjung diterbitkan.
FP (46), pendeta tersebut, telah dilaporkan ke kepolisian oleh salah satu orang yang mengaku korbannya sejak akhir Agustus 2022. Baru tiga bulan kemudian, pelapor yang adalah perempuan berusia 17 tahun menjalani pemeriksaan psikologis di Rumah Sakit Jiwa Ratumbuysang Manado untuk mendapatkan visum et repertum psikiatri (VePR).
Namun, hingga kini, belum ada kemajuan dari laporan tersebut. ”Jadi sampai sekarang belum ada penetapan tersangka. FP belum ditahan,” keluh pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, Citra Tangkudung, Senin (21/11/2022), ketika dihubungi via telepon dari Manado.
Penyebab lambatnya proses hukum, Citra mengutip keterangan kepolisian, adalah hasil VePR yang belum diterbitkan setelah lebih kurang sebulan. ”Kami sudah coba tanyakan ke rumah sakit, tetapi pihak rumah sakit agak tertutup masalah itu. Entah kendala apa yang bikin lama,” lanjutnya.
Saat ini, LBH Manado fokus pada pendampingan dan pemulihan trauma korban. Hingga kini, sebanyak tujuh korban telah teridentifikasi, tetapi hanya empat yang mau terlibat dalam proses hukum ini. Satu orang sebagai pelapor, sedangkan tiga lainnya saksi korban.
Mereka kini tinggal sementara di Sentra Tumou Tou Manado, unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial di bawah Kementerian Sosial. Adapun tiga korban lainnya menolak terlibat karena, kata Citra, adanya hubungan kedekatan antara keluarga mereka dan FP.
FP adalah seorang pendeta Gereja Protestan di Indonesia (GPdI) yang bertugas di sebuah gereja di Desa Sauk, Kecamatan Lolak, Bolaang Mongondow. Ia membangun sebuah panti asuhan sederhana berdinding kayu tepat di sebelah gereja. Citra meminta agar nama gereja dan panti tempat FP bertugas tidak dipublikasikan sebelum ada penetapan tersangka.
Di lain pihak, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah (Polda) Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan, penetapan tersangka akan segera dilakukan jika visum psikiatri membuktikan pelapor mengalami kekerasan seksual. Hanya saja, proses visum di RSJ Ratumbuysang memang memakan waktu lama.
”Informasi yang kami dapat, dokter yang berkewenangan mengeluarkan visum hanya satu. Nah, saat ini antreannya kebetulan panjang. Visum, kan, tidak boleh sembarangan. Jadi intinya pelapor sudah diperiksa, dan kita tinggal menunggu,” ujarnya.
Jules menambahkan, tiga saksi korban telah diperiksa. Keterangan mereka memang mengarah pada indikasi bahwa FP adalah predator seksual yang menyerang anak. Akan tetapi, ia menegaskan pihak kepolisian tetap menjaga praduga tak bersalah untuk saat ini.
”Kami tetap harus obyektif dalam menangani kasus ini. Kalau unsur dan bukti yang menentukan tindak pidana telah terpenuhi, baru kami tahan. Upaya paksa yang akan diambil tentunya berdasarkan pertimbangan penyidik, misalnya kalau terlapor tidak kooperatif,” katanya.
Mungkin hanya lima anak yang benar-benar yatim piatu. Sisanya itu punya orangtua, tetapi memang tidak mampu. Ada juga yang orangtuanya bekerja untuk FP. Anak-anak ini hanya didatangkan saat misalnya ada donatur yang berkunjung
Janggal
Diberitakan sebelumnya, FP dituduh melakukan pelecehan secara berulang terhadap beberapa anak asuhnya sejak 2014. Pelapor sendiri mengaku mengalami kekerasan seksual pertama kali pada 2019.
FP disebut selalu memulai rudapaksa dengan meminta dipijat. Jika permintaannya ditolak, si pendeta akan menghukum anak-anak asuhnya dengan kerja berat yang meliputi kerja bangunan hingga mengurus tambak. Citra mengatakan, warga sekitar gereja bahkan mengatakan FP memiliki tambang ilegal, tetapi kebenarannya belum terbukti.
Di samping itu, LBH Manado juga mencatat beberapa hal janggal dari panti asuhan yang ada di tepi Jalan Trans-Sulawesi itu. Beberapa di antaranya adalah jumlah anak asuh yang tidak menentu.
”Mungkin hanya lima anak yang benar-benar yatim piatu. Sisanya itu punya orangtua, tetapi memang tidak mampu. Ada juga yang orangtuanya bekerja untuk FP. Anak-anak ini hanya didatangkan saat, misalnya ada donatur yang berkunjung,” katanya.
Keadaan ini dibenarkan Arthur Rompis, wartawanTribun Manado, yang pernah berkunjung ke panti asuhan FP pada Desember 2020. Ia juga sempat mewawancarai FP secara langsung. Saat itu, keadaan panti asuhan sedang memprihatinkan karena, di tengah pandemi Covid-19, sumbangan berhenti mengalir.
”Mereka kesulitan. Jadi mereka bergantung pada kios panti yang dibangun enggak jauh dari situ. Waktu saya wawancara, memang Pendeta FP bilang dia suruh anak-anak panti yang bangun kios itu karena enggak ada orang lagi yang bisa diberdayakan,” katanya.
Arthur mengaku dirinya tidak menaruh curiga saat itu, justru trenyuh karena kesulitan yang dihadapi panti asuhan tersebut. Ia menyebut anak-anak asuh bahkan menanam ubi agar bisa tetap makan.