Pekerja dan Pengusaha Jatim Beda Pendapat soal UMK 2023
Dewan pengupahan nasional tengah merumuskan besaran nilai upah minimum 2023 berdasarkan ketentuan PP Nomor 36 Tahun 2021. Namun, pekerja menolak penggunaan ketentuan tersebut dan meminta kenaikan 13 persen.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Penetapan besaran nilai upah minimum kabupaten dan kota di Jawa Timur tahun 2023 belum mencapai titik temu. Pekerja menghendaki kenaikan upah 13 persen agar kesejahteraan mereka tetap terjaga di tengah pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Sementara itu, pengusaha menginginkan sesuai aturan perundangan.
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jatim yang juga anggota Dewan Pengupahan Jatim dari unsur pekerja, Ahmad Fauzi, mengatakan, UMK tahun 2023 diusulkan naik 13 persen. Kenaikan itu didasarkan pada pertumbuhan ekonomi lokal dan laju inflasi tahunan.
“Harga sejumlah bahan pokok naik signifikan dalam beberapa bulan belakangan ini terutama beras, minyak goreng, telur, dan komoditas lainnya. Kenaikan tersebut menambah beban pengeluaran keluarga pekerja,” ujar Fauzi, Jumat (18/11/2022).
Dia menambahkan kondisi pekerja juga tidak lepas dari ancaman krisis global yang diprediksi terjadi pada tahun depan. Oleh karena itulah, mereka memerlukan kenaikan upah agar bisa mengimbangi kenaikan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi terutama yang disebabkan oleh harga bahan pokok.
Menanggapi usulan kenaikan upah minimum sebesar 13 persen pada 2023 tersebut, Pemerintah Provinsi Jatim menunggu arahan dari Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, pemprov akan mendengarkan usulan atau pendapat dari seluruh kepala daerah di 38 kabupaten dan kota. “Prinsipnya pemerintah provinsi masih menunggu,” ujar Sekretaris Provinsi Jatim Adhy Karyono.
Di sisi lain, kalangan pengusaha Jatim mengusulkan agar penetapan UMK 2023 didasarkan pada PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Pemprov Jatim harus menetapkan UMK 2023 paling lambat 30 November 2022. Adapun kebijakan tersebut mulai diberlakukan pada Januari 2023.
Sejumlah kabupaten dan kota di Jatim mulai mengusulkan besaran UMK pada 2023 kepada Pemprov Jatim. Salah satunya, Pemkot Madiun yang mengusulkan besaran upah minimum naik 7,8 persen dari tahun sebelumnya.
Wali Kota Madiun Maidi mengatakan usulan besaran upah minimum tersebut berdasarkan kesepakatan Dinas Tenaga Kerja, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Madiun, bersama dewan pengupahan setempat. Adapun besaran UMK 2023 diusulkan Rp 2,138 juta per pekerja per bulan atau naik Rp 147.000 per bulan dibandingkan UMK 2022 sebesar Rp 1,991 juta per bulan.
“Kesepakatan sudah ditandangani oleh dewan pengupahan dalam rapat koordinasi,” ujar Maidi.
Dia menambahkan penetapan besaran UMK 2023 didasarkan pada hasil perhitungan BPS dan pertumbuhan ekonomi lokal. Ekonomi Kota Madiun tumbuh signifikan meski didera pandemi Covid-19. Oleh karena itulah, sudah sewajarnya upah pekerja menyesuaikan agar mereka sejahtera.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansya Noor dalam kunjungannya di Sidoarjo, Selasa (15/11/2022) mengatakan dewan pengupahan nasional tengah merumuskan besaran nilai upah minimum 2023 berdasarkan ketentuan PP 36 Tahun 2021. Namun, pekerja atau buruh tidak mau menggunakan ketentuan tersebut dan meminta kenaikan sebesar 13 persen.
Menyikapi hal itu, Kemenakertrans tetap menggunakan PP 36 sebagai acuan. Dia berharap semua pihak menerima dengan baik kebijakan pemerintah agar pengusaha tidak terbebani dengan penetapan upah minimum tersebut sementara para pekerja tidak merasa rugi.
Menurut dia, pemerintah sebagai regulator tidak memihak kepada pekerja ataupun pengusaha. Inflasi sebesar 5,7 persen tahun ini harus diperhitungkan agar pertumbuhan ekonomi berjalan optimal. Pekerja diharapkan memahami upaya bersama untuk menjaga kelangsungan dunia usaha terutama menghadapi ancaman krisis global tahun depan.
“Jadi intinya pengusahanya senang, pekerjanya juga senang, ketika kenaikan upah minimum tahun 2023,” ucap Afriansya Noor.
Presiden Direktur PT Maspion Alim Markus mengatakan kondisi perekonomian saat ini sangat tidak stabil. Hal itu berdampak pada pengusaha dan karyawan. Dampak paling berat dirasakan oleh industri padat karya karena jumlah karyawannya banyak.
Pada saat bersamaan, keresahan terparah juga dirasakan oleh karyawan yang bekerja pada industri padat karya karena mereka dibayang-bayangi pemutusan hubungan kerja setiap saat. Oleh karena itulah, menurut Alim Markus semua pihak harus mengacu pada ketentuan perundangan yang berlaku yakni PP 36/2021.
“PP ini harus dibuat patokan. Itu hukumnya. Kalau tidak mau melihat hukum negara hancur. Siapa investor yang mau masuk jika investor di dalam negeri saja tidak mau berusaha,” ucap Alim Markus.