Gurihnya Opor Ayam Kampung "Ninine" di Purbalingga
Anda pemburu kuliner lokal khas pedesaan? Warung Makan Rawisan Ninine di Purbalingga, Jawa Tengah, bisa jadi pilihan. Dengan suasana khas pedesaan, rumah makan ini menyajikan opor ayam kampung yang gurih dan empuk.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Asap putih beraroma wangi memenuhi dapur berukuran sekitar 3 meter x 2 meter. Puluhan potong ayam kampung tampak "berenang-renang" di dalam kuah bumbu kuning pekat khas opor. Kemertak suluh kayu bakar melontarkan bara dari dalam tungku, meninggalkan jelaga, sekaligus membangkitkan cita rasa.
Begitulah suasana dapur Warung Makan Rawisan Ninine di Desa Karangcegak, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (17/11/2022). Di dapur itu, tengah dimasak sajian opor ayam kampung yang menjadi andalan rumah makan tersebut.
“Satu ekor ayam jago bisa dipotong sampai sepuluh bagian. Supaya empuk, ayamnya dimasak atau diungkep sampai satu jam,” tutur Tukinah Wati (53), pemilik Warung Makan Rawisan Ninine.
Berada sekitar 10 kilometer (km) di sebelah barat laut Alun-Alun Purbalingga, Warung Warung Makan Rawisan Ninine berada tak jauh dari objek wisata Situ Tirta Marta, tempat wisata alam berupa tempat permandian yang airnya berasal dari mata air alami. Jarak rumah makan itu hanya sekitar 300 meter sebelah utara Situ Tirta Marta.
Selama ini, Warung Makan Rawisan Ninine dikenal sebagai salah satu rumah makan di Purbalingga yang selalu ramai pembeli. Banyak komunitas pesepeda yang menjadikan warung makan itu sebagai tempat kumpul untuk sarapan bersama.
Tukinah mengisahkan, dirinya melanjutkan usaha kuliner almarhumah ibundanya, Parsinah, yang berjualan opor ayam dan ketupat janur di Pasar Tobong, Purbalingga, sejak tahun 1987. Jika sang ibu berjualan di pasar, Tukinah mendirikan warung di rumahnya di Desa Karangcegak ini pada 2010.
“Biasanya per hari memasak enam sampai tujuh ekor ayam. Kalau di hari libur atau akhir pekan, bisa sampai 10 ekor ayam,” tutur Tukinah.
Hebi (30), putra Tukinah, menyebut, warung yang merupakan kelanjutan dari usaha neneknya itu merupakan rumah makan biasa. Nama "ninine" dalam rumah makan itu berarti "neneknya". Adapun nama "rawisan" yang melekat dalam rumah makan tersebut juga punya arti khusus.
“Rawisan itu ketupat yang dipotong-potong, lalu dikasih oseng dan dikasih kuah opor,” kata Hebi.
Menurut Hebi, warung makan itu buka setiap hari mulai pukul 09.00 hingga sekitar pukul 15.00. Menu makanan di warung itu terdiri dari opor ayam dengan harga per potong Rp 12.000, ketupat janur per buah Rp 1.000, sayur oseng kedelai hitam, dan sambal.
Tukinah mengisahkan, dirinya melanjutkan usaha kuliner almarhumah ibundanya, Parsinah, yang berjualan opor ayam dan ketupat janur di Pasar Tobong, Purbalingga, sejak tahun 1987.
Prasetyo (56), salah satu pelanggan Warung Makan Rawisan Ninine, mengatakan, menu opor ayam dengan ketupat janur di rumah makan itu memiliki rasa yang khas dan lezat. Guru SMP Negeri 3 Purbalingga itu juga menilai, rumah makan tersebut berupaya melestarikan kuliner lokal warisan para pendahulu.
“Ini kuliner lokal yang mengawetkan makanan Purbalingga tempo dulu. Sekarang, kan, banyak makanan fast food, sedangkan di warung itu olahan lokal. Bahkan bumbunya dibuat dari jahe, kencur, dan bawang lokal sehingga rasa masakannya cocok dengan mulut orang kita,” kata Prasetyo.
Prasetyo, yang gemar berwisata kuliner bersama istrinya, mengaku paling suka menyantap paha dan kepala opor ayam di Warung Makan Rawisan Ninine. “Paha sama kepala ayamnya itu ndaging banget, rasanya lezat. Bumbunya mengena dan kental. Suasananya ndesani (khas pedesaan), tidak bising. Semua dimasak di pawon (dapur) dan itu yang unik,” katanya.
Menurut Prasetyo, harga makanan di rumah makan itu juga relatif terjangkau. Bahkan, dia mengaku pernah mengajak enam muridnya makan di warung tersebut dan hanya merogoh kocek sekitar Rp 90.000. “Harganya terjangkau jika dibandingkan dengan harga untuk menu yang sama di daerah perkotaan,” ujarnya.
Opor ayam di Warung Makan Rawisan Ninine terasa sangat lembut. Daging ayam kampung yang digunakan untuk opor itu terasa empuk dan gurih. Padahal, daging ayam kampung biasanya cukup alot.
Sajian oseng kecambah hitam atau kedelai hitam juga sangat unik. Saat menyantap menu itu, kita seperti sedang mengunyah tempe. Namun, oseng kedelai hitam itu memiliki tekstur berserat seperti mi keriting karena menggunakan tangkai-tangkai kecambah.
Kalau Anda penasaran dengan menu opor ayam dengan ketupat janur plus oseng kedelai hitam ini, silakan berkunjung ke Warung Makan Rawisan Ninine. Jika mengajak keluarga, Anda bisa sekalian berenang atau berwisata air di Situ Tirta Marta yang lokasinya hanya berjarak seperlemparan batu.
Sayangnya, sebagian jalan menuju rumah makan itu berlubang di sana-sini. Butuh kesabaran untuk melalui jalan 1 km terakhir ke tempat tersebut. Meski begitu, setelah sampai, kuliner yang disajikan rasanya setimpal dengan kerepotan yang ditemui di jalan.