Memburu Harapan Baru di Kaki Semeru
Setahun setelah bencana awan panas guguran Gunung Semeru, penyintas di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mulai membangun kehidupan baru. Mereka merajut kembali mozaik yang tercabik demi masa depan sejahtera.
Jumat (11/11/2022), Tojamin (70) dan Suyanti (65) membongkar pintu rumahnya yang rusak berat akibat hantaman awan panas guguran Gunung Semeru di Desa Curah Kobokan, Kecamatan Candipuro. Tangan-tangan renta mereka juga sibuk membongkar kusen kayu serta seng yang diyakini masih bakal terpakai.
Material itu kemudian ditata di atas sebuah pikap bak terbuka rentalan. Setelah penuh, mobil melaju menuju lokasi hunian tetap dan hunian sementara di Desa Sumbermujur yang berjarak sekitar 5 kilometer (km) dari Curah Kobokan.
Suyanti mengatakan, kusen kayu dan seng rencananya bakal dipasang di samping bangunan hunian tetap dan hunian sementara sebagai teras tambahan. Teras itu diperlukan sebagai tempat berjualan kelontongan, memasak jamu rempah dan empon-empon, hingga menyanggrai kopi. Banyak hal ia lakukan demi menopang ekonomi keluarga.
”Saya ingin berusaha. Buka toko, selep jagung, ’goreng’ kopi, dan buat jamu tradisional. Pak Tojamin tidak ada pekerjaan, mau kerja kuli bangunan sudah tidak kuat, sudah tua,” ujar Suyanti lirih.
Baca juga: Erupsi Semeru Warga Diminta Hindari Radius-5 Km dari Puncak
Tepat di seberang rumah Tojamin, tampak Reza (24) dan istrinya, Erna (20), tengah mengumpulkan aneka perabotan yang tersisa di rumahnya. Perabotan rumah tangga, seperti panci memasak, wajan, stoples, piring, gelas, dan teko, itu rencana dibawa ke hunian tetap dan hunian sementara untuk digunakan lagi.
”Setelah setahun ditinggalkan, kami baru bisa menyelamatkan perabotan yang tersisa. Sudah banyak yang hilang dicuri, seperti tabung elpiji,” ucap Reza yang bekerja mengumpulkan batu kali untuk dijual sebagai bahan bangunan itu.
Tojamin dan Reza merupakan penyintas bencana erupsi Semeru, 4 Desember 2021 lalu. Baru sebulan mereka menempati hunian tetap dan hunian sementara, setelah setahun tinggal berpindah-pindah dari tempat pengungsian sementara, rumah saudara, hingga rumah kontrakan.
Di hunian tetap dan hunian sementara itulah mereka memulai merangkai kembali satu per satu mozaik kehidupan yang tercabik bencana. Bersama dengan ribuan penyintas lainnya, mereka menyemai asa baru dan berjuang memupuknya dengan kerja keras agar kehidupannya kelak lebih sejahtera.
Baca juga: Hunian Tetap Mulai Ditempati
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), erupsi Semeru menyebabkan 71 meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka. Selain itu, lebih dari 10.400 jiwa mengungsi.
Penyintas erupsi Semeru tersebar di 406 lokasi pengungsian yang terpusat di Kecamatan Candipuro, Pasirian, dan Pronojiwo. Ada pula di Kecamatan Pasrujambe, Sumbersuko, dan Lumajang. Korban erupsi gunung api aktif itu juga tersebar di Kabupaten Blitar, Malang, dan Jember.
Setelah erupsi besar, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memperbarui peta kawasan rawan bencana (KRB). Daerah yang ditetapkan sebagai KRB 1, 2, dan 3 tidak boleh lagi dibangun permukiman ataupun untuk kegiatan lain yang bisa berdampak pada keselamatan jiwa.
Desa Supiturang dan Oro-Oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, serta Desa Sumber Wuluh dan Curah Kobokan, Kecamatan Candipuro, ditetapkan sebagai KRB. Seluruh masyarakat di desa tersebut direlokasi ke tempat aman.
Lahan relokasi untuk warga Desa Sumber Wuluh dan Curah Kobokan adalah Desa Sumbermujur. Sementara warga Supiturang dan Oro-Oro Ombo disiapkan lahan di Desa Oro-Oro Ombo.
Setiap keluarga penyintas erupsi Semeru berhak mendapatkan tanah kaveling 10 meter x 14 meter dan bangunan hunian sementara di atasnya dengan ukuran 6 meter x 4 meter serta bangunan hunian tetap berukuran 6 meter x 6 meter.
Hunian sementara dibangun lebih dulu dengan sumber pendanaan dari para sukarelawan. Adapun hunian tetap dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Faktanya, setelah setahun bencana berlalu, masih banyak penyintas yang belum mendapatkan hunian sementara dan hunian tetap. Salah satunya Maryono dan Matasim, warga Curah Kobokan. Maryono tinggal menumpang di rumah mertuanya di Desa Wonokerto, Kecamatan Gucialit, Lumajang. Matasim bersama keluarganya mengontrak di Kabupaten Malang.
Kementerian PUPR telah menyelesaikan pembangunan 1.951 hunian tetap dan menyerahkan pengelolaannya kepada Pemkab Lumajang agar segera bisa ditempati penyintas bencana Semeru, Selasa (8/11/2022). Namun, dari 1.951 bangunan hunian tetap yang sudah jadi, masih banyak yang belum bisa ditempati. Salah satu penyebabnya, bangunan itu belum dilengkapi dengan hunian sementara.
Meski belum semua bisa ditempati, pembangunan hunian tetap penyintas erupsi Semeru diklaim mengalami kemajuan yang sangat cepat. Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto dalam kunjungannya di Lumajang, Selasa, mengatakan, kunci percepatan pembangunan hunian tetap adalah kemampuan pemda untuk penyiapan lahan relokasi yang tepat dan siap bangun.
”Kementerian PUPR bekerja dengan cara yang cepat. Kita punya teknologi cepat bangun dan secara paralel berkolaborasi dengan semua pihak sehingga bisa menyelesaikan pembangunan dalam waktu yang singkat,” ucap Iwan.
Bupati Lumajang Thoriqul Haq mengatakan, Kementerian PUPR menjadi bagian penting dari pembangunan hunian tetap untuk masyarakat terdampak erupsi Semeru. Tidak sampai setahun kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di hunian relokasi ini sudah tumbuh.
”Ada yang berjualan rujak, ada yang buka pracangan (toko kelontong). Sebagai pemerintah daerah, saya berkewajiban menjaga pertumbuhan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat penyintas di lokasi relokasi agar bisa berkelanjutan,” ujar Thoriqul Haq.
Selain persoalan hunian, kehidupan ekonomi penyintas menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat, yang dulunya petani, buruh tani, peternak, dan penambang pasir, dituntut berinovasi dan bertransformasi di sektor ekonomi. Ada yang berjualan rujak, warung kopi, dan warung makan. Namun, mayoritas membuka toko kelontong.
”Buka usaha tidak gampang, harus bisa masak kalau mau buka warung. Apalagi di sini tempatnya terbatas, untuk menyangrai kopi saja sulit karena harus memakai kayu bakar, sementara di sini masaknya pakai kompor gas,” ucap Suwarti, yang akhirnya memilih membuat kerupuk nasi untuk menyangga kehidupan ekonominya.
Keluhan serupa disampaikan Suyanti yang sebelumnya berjualan jamu tradisional berbahan rempah dan empon-empon. Dia harus memasak jamu dengan api dari kayu bakar untuk mendapatkan kualitas terbaik. Namun, di hunian tetap yang terbatas saat ini, tidak ada tempat untuk membuat tungku kayu bakar.
Mitigasi gunung api
Kebijakan merelokasi warga terdampak erupsi Semeru ke permukiman baru menjadi bagian dari mitigasi bencana gunung api untuk mengurangi risiko. Kepala PVMBG Hendra Gunawan dalam webinar ”Mitigasi Gunung Api” yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya mengatakan, Semeru merupakan gunung api aktif dengan karakter unik.
Salah satu contohnya, aktivitas kegempaan sangat tidak signifikan pada saat erupsi Semeru. Namun, indikasi erupsinya terlihat berdasarkan data INSAR (interferometric synthetic aperture radar). Data satelit itu menunjukkan terjadi inflasi di bagian puncak Semeru sejak 2 September 2021 atau tiga bulan sebelum terjadi awan panas guguran, meskipun sinyalnya lemah.
Untuk memperkuat pemantauan aktivitas vulkanik di Semeru, harus dilakukan dengan multiparameter, termasuk menggunakan data GPS (Global Positioning System). PVMBG akan menambah lagi jumlah GPS yang dipasang di Semeru.
”Dengan pendanaan peralatan yang lebih lengkap, kita akan lebih menggali data dari GPS dan INSAR. Tantangannya adalah sinyal yang lemah,” kata Hendra.
Sejauh ini, menurut dia, aktivitas vulkanik Semeru sangat aktif, bahkan saat ini sudah ada pengisian magma sehingga memicu pertumbuhan kubah. Hal itu terlihat dari perubahan deformasi gunung. PVMBG merencanakan penelitian deformasi gunung melalui citra satelit bekerja sama dengan Survei Geologi Amerika serikat (USGS).
Dia menambahkan, pada prinsipnya upaya mitigasi memiliki dua perspektif, yakni sumber bencana dan daerah rawan. Mitigasi daerah rawan ditempuh dengan memetakan kawasan rawan bencana dan memperkuat sistem peringatan dini. Sementara mitigasi sumber bencana dilakukan melalui pemetaan dan penelitian.
”PVMBG akan menindaklanjuti kolaborasi dari badan survei geologi untuk melengkapi data pemantauan lapangan dengan data laboratorium,” ucap Hendra.
PVMBG telah merevitalisasi bangunan pos pengamatan gunung api sejak tahun 2021. Ada 17 pos yang sudah direvitalisasi, di antaranya Pos Gunung Agung dan Pos Gunung Bromo. Selain itu, pihaknya juga sudah menyiapkan anggaran untuk memodernisasi seluruh peralatan pemantauan gunung api di Indonesia.
Erupsi Semeru setahun yang lalu telah melahirkan tatanan kehidupan baru, terutama bagi penyintas di Lumajang. Namun, masih banyak pekerjaan rumah untuk memburu harapan hidup lebih baik agar warganya sejahtera, damai, dan terhindar dari bencana.