Banjir di Gunung Mas, Kalteng, Dipicu Hilangnya Hutan
Banjir di Kalimantan Tengah dinilai terjadi karena hilangnya daya dukung alam dan daya tampungnya. Ironisnya, salah satu program pemerintah dinilai ambil andil dalam kerusakan alam di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Sebuah alat berat membersihkan kayu-kayu untuk menyiapkan lahan penanaman komoditas singkong di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Sabtu (6/3/2021). Singkong menjadi salah satu komoditas dalam program nasional cadangan logistik.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Banjir di Kalimantan Tengah sudah berlangsung dua bulan. Di Kabupaten Gunung Mas, banjir merendam akses jalan dari Kota Palangkaraya ke Desa Tewai Baru. Banjir tersebut dinilai terjadi karena hilangnya tutupan hutan.
Noviasi, warga Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, menjelaskan, banjir yang menutup jalan itu terjadi sekitar 1 kilometer dari kampungnya. Banjir merendam akses jalan besar dari Kota Palangkaraya ke Kuala Kurun. Banjir sempat membuat jalan terputus.
”Semalaman hujan, terus banjir. Sekarang kendaraan sudah bisa melintas di lokasi,” kata Noviasi saat dihubungi dari Kota Palangkaraya, Senin (14/11/2022).
Noviasi menjelaskan, desanya sudah dua kali dilanda banjir. Banjir terjadi karena luapan Sungai Tambun, tetapi tidak pernah sampai ke pinggir jalan, apalagi jalan tersebut berada di dataran yang cukup tinggi.
”Di dalam desa memang sering kena banjir kalau di hulu hujan terus, tapi kalau sampai di pinggir jalan itu baru terjadi, khususnya sejak hutan di sini dibuka untuk kebun singkong,” ungkap Noviasi.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Anak-anak yang terdampak banjir di Kumpai Batu Bawah dan Tanjung Terantang menikmati makanan bantuan di lokasi pengungsian banjir di Desa Kumpai Batu Atas, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng, Minggu (30/10/2022).
Program Strategis Nasional (PSN) lumbung pangan atau yang dikenal dengan sebutan food estate dilaksanakan di Kalteng sejak dua tahun lalu. Salah satu lokasi berada di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, dengan penanaman komoditas singkong. Setidaknya 760 hektar hutan dikonversi menjadi kebun singkong.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan akan membuka 31.000 hektar kebun singkong di wilayah Kalimantan Tengah. Namun, dalam dua tahun terakhir baru 760 hektar hutan yang dibuka. (Kompas, Minggu 7 Maret 2021).
Melihat hal itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengungkapkan, pengembangan proyek pangan pemerintah di wilayah dengan tutupan hutan pasti memiliki dampak. Banjir merupakan salah satunya. Ia berharap proyek tersebut dihentikan.
”Kami sudah mengingatkan berulang kali jika proyek pengembangan pangan yang dilakukan di kawasan hutan atau wilayah dengan tutupan hutan pasti berdampak, seharusnya ini dihentikan dan dipulihkan lagi,” kata Bayu.
Proyek pengembangan pangan yang dilakukan di kawasan hutan atau wilayah dengan tutupan hutan pasti berdampak. (Bayu Herinata)
Bayu menjelaskan, dari pengamatan citra satelit maupun di lapangan, kawasan kebun singkong berhubungan langsung dengan sungai-sungai di sekitarnya. Menurut dia, jika target pemerintah untuk memenuhi 31.000 hektar kebun singkong terpenuhi, dampaknya akan semakin buruk.
”Itu (konversi hutan) menjadi salah satu pemicu yang paling berpengaruh selain perubahan iklim yang menyebabkan anomali cuaca dan hujan ekstrem,” kata Bayu.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Warga Kampung Sega di Kotawaringinn Barat, Kalteng, mencari ikan di tengah banjir yang melanda pada Selasa (1/11/2022). Ribuan orang masih mengungsi karena banjir yang tak kunjung surut di Kalteng.
Banjir bertahan
Hingga kini, banjir masih terjadi di sejumlah wilayah di Kalteng dan sudah berlangsung berbulan-bulan. Data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Provinsi Kalteng menunjukkan setidaknya dari total 14 kabupaten dan kota, terdapat enam kabupaten yang terendam banjir. Kabupaten itu adalah Kabupaten Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Sukamara, Katingan, Seruyan, dan Pulang Pisau.
Dari sumber data yang sama, banjir masih merendam 14 kecamatan dengan total 56 desa dan kelurahan. Total terdapat 2.963 orang mengungsi selama beberapa hari terakhir. Kabupaten Sukamara kini yang berdampak paling buruk dengan total 2.863 orang mengungsi.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBPK Provinsi Kalteng Alpius Patanan menjelaskan, banjir mulai surut. Di awal Oktober banjir merendam 10 kabupaten dengan ratusan desa dan puluhan kecamatan. Setidaknya 6.000 orang mengungsi selama banjir Oktober, tetapi kini perlahan pengungsi kembali ke rumah.
”Dari enam kabupaten itu, lima di antaranya masih dan memperpanjang status tanggap darurat banjir, satu tidak yakni Kabupaten Seruyan. Semoga banjir bisa cepat berlalu,” ungkap Alpius.