Produksi Jahe Melimpah, Pemkab Ngada Jajaki Kerja Sama dengan PT Sidomuncul
Jahe sangat diminati masyarakat pada periode 2020-2021 saat pandemi Covid-19 mewabah. Kini, produksi jahe mulai menumpuk. Pemda terus mencari pasaran baru yang bersedia menampung jahe Ngada secara berkelanjutan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
DAHLIA IRAWATI
Jahe merah dipercaya menjadi salah satu tanaman obat herbal.
BAJAWA, KOMPAS — Pemkab Ngada, Nusa Tenggara Timur, menjajaki kerja sama dengan PT Sidomuncul untuk menyuplai berbagai jenis produksi jahe. Selama ini ribuan ton jahe dari Ngada tidak semuanya terserap di pasar lokal.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Bernadus Burah, yang dihubungi di Bajawa, Kamis (10/11/2022), mengatakan, budidaya jahe baik jenis jahe merah maupun jahe putih mulai dikembangkan masyarakat Ngada tahun 1990-an secara sporadis. Kegiatan itu mulai marak sejak 2017 karena permintaan jahe meningkat di sejumlah pasar tradisional di Nusa Tenggara Timur.
”Bupati sedang menjajaki kerja sama dengan PT Sidomuncul di Jakarta. Kita ingin menyuplai bahan baku jahe-jahean ke sana. Lebih dari 1.000 ton jahe belum terserap di pasar-pasar lokal, baik di pasar Ngada maupun di kabupaten tetangga. Sementara produksi jahe terus meningkat setiap tahun oleh masyarakat,” kata Bernadus.
Pekerja perempuan tengah mengolah bahan baku minuman herbal serbat jahe di Dusun Longserang Barat Selatan, Desa Langko, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (6/6/2020).
Jahe sangat diminati masyarakat pada periode 2020-2021 saat pandemi Covid-19 mewabah. Kini, produksi jahe mulai menumpuk. Pemda terus mencari pasaran baru yang bersedia menampung jahe Ngada secara berkelanjutan.
Luas lahan jahe yang saat ini dikembangkan petani mencapai 245 hektar. Jika kerja sama dengan PT Sidomuncul jadi, jahe akan disuplai secara rutin dari Ngada. Itu berarti lahan jahe pun harus diperluas. ”Kami memanfaatkan lahan tidur seluas 28.000 hektar yang selama ini dibiarkan telantar oleh masyarakat,” kata Bernadus.
Soal lahan yang kemungkinan akan bergesekan dengan tanaman kopi, Bernadus mengatakan, pemda tidak ingin mengganggu lahan kopi arabika, khususnya kebun kopi yang sudah masuk dalam kategori indikasi geografis. ”Sudah ada perda soal itu, diterbitkan 2013, oleh bupati sebelumnya. Lahan kopi tidak diganggu,” kata Bernadus.
Kopi arabika organik yang ada dalam kemasan dengan merek Kopikita Bajawa Flores Indonesia yang diproduksi salah satu pengusaha kopi Bajawa, Feliks Soba. Kopi kemasan ini dikirim ke Jakarta, Bandung, dan bahkan luar negeri.
Selama ini cukup banyak petani kopi yang mengonversi lahan dengan tanaman lain, seperti jahe, sayur-sayuran, dan porang. Pergantian tanaman ini terjadi di saat harga komoditas tertentu mulai booming di pasaran nasional. Porang, misalnya, tahun 2015-2020, harganya menyentuh Rp 500.000 per kg. Saat itu warga ramai-ramai menanam porang, tetapi setelah harga porang tenggelam dan petani enggan menanam porang lagi.
Felix Soba, pengusaha kopi dan anggota masyarakat perlindungan indikasi geografis kopi arabika Ngada, mengatakan, ketika mantan Bupati Marianus Sae memimpin, kopi merupakan komoditas unggulan Ngada. Perluasan kopi saat itu dari 2.000 hektar menjadi 11.000 hektar lebih.
Ketika Bupati Andre Paruh memimpin sejak 2021 sampai sekarang, kebijakan lebih fokus pada pengembangan jahe.
Kopi kulit tandu milik petani sekaligus pengusaha kopi Bajawa Flores, Feliks Soba, siap dijual.
”Petani kopi pun sesukanya memperlakukan lahan yang ada. Sebagian menggantikan lahan kopi dengan tanaman hortikultura, tanaman porang, dan kini tanaman jahe. Jika kerja sama dengan Sidomuncul terealisasi, lahan kopi semakin terancam. Masyarakat diarahkan menanam jahe. Ini masalah besar bagi kopi AFB yang sudah memiliki label dagang di tingkat nasional dan internasional,” kata Felix.
Petani muda saat ini pun tidak tertarik pada budidaya kopi arabika. Mereka mengikuti program budidaya jahe yang sedang dirintis bupati sekarang. Selain itu, mereka juga terlibat budidaya hortikultura, seperti sawi, kol, tomat, dan terong. Jenis-jenis tanaman ini dinilai lebih menguntungkan secara ekonomi karena bisa dipanen 3-4 kali setahun, dengan keuntungan yang lebih tinggi, dibanding kopi yang hanya sekali setahun.
Namun, Felix bersama anggota MPIG kopi arabika Ngada mengaku tetap menjaga lahan kopi yang ada. ”Kopi sudah memberi nilai ekonomi secara pasti dan memadai. Kami tidak akan bergeser ke lain komoditas,” kata Felix.