Kolaborasi Menuntaskan Masalah Sampah di Kota Magelang
Seperti banyak kota lain di Indonesia, Kota Magelang juga menghadapi persoalan serius dalam pengelolaan sampah. Meski begitu, kesadaran untuk berkolaborasi mengatasi masalah sampah sebenarnya mulai muncul.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pegiat Bank Sampah Edellweis menunjukkan keping emas yang diperoleh dari hasil menjual sampah di kampung organik Edellweis di Kelurahan Rejowinangun Selatan, Magelang Selatan, Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (12/10/2022).
Seperti banyak kota lain di Indonesia, Kota Magelang di Jawa Tengah kini juga menghadapi persoalan serius dalam pengelolaan sampah. Sebagian besar sampah di kota tersebut langsung dibuang ke tempat pembuangan akhir tanpa dipilah lebih dulu. Meskipun begitu, kesadaran untuk berkolaborasi mengatasi masalah tersebut sebenarnya sudah mulai muncul.
Sejak tiga tahun lalu, Wiwik Haryani (54) punya rutinitas baru dalam pengelolaan sampah yang dihasilkan dari rumah makan miliknya. Sampah-sampah dari rumah makan di Kelurahan Jurangombo Utara, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang, Jawa Tengah, itu tidak lagi ditumpuk di pinggir jalan untuk diambil petugas kebersihan.
“Segala macam sampah, mulai dari sisa makanan, sisa sayuran, botol plastik, hingga minyak jelantah, semuanya saya setorkan ke bank sampah,” tutur Wiwik saat ditemui, Selasa (18/10/2022).
Aktivitas menyetor sampah itu rutin dilakukan Wiwik setelah dia didatangi pengurus Bank Sampah Bougenville di Kelurahan Jurangombo Utara. Pengurus bank sampah itu lalu menawari Wiwik agar sampah dari rumah makannya disetor ke Bank Sampah Bougenville. Tawaran itu pun disetujui Wiwik.
FAKHRI FADLURROHMAN
Petugas bank sampah memilah sampah sesuai jenisnya di Bank Sampah Tri Alam Lestari, Pesanggrahan, Jakarta, Kamis (6/10/2022). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat pada hingga tahun 2022 terdapat 16.250 bank sampah di Indonesia.
Sesuai permintaan dari pengurus bank sampah, Wiwik pun memilah lebih dulu sampah yang akan disetornya. Namun, pemilahan itu tak sekadar untuk memisahkan sampah organik dan anorganik. Untuk sampah anorganik, misalnya, Wiwik memisahkan sampah plastik dan kertas.
Untuk sampah organik, sisa sayuran dan sisa makanan juga dipisahkan. “Saya harus memisahkan karena sampah sisa sayuran biasanya dipakai dan diolah sebagai kompos, sedangkan sisa makanan dipakai sebagai pakan maggot,” kata Wiwik.
Sebagai nasabah, Wiwik memang mendapat uang dari hasil pembelian sampah yang disetorkan. Meski begitu, dia sebenarnya tak terlalu memperhatikan besaran uang yang diterima. Baginya, yang terpenting adalah bisa mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir.
“Silakan dihargai berapa pun. Saya sudah cukup senang karena masalah sampah ini bisa diselesaikan,” ujar Wiwik yang membuka rumah makan sejak 11 tahun lalu.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Magot siap panen dari Bank Sampah dan Kampung Organik Bougenville di Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang, Rabu (1/6/2022)
Pengurus Bank Sampah Bougenville, Enti Sri Hardani (60), menuturkan, para pengurus bank sampah itu memang rutin melakukan “jemput bola” terkait pengelolaan sampah. Mereka kerap mengajak para pemilik rumah makan dan toko di wilayah sekitar untuk ikut menyetor sampah.
“Saat kebetulan berjalan-jalan dan menemukan rumah makan baru, kami seringkali menawarkan diri untuk bekerja sama mengelola sampah dari tempat tersebut,” papar Enti.
Segala macam sampah, mulai dari sisa makanan, sisa sayuran, botol plastik, hingga minyak jelantah, semuanya saya setorkan ke bank sampah (Wiwik Haryani)
Toko dan pasar
Upaya untuk mengurangi volume sampah juga dijalankan Andri (38), kepala toko penyedia perlengkapan rekreasi alam di Jalan Tentara Pelajar, Kota Magelang. Sejak setahun lalu, sebagian besar sampah di toko tersebut yang berupa kardus, kertas, dan plastik pembungkus, telah dikelola sehingga tidak perlu dibuang ke tempat sampah.
Menurut Andri, sampah plastik dan kertas dari toko itu biasanya dipotong-potong menjadi serpihan, lalu digunakan sebagai material pengisi tas yang dijual di toko itu. Adapun sampah berupa kardus biasanya dijual kepada seorang perajin hiasan berbahan akrilik. Oleh sang perajin, kardus-kardus itu dipakai sebagai wadah untuk mengirimkan pesanan kerajinan ke berbagai kota.
Pegiat Bank Sampah Edellweis mengolah sampah dari pisang untuk dijadikan kompos di kebun kampung organik Edellweis di Kelurahan Rejowinangun Selatan, Magelang Selatan, Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (12/10/2022).
Andri menyebut, upaya tersebut sangat berguna untuk mengurangi volume sampah dari tokonya. “Saat ini, kebanyakan sampah yang dihasilkan dari toko kami hanya berupa bungkus makanan atau minuman dari para pegawai saja,” ujarnya.
Sejumlah pasar tradisional di Kota Magelang juga berupaya mengurangi volume sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Di Pasar Rejowinangun, Kecamatan Magelang Tengah, upaya itu dilakukan dengan membebaskan warga untuk mengambil sampah berupa sisa sayuran dan buah guna dijadikan pakan ternak.
Purnomo (55), warga asal Kelurahan Meteseh, Kecamatan Magelang Tengah, mengaku rutin mengambil sisa sayuran dan buah-buahan di Pasar Rejowinangun. Sisa sayur dan buah itu dipakai untuk pakan ikan nila, lele, gurami, dan maggot yang dibudidayakannya di rumah. “Ikan-ikan saya itu suka kalau dikasih makan sayur-sayuran seperti sawi, terong, dan lain-lainnya,” ujarnya.
Hal serupa juga dilakukan oleh Nur (48), warga asal Kecamatan Magelang Tengah. Hampir setiap pagi, dia rutin datang ke Pasar Rejowinangun untuk mencari sisa sayuran bagi 20 ekor bebek yang dipeliharanya.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Sampah terlihat menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Banyuurip, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Jumat (13/5/2022). TPA Banyuurip menjadi tempat pembuangan sampah dari Kota Magelang.
Kepala Bidang Pengelolaan dan Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Magelang, Widodo, mengatakan, kolaborasi dan inisiatif masyarat untuk mengelola sampah sangat diperlukan untuk meminimalisir volume sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Banyuurip di Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang.
TPA Banyuurip merupakan satu-satunya TPA untuk menampung sampah dari seluruh wilayah Kota Magelang. TPA itu dibangun di atas tanah milik Pemerintah Kota (Pemkot) Magelang dengan luas sekitar 3 hektar. “Ketinggian sampah di TPA itu sudah mencapai sembilan meter, sementara area TPA itu tidak mungkin kami perluas lagi,” tutur Widodo.
Menurut Widodo, volume sampah yang dibuang ke TPA Banyuurip mencapai 65 ton per hari. Beberapa tahun lalu, Pemkot Magelang sempat melakukan pengepresan sampah organik yang masuk ke TPA Banyuurip agar TPA tersebut bisa menampung lebih banyak sampah. Namun, upaya itu kemudian dihentikan karena dinilai tidak efektif.
Pengepresan tidak bisa optimal dilakukan karena sampah yang masuk ke TPA Banyuurip sudah tercampur aduk, tidak dipilah lebih dulu. “Pengepresan gagal dilakukan karena sampah yang masuk masih bercampur antara sampah organik, sampah anorganik, dan residu,” ungkap Widodo.
Dia menambahkan, dari 65 ton sampah yang dibuang ke TPA Banyuurip tiap hari, sekitar 60 persen diantaranya adalah sampah rumah tangga. Oleh karena itu, apabila gerakan memilah sampah di tingkat rumah tangga bisa berjalan dengan masif, volume sampah yang harus dibuang ke TPA pun bisa menurun signifikan. Namun, agar hal itu bisa terwujud, tentu dibutuhkan kolaborasi yang erat dari berbagai pihak.