Kiai Abbas, Sosok Pahlawan dalam Pertempuran 10 November
Kiai Abbas Abdul Jamil dari Pondok Buntet Pesantren, Kabupaten Cirebon, dijuluki ”Singa dari Jawa Barat”. Dia menjadi salah satu sosok vital dalam pertempuran 10 November 1945.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Perjuangan melawan penjajah pada 10 November 1945 di Surabaya tidak terlepas dari peran kiai dan santri. Salah satunya Kiai Abbas Abdul Jamil dari Pondok Buntet Pesantren, Kabupaten Cirebon. Bahkan, kiai yang dijuluki ”Singa dari Jawa Barat” itu menjadi penentu waktu perang.
Kiai Abbas adalah putra sulung KH Abdul Jamil, keturunan Mbah Muqoyyim yang merupakan pendiri Pondok Buntet Pesantren. Lahir 25 Oktober 1879, Kiai Abbas tumbuh dalam lingkungan pesantren. Ia juga sempat menimba ilmu ke Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.
Di sanalah, beliau berguru dengan KH Hasyim Asy’ari. Bahkan, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu meminta Kiai Abbas untuk melawan para preman yang tidak menghendaki berdirinya pesantren. Mereka kerap menodongkan pisau ke penghuni yang tinggal di pondok yang berdinding bambu.
”Mbah Abbas dikenal punya ilmu kanuragan sehingga diminta membereskan perompak di sekitar Tebuireng,” ucap Muhammad bin Abdullah Abbas, salah seorang cucu Kiai Abbas kepada Kompas, Kamis (10/11/2022). Para preman itu pun berhenti mengganggu pesantren.
Bahkan, menurut dia, Kiai Abbas pernah membantu melawan para bandit yang ingin mengacaukan sejumlah pesantren di Jawa. Kalangan santri mengenal ilmu beliau sebagai silat Buntet. Konon, hanya keluarga Kiai Abbas yang mengetahui satu jurus pamungkas tersebut.
KH Hasyim kembali memanggil Kiai Abbas saat pertempuran antara pasukan sekutu Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dan rakyat Indonesia di Surabaya akhir Oktober 1945. Apalagi, NU menyerukan Resolusi Jihad yang mengharuskan umat melawan penjajah.
Kiai Abbas bersama adiknya, KH Annas, sejumlah kiai, dan santri di Cirebon pun datang ke Surabaya memakai kereta api. ”Yang berangkat bisa puluhan atau ratusan orang, termasuk bapak saya (KH Abdullah Abbas). Yang jelas, pertempuran 10 November itu tidak kebetulan,” ujarnya.
Menurut Imat, sapaan Muhammad, pasukan Indonesia memilih pertempuran tanggal 10 karena menunggu kedatangan Kiai Abbas dari Cirebon. Beliau juga mengumpulkan ribuan santri dari daerah di Jabar, seperti Cianjur. Bahkan, Kiai Abbas didapuk sebagai komandan perang kala itu.
Awalnya, Bung Tomo yang juga memimpin perang di Surabaya meminta restu dari KH Hasyim untuk menyerang sekutu sebelum 10 November. ”Tetapi, Mbah Hasyim bilang, kita tunggu dulu Singa dari Jawa Barat. Dia Kiai Abbas. Jadi, perang pada tanggal itu sudah didesain,” katanya.
Strategi perang
Dari cerita sesepuh di Buntet, lanjutnya, kesaktian Kiai Abbas mampu menjatuhkan pesawat tempur milik sekutu. ”Ada banyak versi kisah soal ini. Ada yang bilang Mbah Abbas melempar pesawat dengan biji kacang hijau, serban, dan bakiaknya. Intinya, pesawat itu jatuh,” ujar Imat.
Erik Syarifudin Baharsyah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dalam skripsinya, ”Peran Kiai Abbas Buntet (Cirebon) dalam Pertempuran Surabaya 1945”, memaparkan strategi perang. Kiai Abbas menginstruksikan pasukan puasa dan istigasah malam.
Pimpinan Laskar Hizbullah itu juga meminta para kiai mendoakan balong di pondok-pondok. Santri lalu meminum air dari kolam tersebut. Bambu runcing yang jadi senjata santri juga telah didoakan. Strategi Kiai Abbas untuk menyerangan menjelang fajar pun membuat musuh kewalahan.
Meskipun sekutu tidak lantas menyerah, pertempuran 10 November telah menjadi salah satu momentum bangsa mempertahankan kemerdekaan. Sepulangnya dari Surabaya, Kiai Abbas melanjutkan perjuangan dengan membentuk laskar dan bergerilya melawan penjajah di Jabar.
”Perjuangan Kiai Abbas dalam Pertempuran Surabaya 1945 bagi para sesepuh di Pondok Buntet Pesantren lebih berpikir ke arah nasional serta bagaimana membangun negara. Bahkan, setelah wafatnya Kiai Abbas, perjuangannya masih dilanjutkan oleh anak keturunannya,” tulis Erik.
Kiai Abbas wafat tahun 1946 akibat serangan jantung setelah kecewa dengan adanya Perjanjian Linggarjati di Kuningan, Jabar, yang dinilai merugikan Indonesia. Salah satu isinya, Belanda hanya mengakui wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera.
Walakin, keturunan Kiai Abbas tetap meneruskan perjuangan. KH Abdullah Abbas, ayah Imat, misalnya, menjadi Kepala Staf Batalyon II di Mundu, Cirebon, 1946. Bahkan, kegiatan di Buntet sempat terhenti karena santri dan kiai melawan Belanda yang ada di Pabrik Gula Sindanglaut.
Bagi Imat, perjuangan ayah dan kakeknya tidak hanya mempertahankan NKRI, tetapi juga mewariskan nilai hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). ”Tanpa itu, Indonesia mungkin sudah seperti negara-negara di Timur Tengah yang konflik,” ujarnya.
Meski demikian, lanjutnya, ada sejumlah pihak yang ingin memecah belah persatuan bangsa dan menjadikan Indonesia hanya untuk agama dan golongan tertentu. Padahal, para kiai sejak dulu mengajarkan pentingnya mencintai dan menjaga negeri yang berdasarkan Pancasila ini.
”Sekarang, perang kita bukan lagi di jalan menggunakan senjata, tetapi melawan pihak yang ingin merusak Pancasila. Cara melawannya juga dengan ilmu, termasuk di media sosial. Perang sekarang lebih berat karena musuhnya orang kita sendiri,” ujar Imat.
Di Buntet, kiai dan santri juga menjaga NKRI melalui pendidikan dari taman kanak-kanak hingga Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah. Ribuan santri menimba ilmu di 54 pondok. Tidak hanya belajar kebangsaan dari materi ke-NU-an, santri juga kadang kedatangan siswa sekolah Nasrani.
Setiap Haul Almarhumin, Sesepuh, dan Warga Pondok Buntet Pesantren, masyarakat dari berbagai latar belakang datang. Bahkan, panitia menampilkan barongsai yang merupakan budaya Tionghoa bersamaan dengan khitanan massal di Buntet. Masyarakat pun selalu menantinya.
”Jadi, kalau enggak ada barongsai, masyarakatnya kecewa. Kami pernah satu kali terkendala menghadirkan barongsai. Itu kena protes warga,” ujar Akhmad Rofahan, pengajar di Buntet yang juga pernah menjadi panitia haul. Buntet yang berusia 250-an tahun menjadi satu ruang keberagaman.
Kondisi Buntet, bahkan Indonesia, hari ini tidak terlepas dari peran Kiai Abbas yang turut menjadi komandan perang 10 November. Tidak mengherankan, Partai Kebangkitan Bangsa mengusulkan Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional. Seminar terkait itu pun digelar pekan lalu.
”Bagi keluarga Mbah Abbas, silakan saja kalau ada yang mengusulkan gelar Pahlawan Nasional. Tapi, usulannya jangan dari Buntet. Mbah Abbas berjuang murni untuk bangsa, bukan mencari nama,” ungkap Rofahan yang juga salah satu keluarga besar Pondok Buntet Pesantren.
Di sisi lainnya, lanjut Rofahan, gelar tersebut juga penting untuk mengingatkan para santri dan masyarakat luas terkait peran Kiai Abbas dalam mempertahankan NKRI. Apalagi, perjuangan para penerus Kiai Abbas menjaga bangsa ini belum tuntas.