Ironi Pusat Persemaian dari BPDAS dan Fakta Hutan di NTT
Balai Pengelolaan DAS Benanai-Noelmian Kupang menyediakan jutaan anakan pohon untuk masyarakat, setiap tahun, sejak 2011. Namun, masyarakat tidak memanfaatkan karena tidak didorong pemda. Kondisi lingkungan NTT rusak.
Pusat Pembibitan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Hutan Lindung Benanai-Noelmina di Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, adalah gudang persemaian anakan berbagai jenis tanaman.
Pusat pembibitan ini menyediakan 1 juta anakan pohon per tahun untuk dibagikan cuma-cuma kepada masyarakat, sejak 2011. Namun, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sangat rendah. Kegersangan yang membawa sejumlah bencana kemanusiaan pun menjadi cerita pilu sepanjang musim.
Yusriyanto Yanto (24) mendorong gerobak berisikan anakan tanaman sengon di pusat pembibitan milik Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Hutan Lindung (BPDAS HL) Benanai-Noelmina di Kupang, Senin (7/11/2022). Ia bersama 10 tenaga kontrak dan 20 tenaga harian dari warga sekitar relatif lebih sibuk menjelang musim hujan.
Mengaduk tanah, menyemai bibit, menabur benih, menyiram, mengamati hama tanaman, dan menyiapkan kantong tanah (polybag) menjadi pekerjaan rutin setiap menjelang musim hujan. Target 1 juta anakan tanaman harus tersedia sebelum musim hujan tiba. Anakan itu didistribusikan sepanjang ada pengajuan dari masyarakat.
Sasaran, lahan tandus dan gersang harus ditanami pohon, apa pun jenisnya. Pusat pembibitan itu hadir untuk menjaga dan mempertahankan hutan NTT agar bisa memberi kesejahteraan kepada masyarakat. Jenis tanaman yang dikembangkan pun sesuai kondisi lahan daerah itu.
Baca Juga: NTT Siapkan Bibit Sorgum untuk 400.000 Hektar Lahan Nasional
Pengelola BPDAS tidak hanya distribusi. ”Kami juga melakukan monitoring setelah bibit tanaman itu diangkut. Monitoring itu tidak hanya menyangkut penanaman di lapangan, tetapi juga menjaga agar anakan tanaman itu tidak diperjualbelikan warga. Monitoring juga dilakukan 1-2 tahun setelah anakan itu ditanam,” kata Yusriyanto Yanto, tenaga teknis persemaian di BPDAS Benanai-Noelmina Kupang.
Ia mengatakan, semestinya 1 juta anakan pohon dari berbagai jenis ini dibagikan pada Oktober 2022, satu bulan sebelum masuk musim hujan. Namun, sampai November 2022 ini, belum ada masyarakat yang berminat, baik perorangan maupun lembaga.
Hanya, pesanan dari Korem 161/Wirasakti Kupang sebanyak 750.000 anakan pohon kelor. ”Kami sudah siapkan itu, Tinggal diangkut saja,” kata Yanto.
Anakan tanaman itu diberikan cuma-cuma kepada masyarakat atau lembaga yang membutuhkan. Tidak ada batasan jumlah dan jenis anakan. Terpenting, anakan itu bisa dikembangbiakan di tanah-tanah tandus, kering, dan gersang selama ini. Kawasan pulau Timor diprioritaskan untuk pembibitan ini.
Animo turun
Dalam 4 tahun terakhir animo masyarakat memanfatkan bibit tanaman itu menurun drastis dibandingkan dengan sebelumnya. Musim hujan 2020/2021, misalnya, hanya sekitar 300.000 anakan yang diminati dari total 1 juta anakan yang disiapkan. Sisa anakan yang tidak diambil masyarakat ditanam oleh BPDAS bersama masyarakat di kawasan hutan sekitar BPDAS.
Baca Juga: Ratusan Perempuan Ngada Hijaukan Anakan Bambu di Lahan Kritis
Sebelumnya, masyarakat begitu antusias mengangkut anakan itu untuk ditanam di lahan masing-masing. Tidak hanya warga di daratan Pulau Timor Barat, masyarakat Pulau Rote dan Sabu pun datang dengan menggunakan kapal laut untuk memanfaatkan anakan itu.
”Perubahan minat masyarakat ini terkait erat dengan kebijakan pemda mengenai lingkungan hidup sekitar,” kata Yanto.
Melestarikan alam NTT, terutama saat musim hujan tiba, mestinya ada promosi atau ajakan dari pemerintah daerah untuk menanam. Jika ada kewajiban menanam, pusat pembibitan di Kota Kupang itu dibanjiri permohonan. Pusat pembibitan itu sebagai upaya pemerintah pusat agar lingkungan NTT yang kering dan gersang itu dihijaukan.
Kerusakan hutan setiap tahun 30-40 persen, terhitung sejak 2006 sampai hari ini. Berdasarkan data BPS NTT 2020, luas hutan di NTT mencapai 670.487,57 hektar. Data sebelumnya, yakni pada 2017, total luas hutan di provinsi termiskin ketiga nasional itu mencapai 687.826,80 ha.
Degradasi hutan lebih serius terjadi di Timor Tengah Selatan (TTS), yakni dari 54.436,77 ha pada 2017 menjadi 32.242,32 ha. Hampir semua kabupaten/kota terjadi degradasi hutan yang cukup serius dalam tiga tahun terakhir itu dan masih berlangsung sampai saat ini.
Baca Juga: Pola Pembangunan di NTT Belum Mempertimbangkan Daya Dukung Lingkungan
Satu-satunya kabupaten yang memperluas wilayah hutan adalah Ende, yakni dari 20.926,45 ha pada 2017 menjadi 24.089,00 ha. Ini terjadi karena masyarakat menghentikan penebangan liar di sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu, selain melakukan rehabilitasi hutan di kawasan TN Komodo.
Kondisi lingkungan NTT diprediksi semakin memprihatinkan tahun-tahun mendatang apabila para kepala daerah setempat tidak menyadari akan pentingnya lingkungan.
Selama ini, kepala daerah lebih mengejar proyek yang dapat memberi keuntungan langsung tahun itu, selama mereka memimpin, ketimbang menanam pohon yang dapat dinikmati hasilnya 10-30 tahun yang akan datang.
”Meski hanya diguyur hujan 3-4 bulan, NTT berhasil memulihkan kembali hutan secara alamiah, setelah dirusak masyarakat yang tak bertanggung jawab selama 9 bulan berturut-turut musim kemarau. Pembakaran hutan, penebangan liar, pelepasliaran ternak, pembukaan lahan baru, bencana longsor, pembangunan jalan, dan permukiman penduduk,” papar Yanto.
Namun, membiarkan tanaman lahir secara alamiah tidak cukup. Perlu campur tangan masyarakat NTT agar mereka pula yang bertanggung jawab untuk merawat sampai berproduksi.
Baca Juga: Ironi Jejak Pejabat di Taman Kota dan Hutan Lindung NTT
Jenis tanaman yang dibibitkan BPDAS, antara lain, adalah kelor, pinang, jati putih, gamalina, trembesi, sengon, ulin, jambu, nangka, mangga, bambu, dan sirsak. Semua disemaikan dalam jumlah ribuan. Masing-masing berusia 2-5 bulan, bahkan beberapa di antaranya sudah memasuki usia 1 tahun.
Semua jenis anakan itu cocok dengan tanah di daratan Timor, Sumba, Sabu, dan Rote. Pulau-pulau ini masuk kategori pulau tergersang atau tertandus di NTT, selama musim kemarau. Flores, Lembata, dan Pulau Alor relatif masih tampak hijau selama kemarau panjang, kecuali jika terjadi kebakaran.
Selama ini, kepala daerah lebih mengejar proyek yang dapat memberi keuntungan langsung tahun itu, selama mereka memimpin, ketimbang menanam pohon yang dapat dinikmati hasilnya 10-30 tahun yang akan datang.
Anakan ini pun didatangkan masyarakat dari pulau-pulau itu. Kebanyakan perorangan, dalam jumlah 50-200 pohon. ”Kalau ada proyek penghijauan dari pemerintah seperti sebelum 2018, anakan yang dipesan sampai ribuan oleh pemda di pulau-pulau itu,” katanya.
Persiapan 1 juta anakan pohon ini diprioritaskan untuk pulau-pulau gersang itu. Musim hujan ini kesempatan memulihkan hutan yang rusak. Tradisi menanam harus menjadi budaya di kalangan masyarakat demi memperbaiki lingkungan yang rusak.
Baca Juga: Kidung Duka Kerusakan Alam NTT yang Tak Terkendali
Penanggung jawab lapangan BPDAS HL Benainai-Noelmina, Polce, mengatakan, semangat masyarakat memesan bibit-bibit itu cukup tinggi, termasuk masyarakat TTS. Akan tetapi, euforia yang tinggi itu hanya sekadar menyambut musim hujantiba. Anakan pohon itu sebagian ditanami sesuai kebutuhan, tetapi sebagian tidak menanam.
Lebih buruk lagi, mereka yang telah menanam, tetapi tidak peduli akan keberlanjutan tanaman itu. Tanam pun asal-asalan. ”Penghijauan yang disponsori proyek sebagian besar gagal, kecuali atas kesadaran lembaga masyarakat adat atau kelompok masyarakat tertentu,” kata Polce.
Akibatnya, dari total 1 juta anakan yang diambil itu, hanya 200.000-300.000 anakan berhasil tumbuh. Itu pun hanya bertahan beberapa bulan saja. Memasuki puncak kemarau, tanaman itu terbakar, dirusak, atau dimakan ternak.
”Ini masalah utama yang kami hadapi. Sosialiasi soal fungsi hutan atau pohon sudah dilakukan, tetapi perilaku masyarakat merusak hutan sulit diubah,” katanya.
Ia mengatakan, anakan cendana tidak dibudidayakan lagi. Permintaan cenderung menurun dalam 4 tahun terakhir. Sebelumnya, 2008-2017, kecenderungan masyarakat menanam cendana cukup tinggi. Lembaga pendidikan, kantor pemerintah, NGO, kelompok masyarakat, dan RT/RW ramai-ramai menanam cendana.
Baca Juga: Melestarikan Cendana di NTT, 2.000 Anakan Cendana Dibagikan ke Warga
Akan tetapi, cendana itu perlu perlakuan khusus setelah ditanam. Menyiram dengan air dan menanam pohon pendamping atau inang, seperti krokot, di sampingnya.
Kondisi ini belum dipahami masyarakat. Cukup banyak anakan yang gagal tumbuh, termasuk di antaranya tanaman cendana sepanjang Jalan El Tari menuju Bandara El Tari, Kupang.
Saat ini, BPDAS HL lebih fokus menyemaikan kelor di samping tanaman lain. Penyemaian kelor ini searah dengan program pemprov menjadikan kelor sebagai salah satu program strategis. Sejumlah lembaga terlibat mengembangkan kelor. Selain Korem Wirasakti Kupang, juga Polda NTT dan PLN NTT.
Ketua Yayasan Tukelang NTT Marianus Minggo mengatakan, sejak 4 tahun terakhir, semangat masyarakat dan pemda melakukan penghijauan, termasuk memanfaatkan pusat pembibitan, menurun drastis. Sektor kehutanan bukan menjadi program strategis pemda saat ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Hutan itu sumber hidup. Jika hutan diabaikan, bencana secar rutin terus menerpa masyarakat. Kondisi itu sedang berlangsung saat ini. Kekeringan ekstrem yang diikuti kemiskinan ekstrem melanda sejumlah kabupaten/kota di NTT setiap tahun. Kasus kekeringan ini berdampak pada gagal panen, rawan pangan, gizi buruk, dan stunting atau tengkes.
Baca Juga: Mendesak, Lumbung Pangan Suku untuk Menekan ”Stunting” di NTT
Pemda paham tentang dampak dari kerusakan dan pengabaian lingkungan ini. Akan tetapi, mereka bersikap masa bodoh karena tidak memberi keuntungan langsung bagi mereka selama memimpin.
”NTT butuh pemimpin yang peduli terhadap lingkungan, hijau, sejuk,dan produktif dapat mengatasi atau menekan berbagai bencana yang lahir karena ekologis dan memberi kesejahteraan masyarakat sekitar,” kata Marianus.