Terjadi sejak Oktober 2022, Banjir di Kalteng Belum Surut
Banjir di Kalimantan Tengah belum juga surut. Pemerintah daerah menyebut masih fokus pada pemberian bantuan dan mengawasi tinggi muka air.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Terjadi sejak awal Oktober 2022, banjir di Kalimantan Tengah belum usai hingga saat ini. Setidaknya lima kabupaten masih terendam banjir.
Lima kabupaten itu adalah Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Seruyan, Sukamara, dan Katingan. Di semua daerah itu, status tanggap darurat bencana banjir diperpanjang hingga 14-21 hari ke depan.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng Alpius Patanan menjelaskan, banjir sejak awal Oktober 2022 merendam 10 kabupaten dan kota. Kini, banjir perlahan surut. Namun, lima kabupaten masih terendam.
Aktivitas warga sangat terbatas karena banjir yang tak juga surut di Kotawaringin Barat, Kalteng, Selasa (1/11/2022). Saat siang mereka kembali ke rumah yang diterjang banjir dan pada malam hari mereka berkumpul di pengungsian.
Berdasarkan data BPBPK Kalteng, 15 kecamatan dengan total 68 desa terendam banjir. Akibatnya, 51.039 orang terdampak banjir dan 2.832 orang di antaranya mengungsi. Selain itu, 211 fasilitas umum terendam dan 12.521 rumah direndam banjir.
Alpius menambahkan, pihaknya telah menyediakan sembilan unit posko kesehatan, 17 tenda pengungsi, 39 gedung pengungsian, 30 dapur umum, dan delapan fasilitas mandi cuci kakus (MCK). ”Data jumlah pengungsi ini belum diperbarui, mungkin sudah banyak yang pulang. Kami saat ini juga terus mengawasi tinggi muka air hingga pemberian bantuan,” kata Alpius.
Di Kotawaringin Barat, banjir di sejumlah tempat mulai surut, seperti di Kecamatan Arut Selatan. Namun, banjir justru terjadi di Kecamatan Arut Utara yang menyebabkan lima desa terisolasi karena akses keluar dan masuk desa tidak bisa dilewati kendaraan. Ketinggian air dilaporkan setinggi 1-2 meter.
Kepala Bidang Kesiapsiagaan dan Pencegahan BPBD Kabupaten Kotawaringin Barat Pahrul Laji mengatakan, selain lima desa terisolasi, masih ada beberapa desa lagi di Kecamatan Arut Utara yang aksesnya terhambat akibat banjir. Akibatnya, sebagian besar warga terpaksa menggunakan perahu kayu untuk beraktivitas.
”Kalau menggunakan kelotok atau perahu kayu bermesin, warga masih bisa melintas,” kata Pahrul.
Prakirawan Stasiun Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika di Palangkaraya, Chandra Mukti Wijaya, menjelaskan, curah hujan bulanan di Kotawaringin Barat dan Sukamara merupakan yang tertinggi dibandingkan wilayah lainnya. Curah hujannya berkisar 200-500 milimeter.
”Curah hujan di sana masuk dalam kategori sangat tinggi,” ujar Chandra.
Chandra menambahkan, pihaknya selama ini selalu berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memberikan peringatan dini ke masyarakat. ”Koordinasi terus berjalan sehingga langkah-langkah antisipatif bisa diambil,” kata Chandra.
Sebelumnya, Ketua Tim Kampanye Hutan dari Greenpeace Arie Rompas mengungkapkan, Kalimantan semakin rentan diterjang bencana. Salah satu faktor paling krusial adalah hilangnya tutupan hutan di daerah aliran sungai (DAS) kunci di Kalimantan, termasuk Kalteng.
Berdasarkan data deforestasi Universitas Maryland, Amerika Serikat, yang diolah dengan pantauan citra satelit oleh Greenpeace menunjukkan hilangnya tutupan hutan di DAS Kumai di Kotawaringin Barat dan DAS Jelas di Sukamara. Sejak 2001-2021, tutupan hutan yang hilang di sekitar DAS Kumai atau Arut seluas 19.448,43 hektar. Tutupan hutan yang hilang sejak 2001-2021 di DAS Jelai, Kabupaten Sukamara, seluas 40.636,53 hektar. Totalnya, 60.084,96 hektar atau hampir seluas DKI Jakarta.
Data yang sama, tutupan hutan yang hilang di Kabupaten Kotawaringin Timur seluas 278.273 hektar atau setengah luas Pulau Bali. ”Tutupan hutan yang hilang itu diganti dengan perkebunan kelapa sawit,” kata Arie.