Hidup Kian Cemas seusai Direndam Banjir
Bencana banjir di Kalimantan Tengah setiap tahun kian buruk. Kerusakan di hulu dan sekitar daerah aliran sungai jadi pemicu, dan ditambah fenomena iklim. Perlu perbaikan lingkungan untuk mengembalikan daya alam.
Banjir di Kalimantan Tengah sudah seperti bencana langganan, hingga masyarakat menyiasati rumahnya sedemikian rupa untuk menghadapinya. Saking seringnya, banjir bukan lagi yang dikhawatirkan warga, melainkan sumber pangan yang rusak akibat terendam air. Mereka bingung mau makan apa setelah banjir lewat.
Siang itu, Sabtu (5/11/2022), awan abu-abu menutup matahari membuat tanah Kalimantan Tengah yang biasanya menyengat panasnya menjadi sejuk dan lembab. Di posko pengungsian, Siti Aisyah bersama lebih kurang 12 orang lain sedang diperiksa oleh Amelia Hidayati, dokter dari Puskesmas Desa Kumpai Batu Atas. Tensinya tinggi, 120 per 90. Kerabat Siti, Rabiah (43), menuduh Siti terlalu banyak makan mi bantuan, yang disambung gelak tawa Siti untuk menepis tuduhan itu.
Amelia menduga, tensi darah yang tinggi karena banyak pikiran, apalagi mereka sudah satu bulan tinggal di pengungsian. Siti mengiyakan. Siti lalu curhat dengan dokter dan relawan yang datang ke Desa Tanjung Terantang, desa yang 90 persen warganya mengungsi dari banjir.
”Di sini banjir itu tiap tahun aja, tapi gak pernah sampai 2 meter, apalagi sampai naik ke atas dinding rumah, baru kali ini sepanjang saya hidup di sini,” kata Siti.
Banjir, menurut Siti, datang perlahan sejak akhir September. Sungai Arut yang berada di samping desa itu meluap. Awalnya merendam kebun-kebun warga dengan ketinggian tak sampai 15 sentimeter. Lalu, seminggu kemudian, pada Jumat (7/10/2022) lalu, banjir kian buruk. Rumah Siti yang sudah disiasati dengan membuat panggung di tengah rumah pun tak sanggup menandingi banjir. Ia dan belasan warga pun dievakuasi ke SDN II Tanjung Terantang. Sementara ratusan orang lainnya memilih ke desa tetangga, Desa Kumpai Batu Atas yang berjarak lebih kurang 15 kilometer.
”Gak mau jauh-jauh ngungsinya karena jaga kambing sama ayam,” kata Siti.
Hal yang mengganggu pikiran Siti bukan banjir karena sudah biasa, tetapi gagal panen sawit dan tidak menyadap karet. Setidaknya dua bulan kebun dan ladang-ladang warga terendam banjir, terlebih kebun di pinggiran Sungai Arut.
Bencana banjir ini, bagi Siti, memperburuk keadaan mereka yang sudah delapan tahun tak bisa menanam padi lantaran ada larangan membakar. Ladang padi mereka ubah menjadi kebun sawit dan karet sejak dilarang membakar oleh pemerintah pada 2015 lalu. Mereka tak lagi bisa menanam padi dan sejak saat itu juga semua kebutuhan dapur harus dibeli dan bertumpu pada hasil kebun sawit dan karet.
”Itu termasuk kebutuhan sekolah, kebutuhan makan sehari-hari, dan banyak lagi,” kata ibu tiga anak itu. Suami Siti kini bekerja jadi buruh panen sawit lepas di perusahaan sejak tak mengolah ladang, kadang Siti membantu.
Baca juga: Penyintas Banjir Cemas HIdup Setelah Bencana
Siti menjadi buruh harian lepas di perkebunan sawit. Ia diupah Rp 110.000-Rp 140.000 per hari, tergantung luasan kebun yang dibersihkannya. Gajinya baru dibayar setelah tiga bulan sehingga menunggu uang gaji yang tak menetap itu, ia berutang di warung-warung.
Setiap hari Siti bangun pukul 03.00 untuk menyiapkan makanan bagi anak-anaknya. Karena tak ingin repot, dia biasanya memasak nasi, mi instan, telur, atau ikan asin, yang akan menjadi menu pagi hingga siang. ”(Banjir) ini seperti bencana dua kali,” ujarnya.
Kepala Desa Kumpai Batu Bawah Kepala Desa Kumpai Batu Bawah Bambang Silih Warno menjelaskan, selama satu bulan warganya yang berjumlah lebih kurang 250 keluarga tidak pergi bekerja. Mereka hanya mengharapkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan harian mereka.
”Saya sudah sampaikan ke pemerintah untuk memberikan bantuan pascabanjir, saya sudah koordinasi, tetapi belum ada respons,” kata Bambang.
Bambang menjelaskan, sebagian besar warga di desanya merupakan petani yang hidupnya bertumpu pada kebun karet dan kebun sawit. Saat banjir, ribuan pohon karet dan sawit dengan total lebih kurang 60 hektar tidak bisa disadap dan dipanen.
”Untuk pohon karet, hujan saja tak bisa disadap, apalagi saat banjir. Kalau sawit sudah sempat panen, tapi musim berikutnya bisa gagal panen, apalagi di sini sudah tidak ada sawah karena dilarang membakar, jadi warga mulai bingung mau makan apa nanti,” kata Bambang.
Kerusakan alam
Banjir di Kalimantan Tengah tahun ini dinilai yang paling buruk. Setidaknya selama banjir Oktober 2022 data dari Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Provinsi Kalteng menunjukkan 10 kabupaten dan kota terendam banjir.
Setidaknya terdapat 8.209 orang mengungsi ke tenda darurat maupun gedung yang disiapkan pemerintah, dengan 49.355 keluarga dengan total 156.069 orang terdampak banjir. Dari 10 kabupaten dan kota yang terendam itu terdapat 55 kecamatan dengan total 363 desa yang terendam banjir.
Di Kotawaringin Barat, BPBPK mencatat empat kecamatan dengan total 30 desa dan kelurahan terdampak. Setidaknya 27.932 orang terdampak banjir dengan total 5.446 orang mengungsi. Jalan-jalan dipenuhi pengungsi mandiri, ada yang mendirikan tenda darurat, ada yang tinggal di parkiran tetangga, hingga rumah-rumah kosong juga gedung serba guna.
Prakirawan Stasiun Meteorologi Palangkaraya Chandra Mukti Wijaya menjelaskan, berdasarkan peta analisis curah hujan selama Oktober 2022, sebagian besar wilayah Kalteng masuk kategori curah hujan dengan intensitas tinggi. Curah hujan berkisar 300 milimeter (mm) sampai 500 mm atau lebih.
”Dengan intensitas segitu memang di atas normal dengan kategori sangat tinggi,” ujar Chandra.
Sebelumnya, Kepala Pelaksana BPBPK Provinsi Kalteng Falery Tuwan mengungkapkan, banjir disebabkan curah hujan yang begitu tinggi sehingga beberapa sungai di Kalimantan Tengah meluap hingga menutup akses jalan hingga pemukiman.
”Banjir memang merendam 10 kabupaten. Kini tinggal enam kabupaten yang terendam karena di beberapa daerah debit air sudah mulai turun,” kata Falery.
Baca juga: Banjir Perlahan Surut, Pengungsi Bertahan
Menurut Falery, saat ini pihaknya fokus pada evakuasi warga hingga distribusi bantuan mulai dari kebutuhan pokok hingga tenda-tenda pengungsian. ”Sesuai arahan Gubernur Kalteng, bantuan harus tepat sasaran,” ungkapnya.
Sungai Arut atau daerah aliran sungai (DAS) Kumai di Kotawaringin Barat jadi penyebab banjir di daerah itu karena luapan air. Sungai ini memiliki panjang 250 kilometer dan membelah Kota Pangkalan Bun dengan daerah lainnya hingga ke pesisir pantai. Penelusuran Kompas, sungai ini dikelilingi banyak perkebunan sawit, sedangkan bagian hulunya terdapat di Ketapang, Kalimantan Barat, yang juga dikelilingi perkebunan besar kelapa sawit.
Hutan yang masih tersisa dan dilindungi hanya wilayah Suaka Margasatwa Lamandau yang merupakan habitat orangutan, bekantan, dan satwa liar lainnya. Ketua Tim Kampanye Hutan dari Greenpeace Arie Rompas mengungkapkan, banjir disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor dari fenomena iklim musiman, termasuk La Nina, perubahan iklim, biofisik atau perubahan topografi daerah, hingga antropogenik yang didalamnya termasuk deforestasi.
”Kalimantan kini semakin sensitif terhadap perubahan iklim, faktor utamanya adalah perubahan tutupan hutan karena perluasan pertanian skala besar, khususnya perkebunan sawit,” kata Arie.
Arie menjelaskan, pengamatan Greenpeace di lapangan menunjukkan perluasan perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan penebangan kayu di wilayah bentang alam DAS kunci yang merupakan karakteristik ecoregional Kalimantan Tengah semakin masif. Hal itu mendorong tidak seimbangnya daya dukung dan daya tampung bentang alam DAS.
”Banjir berulang meski curah hujan rendah, apalagi curah hujan tinggi. Di beberapa DAS kritis jadi pemicu banjir berulang, seperti DAS Mentaya di Kotawaringin Timur yang tutupan hutannya hanya tersisa 19,5 persen,” kata Arie.
Baca juga: Saatnya Melirik Hutan-hutan Kalteng yang Rapuh
Arie menambahkan, untuk wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat dan Sukamara yang menjadi wilayah paling buruk terendam banjir tahun ini, tutupan hutan yang hilang semakin tinggi. Data Greenpeace melalui pantauan citra satelit tahun 2001-2021 tutupan hutan yang hilang di sekitar DAS Kumai atau Arut mencapai 19.448,43 hektar, sedangkan DAS Jelai di Kabupaten Sukamara tutupan hutan yang hilang tahun 2001-2021 mencapai 40.636,53 hektar sehingga total mencapai 60.084,96 hektar atau hampir seluas Provinsi DKI Jakarta.
Data yang sama, tutupan hutan yang hilang di Kabupaten Kotawaringin Timur mencapai 278.273 hektar atau setengah luas pulau Bali. ”Tutupan hutan yang hilang itu diganti dengan perkebunan kelapa sawit,” tambah Arie.
Kalimantan kini semakin sensitif terhadap perubahan iklim, faktor utamanya adalah perubahan tutupan hutan karena perluasan pertanian skala besar, khususnya perkebunan sawit.
Arie menambahkan, perlu ada pemulihan lingkungan melalui beberapa tahapan, seperti evaluasi perizinan yang berbasis lahan, melakukan penegakan hukum bagi perusahaan yg ilegal tanpa dokumen lingkungan, dan rehabilitasi lahan yang rusak terutama lokasi yang berfungsi sebagai resapan air atau di sekitar DAS.
Sebelumnya Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengungkapkan, pihaknya mendesak pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi perizinan khususnya, izin investor di sektor sumber daya alam untuk Hutan Tanaman Industri yang dikeluarkan pusat. Banyak dari perusahaan itu tidak memberikan dampak positif ke daerah.
”Jangan hanya datang merusak saja, makanya saya minta perusahaan-perusahaan itu untuk membantu korban banjir,” ungkap Sugianto.
Sugianto, dalam beberapa kali wawancara, juga mengungkapkan, pemerintah provinsi akan menyiapkan lahan dan anggaran untuk mereka yang mau mengolah pertanian, khususnya padi. Ajakan itu terutama untuk para pemuda. Lahan yang ia maksud adalah lahan proyek food estate yang saat ini sudah berjalan dua tahun di Kalteng. Hal itu ia nilai mampu menjawab keresahan petani yang selama ini tak bisa berladang.