Ketika Sayuran Membusuk, Ayam Mati, dan Pupuk Tertahan Banjir Aceh Tamiang
Aktivitas ekonomi Aceh-Sumut rugi besar akibat banjir Aceh Tamiang yang menutup jalan nasional 6 hari. Ratusan ton sayur dari Sumut membusuk, ayam-ayam pun mati. Dari Aceh, pengiriman pupuk, kopi, dan CPO tersendat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Ismail (38) hanya duduk termenung di dekat truknya yang membawa berbagai jenis sayuran, di Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, Minggu (6/11/2022). Air wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa sedih karena harus menanggung kerugian yang cukup dalam akibat sayuran itu membusuk.
”Saya membawa 8 ton sayur dari Kabupaten Karo, Sumut, senilai Rp 100 juta. Kalau busuk semua, saya bisa bangkrut,” kata Ismail.
Ismail berangkat dari Karo pada Selasa (1/11) sore. Jika arus lalu lintas normal, seharusnya ia sudah tiba di Lhoksukon, Aceh Utara, Rabu (2/11) pagi. Namun, banjir yang merendam sejumlah titik di Aceh Tamiang membuatnya harus pasrah tertahan.
Truk ukuran sedang yang dibawa Ismail hanya bisa melewati titik banjir pertama di Kecamatan Kejuruan Muda. Beberapa titik banjir setelahnya ketinggiannya mencapai 80 sentimeter sehingga hanya bisa dilewati truk besar.
Ismail pun menunjukkan berbagai jenis sayur, seperti wortel, sawi, pare, dan kol yang sudah membusuk di bak truknya. Bau busuk menyeruak begitu terpal penutup baknya dibuka. Sayur-sayuran itu pun sudah berubah warna dan berair. ”Hampir tidak ada lagi sayur yang bisa kami jual,” katanya.
Menurut Ismail, tauke atau juragan sayur di Aceh saat ini kelimpungan karena tidak ada pasokan sayur dari Sumut. Harga sayur pun melambung tinggi di pasar. Puluhan truk lainnya yang membawa sayur-sayuran dari Sumut juga masih tertahan di Aceh Tamiang.
Bahan pokok lainnya, seperti ayam pedaging, pun banyak yang tertahan oleh banjir Aceh Tamiang. Riza Hidayat (30), warga Kota Binjai, Sumut, membawa dua pikap ayam dengan volume total 4 ton. Mereka beberapa kali meminta tolong kepada truk besar agar membawa ayam mereka ke Banda Aceh. Sudah hampir setengah ayamnya mati.
”Ada sebuah truk yang sudah mau membawa ayam kami, tetapi mereka meminta biaya angkut Rp 4 juta. Harganya terlalu mahal. Kami masih menunggu truk lain atau menunggu air surut,” kata Riza.
Riza menyebut, 4 ton ayam mereka senilai kurang lebih Rp 80 juta. Namun, setengahnya sudah mati dan mereka pun masih terancam kerugian yang lebih dalam. ”Di pasar Aceh, orang-orang berebut ayam karena pasokan dari Sumut tersendat 6 hari ini. Kami menelepon ke tauke di Aceh, harga ayam di sana melonjak dua kali lipat,” katanya.
Tidak hanya angkutan barang, angkutan penumpang juga harus meradang karena banjir di Aceh Tamiang yang tidak kunjung surut. Hendro Susilo (40), sopir minibus Medan-Aceh Utara, hanya bisa pasrah terjebak macet. Para penumpangnya pun sudah dipindahkan ke truk-truk besar. Namun, kiriman paket barang yang ia bawa masih tertahan.
Arus logistik dari arah Banda Aceh ke Sumut juga tentu tersendat. Abdul Fery (30), yang membawa pupuk dari PT Pupuk Iskandar Muda, Lhokseumawe, belum bisa bergerak karena truknya mogok. Ia pun hanya bisa makan sekali sehari sebab uang makannya sudah kandas sejak hari kedua. Namun, truk tangki minyak sawit mentah (CPO) masih bisa melewati genangan banjir.
Lumpuhnya jalur Medan-Banda Aceh pun melumpuhkan urat nadi perekonomian dua daerah itu.
Lumpuhnya arus lalu lintas Aceh-Sumut selama 6 hari sangat memukul ekonomi kedua daerah. Sumut dan Aceh mempunyai relasi perekonomian yang besar yang ditopang oleh Jalan Medan-Banda Aceh. Sumut selama ini memasok sayuran, ayam pedaging, telur, dan barang kelontong.
Sementara Sumut mendapat pupuk dari pabrik di Lhokseumawe. Kopi, CPO, karet, dan cokelat yang dihasilkan dari Aceh juga diekspor melalui Sumut. Lumpuhnya jalur Medan-Banda Aceh pun melumpuhkan urat nadi perekonomian dua daerah itu.
Hingga Minggu siang, banjir masih menggenangi sekitar lima titik jalan nasional di Aceh Tamiang. Titik banjir paling dalam berada di sekitar Kodim 0117 Aceh Tamiang dengan kedalaman hingga 80 sentimeter sepanjang 300 meter. Hanya bus besar dan truk besar yang berani melintasi genangan banjir secara bergantian, sementara truk ukuran sedang atau besar yang membawa barang rawan rusak terkena banjir memilih menunggu banjir surut.
Para sopir pun tidur di dalam kabin truk. Sebagian besar dari mereka sudah kehabisan uang makan sehingga hanya makan seadanya sekali sehari. Pada Minggu pagi, terlihat pedagang keliling menjajakan lontong dan nasi gurih kepada para sopir. Mereka pun hampir tidak mendapat bantuan apa pun dari pemerintah.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Tamiang Iman Suhery mengatakan, sebanyak 130 dari 213 desa terdampak banjir. Banjir terjadi di 12 kecamatan di Tamiang. Akibatnya, 7.329 keluarga atau 24.362 jiwa terdampak. Sedikitnya 439 keluarga atau 1.413 jiwa di antaranya bahkan mengungsi karena rumahnya terendam.
Pemerintah pun hanya menunggu banjir surut tanpa ada upaya yang memadai. Pantauan Kompas, arus lalu lintas di beberapa titik banjir hanya dikelola warga setempat sambil meminta sumbangan. Tidak tampak petugas yang mengatur lalu lintas di sana.